Bab 8 | Kecantikan yang Tersembunyi

1957 Words
Dipta baru saja keluar kantor, dia melihat ponselnya berdering, panggilan dari mamanya. Membuatnya langsung mengangkatnya. -Dipta. Datanglah untuk makan malam di rumah. Jangan bawa Saki. Mama tidak sudi! Ada yang ingin mama bicarakan dengan kamu! Keluarga Pak Abimanyu juga datang dengan putrinya yang baru pulang dari London. Kamu dulu sempat dekat dengan Ayudya kan?- Tanpa salam, Laras mengutarakan maksud tujuannya, membuat Dipta menghela napasnya panjang. -Maksud Mama apa? Saki istri Dipta. Jika Mama tidak mengijinkannya datang maka Dipta juga tidak akan datang. Dan maksud Mama apa mengundang Pak Abimanyu makan malam lalu membahas-bahas Ayudya? Dipta sudah menikah, Mah. Jangan aneh-aneh.- -Kamu jangan konyol! Pernikahan kamu itu tidak Mama restui! Kamu menikah dengan gadis yang tidak jelas! Belum tentu dia gadis baik-baik! Pekerjaannya saja sebagai sekertaris. Kamu sudah tau bagaimana dunia sekertaris itu. Mama tidak sudi memiliki menantu yang tidak jelas bibit bebet dan bobotnya. Jangan-jangan dia sudah menjadi istri simpanan dari bosnya. Atau bahkan sering main dengan client-client-nya. Mama jijik, Dipta.- -Astaghfirullah, Ma! Yang Mama hina itu istri Dipta. Dipta tidak ingin jadi anak yang durhaka tapi Dipta juga tidak terima Mama menghina istri Dipta.- -Wake up, Dipta! Wake up! Kamu tidak sedang menjalani peranmu sebagai suami kan? Jangan konyol! Kamu bisa menceraikannya saat ini dan membuangnya jauh! Dia tidak layak untukmu dan tidak layak menjadi bagian dari keluarga Danadyaksa! Dia mungkin adalah perempuan murahan yang berlindung menggunakan nama sekertaris untuk menutupi kebusukannya.- -Dipta sayang, Mama. Dipta minta maaf, Ma. Dipta tidak bisa datang makan malam. Dipta punya rencana sendiri dengan Saki. Assalamualaikum.- Dipta langsung mematikan sambungan teleponnya. Dia tidak ingin menjadi anak yang durhaka, dia menyayangi Mamanya dan sangat menghormatinya, namun dia juga memiliki tanggung jawab melindungi Saki. Senyumnya tiba-tiba terukir indah mengingat obrolannya di pagi pertama bersama Saki. Jawaban wanita itu yang terdengar begitu indah dan sesungguhnya sangat menyejukkan hati Dipta. Aku akan menjalankan peranku sebagai seorang istri. Tapi sungguh, yang aku lakukan bukan untuk membuatmu terkesan. Ini antara aku dengan Allah saja, karena menikah adalah ibadah kan? Padahal Dipta sudah terkesan dengan jawaban wanita itu. Dia melihat Saki yang sudah menunggu di depan lobi kantor, Melihat wanita itu yang mondar-mandir sambil melihat ponselnya membuat Dipta mengulum senyumnya. “Hai. Udah lama nunggu?” Tanya Dipta yang menurunkan kaca mobil, Saki tersenyum dan langsung membuka pintu mobil. “Ngga kok. Mas jadi repot harus antar jemput aku.” Ucap Saki merasa bersalah, wanita itu memasang seatbelt-nya. “Ngga repot, kan aku yang ngajak kamu pindah ke Sudirman, jadi harus tanggung jawab.” Ucap Dipta, mobilnya melaju membelah jalanan yang masih padat merayap itu. Dia menatap Saki yang lebih banyak diam. Dipta juga sibuk dengan pikirannya, bukannya dia menutup mata tentang dunia sekertaris itu. Dewa, kaka iparnya itu pernah selingkuh dengan sekertarisnya beruntung kakanya -Erina.- memaafkannya dan membatalkan gugatan cerainya. Dia juga pernah digoda oleh sekertaris Papanya. Papanya pun bercerita kepadanya jika sekertarisnya itu pernah menggodanya di tingkat yang gila. Hingga Sang Papa memutuskan untuk memecatnya. Hal itu hanya diketahui oleh Dipta dan Papanya. Bahkan setiap Dipta memiliki meeting dengan banyak investor maupun supplier atau client, apalagi jika meeting-nya di luar kota. Beberapa dari mereka menawarkan sekertarisnya untuk menjadi teman tidurnya. Dipta tau. Sangat tau bagaimana sisi gelap dunia sekertaris itu. Namun rasanya dia menjadi sangat jahat jika dia menuduh Saki berkelakukan seperti mereka padahal dia baru mengenal wanita itu beberapa hari ini. Walau sebagian besar yang Dipta temui seperti itu, namun sebagian kecil sisanya belum tentu seperti itu, kan? Dan Dipta berharap jika Saki termasuk dari sebagian kecil itu. “Mas mau makan apa untuk makan malam?” Tanya Saki memecah keheningan, Dipta yang memikirkan tentang wanita itu terkesiap. “Apa saja yang kamu masak. Atau kamu mau makan di luar?” Tanya Dipta membuat Saki menggeleng. “Di rumah saja, Mas. Nanti jam sembilan malam aku masih ada meeting online dengan Pak Sakha, soalnya besok pagi kita akan meeting dengan supplier dari Jerman.” Ucap Saki membuat Dipta mengangguk. “Perusahaan kamu bergerak di bidang apa memang?” Tanya Dipta lagi. “Kami supplier alat-alat berat, selain itu sejak dua tahun terakhir Pak Sakha juga mulai join ke project-project konstruksi, mengambil bagian sebagai supplier dalam suatu pembangunan gedung sekaligus sebagai investor.” “Oh tidak jauh berbeda dengan perusahaanku. Perusahaan tempatku bekerja juga menghandle banyak project pembangunan.” “Oh iya? Mungkin kita bisa kerja sama suatu saat nanti.” Saki terkekeh, membuat Dipta juga tersenyum. Mengobrol dengan Saki selalu menyenangkan, itu yang dia rasakan sejauh ini. Wanita itu luwes, nyambung. Atau karena profesinya yang sebagai sekertaris dan mengharuskan dia mudah berbaur dengan siapa saja? Sehingga itu terbawa menjadi karakternya? “Mau masak apa?” Tanya Dipta, kini selalu penasaran apa yang akan dimasak wanita itu setiap harinya. “Steak saja, mau?” “Sure. Sounds good.” Mobil itu memasuki area parkir apartemen. Saat keluar dari mobil. ponsel di saku celananya bergetar. Dipta mengernyit saat mendapati panggilan dari Naomi. Adik bungsunya. “Kenapa, Mas?” Tanya Saki saat pria itu terlihat mengernyit, lalu mengangguk dan mematikan panggilan itu. “Ada Naomi di lobi. Kita ke lobi dulu ya.” “Naomi?” Tanya Saki yang tidak mengenalnya. Dipta menggenggam tangan wanita itu dan mengajaknya menuju lift. “Adikku.” “Ooo.” Saki merasa gugup, rasanya belum sanggup jika harus bertemu dengan keluarga pria itu. “Mas Dipta.” “Nao, ada apa? Tumben ke apartemen? Bukannya Mama ada acara makan malam?” Tanya Dipta memberondong pertanyaan itu, membuat Naomi hanya terkekeh. “Malas lah. Aku bilang ada tugas kampus dan baru bisa pulang jam sembilan. Aku numpang di apart Mas dulu ya.” “Ya sudah ayo naik.” Ucap Dipta mengajak Naomi naik. “Kamu tidak keberatan kan ada adikku?” Tanya Dipta seolah meminta ijin. Saki langsung mengangguk cepat. “Tidak apa-apa, Mas.” “Naomi kadang memang main ke apartement. Dia sedang kuliah kedokteran, masih semester lima.” “Hai, Mba Saki. Kamu cantik deh.” Ucap Naomi membuat hati Saki rasanya seperti melepas beban. Naomi sepertinya menerimanya. “Hai, Naomi. Kamu lebih cantik.” Ucap Saki mengulum senyum. “Aku tidak akan mengganggu kalian kok. Aku memang mau mengerjakan tugas. Jadi Mba Saki santai saja ya.” Ucap Naomi seolah merasakan ketegangan Saki. Dipta kembali meraih tangan Saki dan menggenggamnya sepanjang jalan hingga tiba di unit. Naomi bersiul melihat itu. “Kamu wudhu dulu sana. Nanti solat maghrib berjamaah. Mba Saki akan mandi di kamar tamu.” Ucap Dipta saat membuka pintu apartemen. Dia menatap Saki dengan tatapan penuh maksud, membuat Saki mengangguk mengerti maksud pria itu. “Kamu wudhu di kamar mandi luar.” “Aku ambil baju dulu di kamar kita, Mas.” Ucap Saki membuat Dipta mengangguk dengan senyum, wanita itu memang tanggap dan cepat memahami keadaan. Jika Naomi tau mereka pisah kamar dan hal itu sampai ke telinga orang tuanya. Maka Dipta tidak tau harus melakukan pembelaan seperti apa, mengingat mereka bahkan masih tidak menerima Saki sebagai bagian dari Danadyaksa, dan keadaan mereka yang pisah ranjang bisa menjadi alat bagi mereka untuk menyerang rumah tangganya yang seumur jagung. Naomi mengangguk dan langsung menuju ke toilet yang di dekat dapur. Sedang Saki langsung masuk ke kamarnya dan menguncinya. Jantungnya berdegup kencang dengan kedatangan Naomi yang tiba-tiba. “Mba … Kalo mau membuat makan malam aku mau juga ya. Aku belum makan.” Ucap Naomi dengan wajah yang dibuat semanis mungkin, membuat Saki mengangguk, hatinya berdebar dengan apa yang harus dia lakukan. Gadis yang tidak berhijab itu langsung melepas mukenanya dan menuju ruang tamu, membuka laptopnya dan sibuk dengan dunianya. Saki menarik napasnya panjang, sudah melepas tali mukenanya namun rasanya belum siap membuka hijabnya di depan Dipta sekali pun pria itu sudah halal melihatnya. Tapi, jika dia tidak melakukannya, Naomi akan bertanya ini dan itu dan akan curiga dengan hubungan mereka. Dipta melihat tangan Saki ragu untuk melepas mukenanya. Dia mendekat dan meraih tangan Saki. “It’s okay. Aku suami kamu. Aku berhak melihatnya. Remember that you wanna be a good wife?” Ucap Dipta kini meraih tangan Saki. Saki mengangguk kaku, dan membiarkan Dipta melepaskan mukenanya sambil menahan napas. Dipta melepasnya dengan jantung yang berdebar keras, saat dia berhasil menanggalkan mukena Saki, jakunnya naik turun dengan jantung yang berdetak semakin keras. Leher wanita itu begitu putih, jenjang dan ramping, rambutnya panjang hingga pundak, hitam berkilau dan terlihat sangat sehat, tanda jika wanita itu merawatnya. Wajahnya yang bisa Dipta lihat keseluruhan lebih jelas terlihat sangat indah. Kecantikan yang disembunyikan dalam hijab sederhananya selama ini. Saki membuka matanya dan tatapannya bertemu dengan Dipta yang juga menatapnya begitu lekat, dan dekat. Membuat Saki langsung memutus kontak mata itu. Dia menggelung rambutnya dengan kuncir yang dia pakai sebagai gelang. “Aku memasak dulu ya, Mas. Kasian Naomi sudah lapar, kamu pasti juga kan.” Saki mendorong Dipta sedikit agar dia bisa beranjak, saat itu Dipta seolah kembali pada kesadarannya. Dan Dipta menghela napasnya dengan senyum yang hanya dia yang bisa menggungkapkan bagaimana perasaannya. Dia lalu ikut beranjak dan menyusul Saki ke dapur. Rasanya belum puas melihat wanita itu dengan penampilan berbeda malam ini. “Ada yang bisa aku bantu?” “Tidak perlu, Mas. Kamu temani Naomi saja. Lagi pula kamu kan mengatakan tidak pernah menyentuh dapur.” Ucap Saki sibuk menyiapkan bahan, padahal dia tidak ingin memiliki kontak mata dengan Dipta. Dipta pada akhirnya duduk di stool bar. Memperhatikan Saki dari belakang yang terlihat begitu cekatan. Saki yang menggelung rambutnya jadi satu ke atas, membuat Dipta bisa melihat betapa jenjang dan mulus leher wanita itu dari belakang. Bahunya terlihat ringkih, saat wanita itu membalikkan badannya dia bisa melihat tulang-tulang belikat yang menonjol di sana, menandakan jika wanita itu memang kurus. “Mba Saki … Ih cantik sekali. Aku baru lihat Mba tanpa hijab. Pantas Mas Dipta betah di dapur memandangi kamu. Sial! Menang banyak nih Kakakku menikahi kamu, Mba.” Ucap Naomi yang kini ikut duduk di stool bar. Saki jadi semakin gugup, dia seperti sedang ikut kontes memasak dan setiap gerakannya diawasi oleh juri. Empat puluh lima menit kemudian. Tiga porsi steak buatannya telah siap. Wangi masakan wanita itu menjadi daya pikat pertama, itu yang Dipta pelajari, setiap masakan yang dibuat Saki selalu memiliki aroma yang menggugah selera. “Aduh Mba Saki … Ini enak banget. Sumpah. Serius. Boleh ya aku sering-sering ke sini untuk makan malam?” Tatapan Naomi begitu berbinar, matanya mengerjap-ngerjap lucu seolah tengah merayu Saki. Saki yang mendengar itu hanya terkekeh. “Tidak! Kamu mengganggu!” Itu suara Dipta yang menjawab dengan tegas, menolak permintaan Naomi yang ingin sering-sering datang, membuat Naomi langsung mengerucutkan bibirnya kesal. “Mba …Ih … Gimana bisa seenak ini? Suka banget … banget! Restoran langganan kita kalah deh, sumpah!” Naomi kembali berbicara sambil menikmati makan malam yang disajikan Saki. “Cepat habiskan makananmu, lalu pulang sana. Nanti Mama mencarimu.” Ucap Dipta membuat Naomi mendecak. “Antar ya, Mas?” Pinta Naomi. “Tidak. Panggil Pak Ujang aja suruh jemput.” “Ih, jahat! Lihat Mba suami kamu.” “Mas, tidak diantar saja? Kasian malam-malam, kan dekat juga.” Ucap Saki membuat Dipta menatap sebal pada Naomi, namun Naomi justru terkekeh. Dipta akhirnya mengantar Naomi, setelah kepergian mereka Saki akhirnya bisa bernapas lega. Dia membereskan dapur dan bergegas untuk kembali ke kamarnya. Sudah hampir jam sembilan dan dia belum membuka laptopnya. Sebuah pesan masuk ke ponselnya, nomor asing. Membuat Saki mengernyit dan langsung membukanya. -Mba Saki. Aku suka kamu. Aku senang kamu yang menjadi istri Mas Dipta. Kamu sangat jauh berbeda dengan Mba Putri yang manja dan banyak menuntut. I love you, Mba. Kapan-kapan ajari aku masak ya. Adik ipar kamu yang cantik, Naomi - Pesan dari Naomi membuat Saki tersenyum, adik suaminya itu ternyata lebih frontal dan mengungkapkan dengan gamblang perasaannya. Tapi Saki jadi lega, setidaknya sudah ada satu dari keluarga Danadyaksa yang menerimanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD