Sebuah pesan kembali masuk ke ponsel Saki saat Dipta baru saja memarkirkan mobilnya di area parkir salah satu ballroom hotel di Jakarta Pusat.
Pria itu menatap sang istri dengan tatapan terpesona. Saki terlihat begitu cantik dengan dress berwarna soft pink yang memiliki lace sebagai pemanis. Riasan wanita itu juga sempurna, terlihat natural namun mampu memperlihatkan kecantikan wanita itu yang sesungguhnya. Nyatanya, wanita itu selain pandai mencari uang juga pandai mempercantik dirinya namun tidak berlebihan.
“Siapa?” Tanya Dipta saat Saki masih sibuk dengan ponselnya.
Saki melihat pesan yang lagi-lagi dikirimkan Langit yang semakin intens sejak tiga hari terakhir. Pria itu dengan gila mengajaknya untuk datang bersama ke acara pesta pernikahan hari ini, padahal pria itu sudah menikah dengan selingkuhannya saat mereka masih berpacaran dulu.
Kembali menjadi pria toxic yang menyalahkan Saki atas kandasnya hubungan mereka.
-Aku masih mencintaimu, Saki. Aku menyesal tidak mampu menahan napsuku hingga aku tidur dengan Bibah. Tapi itu semua karena kamu yang selalu menolakku. Ciuman di pipi pun kamu menolaknya, jangankan cium, pelukan pun kamu tidak pernah memberikannya padaku satu kali pun. Bagaimana aku tahan dengan gaya pacaran kamu yang seperti itu?-
-Tapi Demi Tuhan, Saki. Hanya kamu yang ingin aku jadikan istri. Karena kamu adalah wanita baik-baik yang akan menjadi istri idaman. Aku tidak ingin kehilangan kamu.-
-Aku akan menceraikan Bibah setelah anak kami lahir. Tolong beri aku kesempatan. Aku mampu membahagiakan kamu, Saki.-
Itu tiga pesan terakhir yang membuat Saki mendesis, Langit semakin hari justru semakin menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.
Mereka menjalin hubungan selama kurang dari dua tahun, selama itu pula Saki merasa begitu dicintai oleh Langit. Pria itu begitu manis, penuh perhatian, lembut dan tidak pernah menuntut apapun dari Saki. Saki bahagia dan nyaman dengannya, pria itu tidak pernah memintanya yang aneh-aneh, menghormatinya dan tujuan mereka menjalin hubungan untuk mengenal dan mencari kecocokan satu sama lain sebelum memutuskan pada tahap yang lebih serius.
Satu tahun setelah hubungan mereka berjalan, Saki rasanya semakin mencintai Langit dengan segala kebaikan yang selalu diberikan pria itu dengan penuh totalitas. Namun, nyatanya Langit justru mencari kesenangan yang lain di luar sana untuk memenuhi napsunya yang tidak bisa dipenuhi oleh Saki.
Nyatanya, pria itu tidak bisa menjaga kehormatannya sebagaimana Saki menjaganya selama ini. Saki tidak bisa menerimanya, pernikahan dan kehidupan rumah tangga yang dia inginkan adalah memiliki suami yang mampu membimbingnya menjadi lebih baik, sebelum akhirnya impiannya itu patah dengan pernikahan kilatnya dengan Dipta Danadyaksa.
“Saki … Ada apa?” Tanya Dipta sekali lagi karena melihat Saki melamun. Saki menggeleng dan tersenyum. “Takut bertemu mantan?” Pertanyaan Dipta yang tepat sasaran membuat Saki tersenyum.
“Ayo keluar, Mas.”
Saki keluar, menunggu Dipta lalu tanpa ragu mengapit tangan pria itu.
“Bukan takut, hanya saja malas bertemu dengan mantan.” Ucap Saki dengan senyumnya, membuat Dipta mengernyit.
“Malas karena belum move on?” Tanya Dipta yang membuat Saki tidak langsung menjawabnya.
Move on? Saki memang butuh waktu untuk menghapus nama pria itu di hatinya, sungguh selama bersama Langit, pria itu begitu baik, mereka tidak pernah terlibat konflik, namun kebaikan itu nyatanya menikamnya, pria itu menjadikan dirinya begitu sempurna untuk menutupi cacatnya. Hingga Saki begitu terluka dan terpuruk. Namun itu kemarin, kini dirinya telah pelan-pelan bangkit, meninggalkan pria itu sebagai bagian dari masa lalunya. Buku yang telah usai dan tidak akan pernah ia buka lagi.
“Sudah move on.” Ucap Saki menatap Dipta dengan senyumnya, membuat Dipta sebentar terpana dengan senyum wanita itu yang terlihat begitu indah dengan polesan lipstik yang membuat bibir wanita itu kenapa terlihat lebih seksi? Biasanya Saki menggunakan warna nude atau soft pink namun kali ini wanita itu menggunakan warna merah bata.
“Good girl.”
Mereka masuk ke ballroom hotel dan kehadiran mereka mencuri perhatian. Dipta menatap para pria yang menatap memuja pada Saki, membuat pria itu memberikan tatapan tajamnya, dan tanpa aba-aba melepaskan genggaman tangan Saki, membuat Saki sedikit terkejut. Apa pria itu malu berjalan bersamanya?
Namun, tanpa terduga, Dipta justru melingkarkan lengannya di pinggang Saki. Detak jantung Saki seketika menggila.
“Mas …”
“Mereka menatap memuja padamu, mereka harus tau kalo kamu milikku.” Bisik Dipta, nada suaranya rendah, seolah sedang menahan sesuatu, membuat Saki tidak mengerti, dia menatap Dipta penuh tanya, namun tidak menemukan jawaban apapun.
“Setelah bertemu temanku kita pulang saja ya, Mas.”
“Dipta.” Punggung Dipta ditepuk oleh seseorang. Temannya saat kuliah.
“Eh, bro. Iya nih, nemenin istri. Istri gue temennya.” Ucap Dipta dengan ringan, masih memeluk pinggang Saki.
“Udah nikah lo? Gila geulis pisan, Neng.” Ucap pria itu menatap Saki dengan penuh minat. Saki hanya mengangguk dengan senyum yang kaku.
“Baru kemaren. Balik kapan lu?”
“Pengantin baru nih! Baru balik minggu lalu juga gue. Itu yang cowo sepupu gue. Eh, ngobrol-ngobrol dulu lah sama yang lain. Reuni kecil-kecilan anak BEM. Boleh ya, Neng Geulis suaminya nongkrong sebentar dengan kami?” Pria itu seolah meminta ijinnya.
“Boleh, Ki?” Tanya Dipta meminta ijin pada Saki. Membuat Saki akhirnya mengangguk.
“Kita ke panggung dulu memberi selamat ya, Mas?”
“Ke sana dulu, bro. Nanti gue nyusul sama istri gue. Ngga bisa lama-lama tapi.” Ucap Dipta membuat pria itu terkekeh.
“Yeee … Dasar pengantin baru.”
“Jika kamu tidak nyaman dengan teman-temanku, nanti aku akan memberi salam pada mereka saja dan langsung pulang.”
“Tidak kok, Mas. Tidak apa-apa jika mau ngobrol dengan mereka.”
Saki berbasa-basi sejenak dengan sang pengantin, matanya juga berpendar mencari teman-teman kuliahnya. Namun tatapannya justru bertemu dengan Langit yang juga menatapnya, di sampingnya ada wanita yang juga menatapnya tajam. Wanita yang tengah mengandung anak mereka.
“Mau makan apa?” Tawar Dipta saat mereka sudah turun dari panggung. Saki menatap pada stand makanan yang tersedia.
“Mas ingin apa?” Saki justru balik bertanya, membuat Dipta terkekeh. Wanita ini memang selalu mendahulukan keinginannya atau hanya sudah kebiasaannya?
“Apa saja yang kamu makan.”
“Sate mau?” Tanya Saki membuat Dipta mengangguk, lalu mengajak wanita itu dengan menggenggam tangannya menuju stand sate.
“Mana mantan kekasih kamu?” Tanya Dipta sengaja menggoda wanita itu, membuat Saki mendecak malas. “Aku pasti lebih tampan dan lebih mapan kan?” Dipta mengerlingkan matanya, kini Saki tertawa, pria itu selalu bisa menaik turunkan mood-nya.
“Heum…” Saki hanya menggumam dan menikmati satenya. Dia lalu meminta ijin kepada Dipta untuk ke toilet yang diangguki oleh pria itu.
Saki merasakan tatapan tajam itu sejak masuk ke ballroom hotel. Membuat perutnya mulas. Tatapan Langit yang begitu lekat dan tajam mengikuti setiap langkahnya, juga tatapan dari istri pria itu yang seolah siap mengulitinya hidup-hidup karena kecemburuan.
Benar saja, saat dia masuk ke toilet. Bibah mengikutinya, wanita itu bahkan menggebrak pintu toilet yang saat itu memang sepi dan menatapnya nyalang.
“Aku tidak memiliki masalah denganmu, Bibah. Yang harus kamu jaga adalah mata suami kamu itu.” Ucap Saki menatap Bibah melalui cermin, kehamilan wanita itu terlihat membuatnya mulai kesusahan, perutnya sudah membuncit, Saki pikir mungkin usia kandungannya di atas enam bulan.
Sesungguhnya Saki malas berdebat. Hubungannya dengan Langit telah berakhir dan dia malas harus kembali terseret-seret oleh mereka.
“Apa yang kamu lakukan pada suamiku?! Dia tidak pernah melupakanmu, bahkan … bahkan setiap kami berhubungan badan, dia selalu memanggil nama kamu saat mencapai puncak! Dia selalu berfantasi jika sedang berhubungan badan dengan kamu, Saki! Padahal dia sedang bersamaku! Aku yang membuatnya mencapai puncak, namun dia berteriak memanggil nama kamu saat mencapai kepuasan itu!” Bibah berteriak frustasi dengan air mata yang berlinang.
Saki bahkan tubuhnya hampir limbung mendengar kenyataan itu.
“Kamu … bilang apa?” Saki seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri. Itu sangat menyesakkan untuk Bibah dan dia sangat jijik jika dijadikan objek fantasi seks pria itu.
“Dia tidak mencintaiku, Saki! Dia tidak pernah mencintaiku! Aku hanya menjadi pemuas napsunya! Bukan … Aku hanya dijadikan objek untuk memuaskan napsunya yang berfantasi jika aku adalah kamu! Katakan padaku wanita mana yang tidak hancur, Saki?! Katakan!” Kini Bibah sudah bersimpuh di lantai kamar mandi, membuat Saki tidak tau harus berbuat apa.
Dulu dia sangat membenci wanita ini karena merusak hubungannya dengan Langit, namun kini melihat keadaan dan bagaimana wanita itu mengabarkan cacatnya pernikahan mereka yang tersisa adalah rasa iba dan prihatin.
Saki berjongkok di depan Bibah, tubuhnya bergetar. Dia takut dan jijik jika Langit benar-benar melakukan itu.
“Dengar! Kamu yang memilih Langit untuk menjadi suami dan ayah dari anak-anak kamu! Aku telah melupakannya dan tidak lagi mencintainya! Aku kini merasa jijik dengannya, bukan hanya sekarang, namun sejak dia selingkuh dan kalian berzina di depanku. Aku benar-benar jijik dan merasa mual mengingatnya! Kamu yang memilih jalan ini. Maka kamu harus menghentikan suami kamu itu untuk …” Saki bahkan begitu berat untuk mengatakannya. “Untuk berfantasi tentang aku.” Saki menepuk bahu Bibah dan beranjak dari sana.
Dia berlari untuk menuju salah satu bilik toilet saat mualnya tidak tertahankan, dia muntah, semua makanan yang baru dia makan tadi keluar.
Dia selalu memanggil nama kamu saat mencapai puncak! Dia selalu berfantasi jika sedang berhubungan badan dengan kamu, Saki! Padahal dia sedang bersamaku!
Aku yang membuatnya mencapai puncak, namun dia berteriak memanggil nama kamu saat mencapai kepuasan itu!
Kata-kata Bibah membuatnya semakin mual dan pusing. Langit … Saki tidak tau jika pikiran pria bisa semengerikan itu.
Saki keluar dari bilik toilet dan menuju wastafel untuk membasuh mulutnya, Bibah sudah tidak ada. Saki rasanya ingin cepat pulang dan rebahan di rumah.