"Hanya ingin menarik perhatianmu. Karena selama ini kau seperti tak menganggapku ada, Natali. Aku merasa diabaikan," kata Alvaro.
"Lepaskan aku dari sini, Alvaro!" teriak Natali.
"Katakan dengan baik dan aku akan melepaskanmu."
"Dengan baik? Kau pikir aku bodoh, hingga kau mempermainkanku seperti ini?" Natali menjauhkan tangan Alvaro dari tubuhnya. "Dengar, ini toilet wanita, sebentar lagi akan ada yang masuk dan aku akan berteriak. Mereka akan menolongku dan kau hanya akan malu, Alvaro. Aku akan melaporkanmu ke polisi!"
Alvaro hanya tertawa kecil. "Satu, aku sudah mengunci pintu masuk toilet, jadi tak ada yang datang. Dua, meskipun kau berteriak, tidak ada orang yang menyalahkanku karena tempat ini milikku. Tiga, walaupun kau melaporkanku ke polisi - meskipun itu tak akan terjadi - aku akan tetap bebas. Karena aku berteman baik dengan semua polisi di sini, Natali," kata Alvaro dengan senyum kecil.
"Kau! Kau tahu sekarang kau bersikap kekanak-kanakan? Kalau ingin bicara denganku, kita bisa bicara di luar baik-baik, Alvaro. Tidak di toilet seperti ini!" kata Natali.
"Tapi aku suka di toilet seperti ini. Aku bisa lebih dekat denganmu," kata Alvaro.
Natali berdiri dengan wajah marah. Seketika menyesali keputusannya karena wajahnya langsung bersentuhan dengan d**a Alvaro ketika ia berdiri. Toilet itu sangat sempit dan tak cukup meskipun hanya ditempati dua orang.
"Berhenti bersikap menyebalkan dan buka pintunya sekarang karena aku harus mencari Lu. Dia sudah mabuk parah dan aku harus segera menemukannya sebelum kakakku itu dibawa pergi orang lain," kata Natali.
"Jadi kau kesini untuk mencari kakakmu?"
"Kubilang buka pintunya sekarang! Aku bisa menuntutmu dengan pasal 289 atas kasus pemaksaan dan pelecehan seksual dan kau bisa dipenjara sembilan tahun! Sembilan tahun! Kau rela membusuk di penjara sembilan tahun hanya karena aku?" kata Natali.
"Aku tak akan masuk ke penjara meskipun sehari, Natali. Apalagi karena kasus pelecehan seksual. Apa buktinya kalau aku melecehkanmu?" tanya Alvaro.
"Kau mengurungku di sini, siapapun yang mendengar ceritaku pasti berpikir kau melecehkanku!"
Alvaro tertawa kecil dan menggeser tubuhnya ke samping. Memberi Natali ruang untuk membuka pintu sendiri.
"Kau terlalu percaya diri. Siapa yang percaya kalau aku ingin melecehkanmu, sedangkan aku bisa mendapatkan model termahal di negara ini dengan mudah, Natali. Kau menilai dirimu terlalu mahal," kata Alvaro dengan senyum kecil.
Natali membuka pintu toilet dan menatap tajam Alvaro sebelum keluar. "Berapapun aku menilai diriku, itu bukan urusanmu karena aku tak ingin menjual diriku padamu - sampai kapanpun," kata Natali lalu menutup pintu toilet dengan kasar dan pergi meninggalkan Alvaro.
Alvaro masih mengikutinya, Natali tahu itu. Bayangan di belakangnya dan langkah kaki berat dan tajam laki-laki itu sudah tak asing. Apalagi aroma lavender yang keluar dari pakaian mahalnya. Natali sepertinya bisa mengenali Alvaro bahkan jika laki-laki itu berdiri tiga meter di belakangnya.
Tapi Natali tak peduli. Perempuan itu tetap berjalan maju, mencari keberadaan Lu dan juga Devan - yang tak ia lihat sejak tadi. Natali merasa tangannya digenggam oleh seseorang ketika ia sampai di lantai dansa.
"Lu!" teriak Natali.
Tangan yang menggenggam tangan Natali tiba-tiba terlepas saat Natali memanggil Lu. Natali melihat ke belakang dan tak menemukan Alvaro. Padahal Natali sangat yakin orang yang menggenggam tangannya tadi adalah Alvaro. Laki-laki itu menghilang dan tak ada alasan lain selain laki-laki itu tak ingin bertemu Lu.
"Lu!" panggil Natali, sambil mendekati kakaknya yang sedang menari di tengah lantai dansa itu.
"Natali, aku suka sekali dengan lagu ini. Ayo ikut menari denganku," racau Lu dengan wajah memerah karena mabuk.
Natali langsung menarik tangan Lu keluar dari kerumunan itu. Natali membawa Lu ke meja yang kosong di depan bar. Melihat sekelilingnya ingin mencari Devan, tapi Natali tak menemukan laki-laki itu.
"Aku mau menari lagi! Lepaskan aku!" teriak Lu sambil berusaha melepaskan tangan Natali.
"Lu! Ini sudah pukul satu malam! Kita harus pulang! Aku tak bisa disini semalaman, aku harus melihat keadaan Ayah, oke? Bisakah kau berjalan?" tanya Natali setengah berteriak karena musik yang keras di belakangnya.
"Aku ingin - menari. Aku ingin bergerak!" teriak Lu lagi.
Natali mendorong Lu sampai jatuh ke sofa di belakangnya. "Sampai kapan kau akan terus seperti ini, hah? Kau pulang jam tiga pagi setiap hari! Kau mabuk setiap malam! Tidur dengan laki-laki sembarangan, laki-laki yang bahkan tak kau kenal! Aku tak akan kaget jika suatu saat kau terkenal penyakit menular, Lu! Saat itu aku akan menertawakanmu!" marah Natali.
Sedangkan Lu hanya tertawa. "Kenapa, Natali? Tak perlu peduli padaku! Meskipun aku pulang pun, tak ada yang peduli padaku! Dari dulu tak ada yang peduli padaku! Bahkan saat Alvaro, tak peduli padaku! Aku pulang malam setiap hari dan dia tak pernah peduli! Lalu kenapa kau peduli?!" teriak Lu.
"Hanya karena tak ada yang peduli, kau akan terus seperti ini, Lu?" tanya Natali.
Lu mengangkat alis panjangnya. "Aku hanya melakukan apa yang aku suka dan apa yang kuinginkan! Aku tak akan mendengarkan siapapun, termasuk kau, Natali!" kata Lu.
Natali mengangguk dan melempar tas Lu ke sofa. "Baiklah. Baiklah jika itu yang kau mau! Aku akan pulang dan meninggalkanmu di sini! Entah kau akan dibawa seseorang ke kamar atau pemilik bar menyeretmu keluar, aku tak peduli! Aku pulang!"
"Pulang saja-"
Natali yang sudah pergi, berbalik kembali ketika mendengar suara Lu semakin melemah. Ternyata kakaknya itu sudah jatuh terbaring di sofa. Tertidur dan sendirian. Natali pun tak tega meninggalkannya dan mendekati kakaknya itu. Mengambil tasnya dan mengalungkannya ke lehernya. Natali baru saja akan mengangkat tubuh Lu ketika seseorang mengangkatnya lebih dulu.
Tanpa memandang Natali - Alvaro mengangkat tubuh Lu keluar dari bar. Melewati beberapa penjaga yang berbaris rapi di lorong menuju pintu keluar. Sedangkan Natali hanya mengikuti dari belakang. Melihat punggung lebar Alvaro yang terbalut kemeja putih. Terlihat kekar dan kuat.
"Dimana mobilmu?" tanya laki-laki itu saat sampai di parkiran.
Natali berjalan melewati Alvaro. Menunjukkan mobilnya lalu membuka pintu belakang untuk Alvaro. Laki-laki itu pun membaringkan Lu di belakang. Natali menutup pintu mobilnya lalu menatap Alvaro.
"Terima kasih- untuk yang kedua kalinya," kata Natali.
Alvaro mengangkat tangannya. "Mana kunci mobilmu, biar aku yang menyetir," kata Alvaro.
Natali menggeleng, "Tak perlu, aku bisa menyetir sendiri. Sekali lagi, terima kasih sudah membantu mengangkat Lu," kata Natali.
Natali bersiap pergi ketika Alvaro merebut kunci mobilnya. "Biar aku yang menyetir. Ini sudah malam dan kau sedang mabuk," kata Alvaro.
Kening Natali berkerut. "Aku tak mabuk. Aku tak meneguk alkohol setitik pun hari ini. Aku baik-baik saja dan aku seratus persen sadar sekarang. Aku bisa menyetir sendiri," kata Natali.
"Tapi, ini sudah malam, Natali."
Natali merebut kunci mobilnya. "Jika kau mengkhawatirkan Lu, kau bisa percaya padaku. Aku pengemudi yang handal. Jangan meremehkanku hanya karena aku perempuan," kata Natali.
"Sayangnya, aku tak mengkhawatirkan Lu dan aku tak meremehkanmu, Natali," kata laki-laki itu.
Natali tak menanggapi perkataan Alvaro dan masuk ke mobilnya. Perempuan itu menekan tombol klaksonnya agar Alvaro minggir dari jalan. Laki-laki itu menepi dan Natali pun menancap gas mobilnya dengan kuat. Meninggalkan Alvaro di belakang - yang masih melihat mobil Natali sampai mobil itu hilang di antara mobil-mobil lain yang lewat.
****
Pukul delapan pagi, Natali bangun. Bukan karena suara alarm yang biasanya membangunkannya, tapi karena suara pintu terbuka dan tangan Lu yang menggoncang tubuhnya dengan kasar.
"Bangun, Natali!" teriak Lu.
Natali membuka matanya, perlahan bangun dan melihat sinar matahari sudah masuk melewati jendelanya. Perempuan itu mendesah lega ketika melihat jam dinding masih menunjukkan pukul delapan pagi. Setidaknya ia memiliki waktu satu jam untuk bersiap-siap pergi ke kantor.
"Ada apa?" tanya Natali.
Penampilan Lu tak lebih baik dari Natali. Menunjukkan perempuan itu juga baru bangun seperti dirinya. Rambutnya yang biasanya lurus kini terlihat kaku, poninya berantakan, dan ada sisa-sisa maskara di bawah matanya. Natali tak tahu apa yang membuat Lu berani keluar dari kamar dengan penampilan seperti itu. Karena yang Natali tahu, Lu tak akan melangkah sedikitpun dari kamarnya jika penampilannya tidak memuaskan.
"Katakan aku salah, apa aku digendong Alvaro kemarin? Kau tahu! Saat aku mabuk dan datang ke Raven Bar! Aku jelas-jelas mengingat Alvaro menggendongku ke suatu tempat dan membaringkanku." Senyum lebar Lu menghilang dalam sekejap. "Tapi kenapa aku bisa bangun di kamarku? Aku seharusnya bangun di hotel bintang lima di sebelah Raven Bar! Alvaro harusnya membawaku kesana! Bagaimana bisa aku tidur di rumah ini, Natali?" tanya Lu dengan nada kesal.
Natali mengusap wajahnya. Tak menyangka hal itu yang membuat kakaknya itu masuk ke kamarnya. Perempuan itu bangun dari ranjangnya. "Alvaro hanya menggendongmu sampai ke mobil, Lu. Kau mabuk dan aku tak bisa menggendongmu. Dia lalu menolongku dan menggendongmu sampai ke kursi belakang mobil. Itu saja," jelas Natali.
"Alvaro menggendongku?"
Natali menoleh. "Iya, memangnya kenapa?"
"Selama ini dia bahkan tak menatapku. Ini pertama kalinya dia mau menyentuhku setelah empat tahun ini, Nat," ujar Lu dengan tersenyum lebar.
Natali memutar matanya, "Dia melakukannya karena tak ada yang bisa membantuku di sana. Jangan berharap berlebihan, Lu. Dia hanya bersikap manusiawi. Tak mungkin dia membiarkanku menggendongmu, padahal dia mengenal kita, kan?" kata Natali.
"Tidak- tidak. Alvaro yang aku kenal bukan seperti itu. Jika dia tak tertarik, dia tak akan peduli sama sekali. Dia pasti tertarik lagi denganku, Natali. Aku masih memiliki kesempatan." Lu menatap Natali penuh harap. "Jadi, karena itu, bisakah kau membantuku?" tanya perempuan itu.
"Membantu apa maksudmu?" tanya Natali bingung.
"Membantuku agar bisa dekat dengan Alvaro lagi. Bukankah kau bekerja di perusahaannya. Kau pasti sering bertemu dengannya, kan?"
Natali menggeleng, tak suka dengan ide itu. "Dengar, aku hanya pegawai pindahan di sana. Aku bukan siapa-siapa. Dan Alvaro adalah atasan - dari atasan-atasanku, kau tahu?" Melihat Lu tampak kebingungan, Natali menjelaskan lagi. "Maksudku, atasanku saja tak pernah berbicara dengannya, bagaimana bisa aku yang hanya bawahan bisa bicara dengan CEO Alejandra Group, Lu?" kata Natali.
Lu bangun, terlihat marah. "Tapi kau mantan adik iparnya. Dia pasti mengingatmu, Natali! Meskipun aku dan Alvaro ada masalah, tapi kau tidak! Dia tak mungkin mengabaikanmu, aku yakin," kata Lu penuh harap.
"Aku tidak mau. Aku tak mau terlibat dengan bos besarku sendiri. Orang-orang akan membicarakanku dan aku tak suka," kata Natali lalu mengambil handuknya.
"Kalau begitu kau cukup memberitahu semua orang kalau kau mantan adik iparnya. Itu juga keuntunganmu, tak ada yang berani mengganggumu kalau mereka tahu kau memiliki hubungan dengan keluarga Alejandra," ucap Lu tak mau kalah.
"Aku tetap tak mau. Aku ingin bekerja dengan nyaman di sana. Aku tak mau meminta bosku untuk kembali ke mantan istrinya." Natali melepas ikat rambutnya. "Dan coba pikirkan, bagaimana aku bisa membantumu? Apa kau ingin aku menculik Alvaro Alejandra dan membawanya ke kamarmu? Tidak mungkin, kan? Aku bahkan tak kuat menarik tangannya," kata Natali.
Lu mendekati Natali dan memegang bahu adiknya itu. "Hanya menyampaikan pesanku padanya, Natali. Dia tak mau berbicara denganku dan tak membalas pesanku selama empat tahun ini. Kau hanya perlu menyampaikan apa yang ingin kukatakan padanya. Hanya itu, Natali," kata Lu.
Natali tetap menggeleng. "Tidak mau," ucap perempuan itu dengan tegas.
Lu menghentakkan tangannya, menatap Natali dengan tajam. Benar-benar marah karena Natali tak mau membantunya.
"Apa aku memintamu hal yang sulit? Aku hanya ingin kau bicara dengannya! Apa susahnya itu? Kau tahu bagaimana hidupku setelah dia menceraikanku! Kau tahu persis! Kau yang paling tahu bagaimana aku menangis setiap malam! Tapi kenapa kau tak ingin membantuku sama sekali! Kau tega, Natali! Aku pikir kau memihakku, tapi kau sama sekali tak peduli denganku!" ujar Lu dengan mata berkaca-kaca.
Natali tak bisa berbohong, kalau dirinya kasihan pada kakaknya itu. Bahwa Natali ingin membantunya dan mengembalikan kehidupan kakaknya yang cantik seperti dulu. Tapi tetap saja - bukan dengan Alvaro Alejandra. Natali hanya merasa - kalau dirinya berhubungan lagi dengan Alvaro, Natali akan mendapat masalah yang lebih besar. Natali tak mau terlibat dengan laki-laki itu.
"Alvaro sudah memiliki pacar. Kau tahu Merissa, model kesukaanmu yang kau pajang fotonya di kamarmu, dia adalah pacar baru Alvaro."
"Merissa? Merissa Juliard? Kau bercanda? Tak mungkin -" Lu terlihat sangat terkejut dengan berita itu. "Tidak. Itu tak masalah. Selama ini banyak berita hubungan Alvaro dengan artis dan model terkenal, tapi hubungan itu tak sampai dua bulan. Dan kau tahu, aku menikah dengan Alvaro selama dua tahun. Aku tak akan takut dengan siapapun - termasuk Marissa Juliard," ucap Lu dengan wajah percaya diri.
Natali mengerti dari mana rasa percaya diri itu berasal. Lu memang sangat cantik - mungkin lebih cantik dari Merissa. Hanya saja Lu tak mengoperasi semua wajahnya seperti Merissa. Meskipun sering berpakaian pendek dan memakai riasan tebal, tapi Lu tak pernah mengoperasi wajahnya sedikitpun.
"Dan asal kau tahu, aku sudah membuang poster Merissa di kamar itu. Ya ampun, itu sudah lama sekali aku mengaguminya. Itu hanya saat aku masih baru di dunia modeling, sekarang aku tahu Marissa itu perempuan murahan dan aku sudah membuang semua posternya, Natali," kata Lu.
Natali mendorong Lu sedikit ke samping, lalu membuka kamar mandi. "Apapun itu, Aku tak mau mengganggu hubungan siapapun, Lu. Lebih baik kau memulai hubungan dengan laki-laki lain, aku akan mendukungmu jika kau melakukannya," balas Natali.
Lu menatap Natali sedih. "Aku sudah melakukannya dari dulu jika aku bisa membuka hatiku, Natali," ujar perempuan itu.