"Natali! Natali! Kau sudah dengar?"
Brigita mendekati Natali sesaat setelah perempuan itu masuk ruang kantor. Natali membungkukkan badan ke pengacara Le, satu-satunya pengacara senior di ruangan itu. Membiarkan Brigita mengikutinya di belakang. Saat Natali duduk di kursinya, Arnold juga ikut berkumpul di depan mejanya.
"Kalian tak punya pekerjaan? Kenapa berkumpul di depan mejaku pagi-pagi seperti ini?" tanya Natali.
Brigita duduk di depan meja Natali. "Kau tak baca grup perusahaan? Nanti malam bos besar mengajak kita makan malam. Makan malam Natali! Dengan banyak daging dan alkohol! Tiga tahun aku bekerja di sini, aku tak pernah makan malam," kata Brigita dengan semangat.
Natali mengeluarkan laptopnya. "Cuma makan malam. Kantorku yang lama selalu melakukannya seminggu sekali. Apa yang istimewa, Brigita?" tanya Natali.
"Masalahnya, ini bos besar yang mengajak kita. Dan cuma divisi kita, Natali. Hanya orang yang ada di lantai ini. Tidak ada dua puluh orang. Sekarang aku yang bingung, kenapa harus divisi kita? Kenapa tak lantai 13 yang banyak perempuan cantik?" tanya Brigita.
Arnold melirik Natali. "Di sini juga ada perempuan cantik," kata laki-laki itu menggoda Natali.
Brigita mengangguk setuju. "Benar. Natali cantik, tapi lantai ini kebanyakan pengacara senior yang sudah tua. Sedangkan lantai atas, seperti punya lima belas orang seperti Natali."
"Bos besar yang kau masuk - apa Alvaro Alejandra?" tanya Natali.
Brigita menatap Natali panik. "Tuan Alvaro! Kau tak boleh memanggilnya sembarangan! Dan ya! Benar dia. Bos besar adalah sebutan Tuan Alvaro di kantor ini," kata Brigita.
Natali menatap Arnold yang tersenyum-senyum padanya. Natali tak tahu kenapa Alvaro mengajak divisinya makan malam. Padahal minggu ini tak ada kasus besar yang berhasil mereka selesaikan. Dan kenapa Alvaro hanya mengundang divisinya?
Apapun alasannya, Natali tahu itu berhubungan dengannya atau kakaknya. Natali bukannya terlalu percaya diri. Tapi memang tak ada alasan lain selain itu. Bukankah Alvaro terkenal menjaga jarak dari karyawannya selama ini?
"Maaf, sepertinya hari ini aku tak bisa ikut," kata Natali tanpa menatap Brigita di depannya.
Brigita tampak sedih. "Kenapa? Kenapa kau tak datang?" tanya Brigita.
"Aku harus mengantar ayahku ke rumah sakit," kata Natali.
Arnold tersenyum kecil. "Jangan berbohong. Ayahmu ke dokter setiap hari Jumat. Kau pikir aku tak tahu, Natali?"
Natali menatap Arnold tajam. Marah karena tak menyadari keinginan Natali agar tak ikut makan malam itu. Natali sungguh tak ingin bertemu dengan Alvaro.
"Minggu ini jadwalnya diundur. Apa aku harus menjelaskan hal seperti ini padamu? Memangnya kenapa kalau aku tak datang?" kata Natali sedikit kesal.
"Ini kan makan malam pertama kita, Natali. Dan Tuan Alvaro akan datang! Kau tak boleh melewatkannya sedikit pun." Brigita menatap Arnold yang duduk di sampingnya. "Pulang nanti, kita harus menahan Natali agar tak pulang. Dia tak boleh pulang karena dia yang paling cantik di lantai 12 ini. Siapa tahu Tuan Alvaro atau sekretarisnya akan menyukai Natali," kata Brigita dengan semangat.
Arnold berbisik di telinga Natali. "Datanglah, karena sepertinya Alvaro merencanakan makan malam ini agar bisa bertemu denganmu," kata Arnold.
"Apa sih yang kau mau? Kau ingin aku menjauh darinya! Bahwa aku tak boleh jatuh cinta pada Alvaro karena akan mempersulit semuanya. Tapi kenapa kau malah memintaku datang makan malam?" tanya Natali dengan kesal.
"Aku memintamu jangan sampai jatuh cinta padanya, bukannya menjauhinya. Yang benar saja, dia itu pemilik perusahaan ini, kau tak mungkin menjauhinya dengan sengaja, Natali. Karyawan seperti kita tak boleh melakukan itu - termasuk menolak ajakan bos besar untuk makan bersama," jelas Arnold.
"Aku tak peduli. Aku tak akan datang." Natali menoleh pada Brigita. "Dan pergilah dari mejaku! Aku harus bekerja, Brigita!" kata Natali dengan tegas.
"Baiklah -baiklah. Aku minta maaf -" Brigita berdiri dan tersenyum kecil pada Natali. "Tapi kau harus datang hari ini, Natali," kata Brigita.
****
Natali sudah menolak Arnold dan Brigita dengan susah payah. Memberikan beberapa alasan - yang meskipun Natali tahu mereka tak percaya padanya, tapi Natali berhasil pergi dari mereka. Natali berjalan dengan cepat, takut seseorang akan menyadarinya. Perempuan itu membuka pintu mobilnya ketika seseorang menariknya, lalu membuka pintu belakang dan mendorong Natali masuk.
"Hei, apa yang kau lakukan?" tanya Natali kesal.
Alvaro tak menjawab dan menutup pintu mobil Natali. Laki-laki itu masuk ke pintu depan dan duduk di belakang setir. Menghidupkan mobil dan menjalakannya.
"Apa yang kau lakukan, Alvaro?" tanya Natali dengan nada tinggi.
"Aku yang menyuruhmu memanggilku Alvaro, tapi entah kenapa sekarang aku tak begitu menyukainya." Alvaro menoleh ke belakang. "Jangan menggunakan nada tinggi saat memanggilku, Natali," kata Alvaro.
"Turun sekarang, Alvaro! Apa maksudmu masuk ke mobilku tanpa izin seperti ini?" teriak Natali dengan kesal.
"Kita akan makan malam bersama sekarang," kata Alvaro.
"Makan malam? Maksudmu kita berdua?" tanya Natali.
Alvaro tertawa kecil. "Kau ingin begitu? Kalau begitu, biarkan aku menelepon Riyan dan memberitahunya aku tak jadi ikut makan malam perusahaan." Alvaro melirik Natali dari kaca mobil. "Karena ada salah satu karyawanku yang mengajakku makan malam berdua saja," katanya.
"Jangan bercanda! Aku tak ingin makan malam bersamamu ataupun perusahaan! Aku ingin pulang, Alvaro!" kata Natali.
"Tapi sayangnya aku ingin mengajakmu pergi, Natali."
"Apa kau selalu memaksa karyawanmu seperti ini?"
"Hanya kau."
Natali mendesah pelan. Menyandarkan punggungnya ke kursi. Perempuan itu menatap Alvaro dari belakang. Tahu bahwa sesekali laki-laki itu meliriknya dari kaca mobil. Mereka melewati beberapa gedung di jalan itu. Hingga sampai pada salah satu restoran kecil di pinggir jalan. Alvaro mematikan mesin mobilnya dan membukakan pintu untuk Natali.
"Kau tak keluar?"
Natali menggeleng. "Aku tak berkata akan keluar. Pergilah! Aku akan pulang sendiri," kata Natali.
"Aku tak akan pergi tanpamu, Natali," kata laki-laki itu.
Natali menelan ludahnya. "Sebenarnya, apa alasan kau mengadakan makan malam seperti ini? Untuk bertemu para karyawanmu, kan? Tapi kenapa kau malah menghabiskan waktu denganku, Alvaro?" tanya Natali.
Alvaro tersenyum miring. "Memang itu tujuanku. Karena itu jika kau tak datang, percuma aku mengadakan makan malam ini, kan? Kecuali, jika kau ingin makan malam berdua denganku," kata Alvaro sambil menaikkan kacamatanya.
"Apa kau selalu berbuat seenaknya seperti ini?" tanya Natali.
"Aku tak pernah berusaha sekeras ini hanya untuk makan malam dengan perempuan, Natali," kata Alvaro.
"Lalu kenapa kau ingin makan malam denganku? Apa sebenarnya yang kau inginkan? Kau bersikap seperti ini karena aku adik Lu? Karena aku mantan adik iparmu, bukan?" tanya Natali.
Alvaro menggeleng. "Bahkan kadang aku lupa kalau kau adik Lucresia," kata laki-laki itu.
"Lalu kenapa? Kalau bukan karena aku adik Lu, kenapa kau bersikap seperti ini? Kenapa kau terus menggangguku, Alvaro?"
Alvaro masuk ke mobil dan menarik Natali. "Ikut dulu denganku, baru aku menjawab pertanyaanmu," kata Alvaro.
"Kubilang aku tak mau! Lepaskan aku, Alvaro! Lepaskan!" teriak Natali saat Alvaro menariknya, tapi Alvaro tak peduli dan terus membawa Natali ke restoran.
"Diam atau kau akan malu sendiri, Natali," kata Alvaro.
Natali diam ketika melihat teman kerjanya sudah duduk di ruangan besar yang disewa Alvaro. Ruangan tertutup yang lengkap dengan mesin karaoke dan beberapa minuman alkohol di meja. Di sana sudah tersaji banyak makanan, hingga Natali pikir tak akan habis hanya untuk 30 orang di ruangan itu.
Saat Alvaro membuka pintu, semua orang berbalik dan menatapnya. Natali segera melepaskan tangan Alvaro darinya. Mencoba bersikap seperti biasa karena tak ingin orang-orang menggosipkannya dengan Alvaro.
"Selamat datang Tuan Alvaro," sapa Brigita dengan senyum manis.
Alvaro hanya mengangguk, lalu duduk di kursi paling tengah. Natali mencari kursi kosong lain, tapi tak ada, kecuali kursi di sebelah Alvaro. Saat Arnold menarik kursi untuk Natali, perempuan itu dengan kesal pun terpaksa duduk di atasnya.
"Bagaimana Tuan Alvaro dan Natali bisa datang bersama?" tanya Arnold sambil menyenggol lengan Natali.
Perempuan itu melotot pada Arnold dan berkata. "Aku bertemu Tuan Alvaro di depan, memangnya bagaimana lagi? Tak mungkin aku pergi semobil dengan Tuan Alvaro, kan?" kata Natali sambil tertawa kecil di akhir.
"Itu tidak mungkin. Tuan Alvaro tak suka semobil dengan siapapun- kecuali dengan Riyan, asistennya," kata salah satu karyawan lantai 12.
Alvaro pun ikut menambahi, "Benar, kami tadi bertemu di depan," kata Alvaro.
Alvaro mengambil makanan dan membuka beberapa botol minuman keras. "Makanlah, hari ini kita lupakan pekerjaan dan berpesta kecil di ruangan ini. Kalian juga boleh karaoke, jika mau," kata Alvaro.
Semua orang bersorak dan membuka beberapa wine lagi. Salah satu berjalan ke mesin karaoke dan mulai menyetel lagu. Alvaro tersenyum kecil pada karyawannya itu. Laki-laki itu melirik Natali kecil, menyadari hanya Natali yang tak terlihat bahagia.
Alvaro pun mengambilkan gelas untuk Natali. Laki-laki itu memasukkan es batu dan wine istimewa yang berbeda dengan yang diminum karyawan lain.
"Cobalah," kata Alvaro sambil memberikan wine itu pada Natali.
"Tidak. Aku tak mabuk. Aku harus menyetir nanti," kata Natali.
"Aku bisa mengantarmu pulang, Natali. Bersenang-senanglah hari ini," kata Alvaro.
"Aku tidak mau menerima minuman dari orang asing. Tak ada yang tahu apa yang kau masukkan di dalamnya. Bisa jadi kau meracuniku atau memberiku obat, " kata Natali.
"Aku tak sebajingan itu, Natali. Lihatlah, aku akan baik-baik saja saat meminumnya," kata Alvaro sambil meneguk kecil wine untuk Natali.
Alvaro meneguknya lalu memberikannya pada Natali. Natali melotot memandang minuman yang di berikan Alvaro.
"Kau pikir, aku akan mau meminum bekasmu? Yang benar saja," kata Natali ketus.
"Baiklah aku akan menuangkannya di gelas lain."
Alvaro berdiri dan mengambil gelas lain. Lalu memasukkan wine ke dalam gelas itu. Alvaro meletakkan gelas itu di depan Natali. Tak ingin memaksa Natali untuk minum lagi. Hanya mereka yang masih duduk di meja, sedangkan karyawan lain termasuk Arnold dan Brigita tengah asik berkaraoke di belakang mereka.
"Jadi katakan padaku, kenapa kau menghindariku, Natali? Kenapa kau tak menyukaiku? Apa karena aku mantan suami kakakmu?" tanya Alvaro sambil menyangga kepalanya dengan tangannya.
Natali mengangkat alisnya, "Iya," jawabnya ketus.
"Lalu kenapa kalau aku mantan suami kakakmu? Itu bukan alasan yang kuat untuk membenciku," ujar Alvaro.
"Itu alasan yang lebih dari kuat. Kau tahu semua orang tak lahir dari keluarga konglomerat sepertimu, Alvaro. Semua orang tak lahir dengan kekayaan yang kau miliki. Ayahku menikah lagi, perusahaannya bangkrut, dan tak cukup itu, dia terkena penyakit Alzheimer. Umurnya baru lima puluh tahun, tapi dia sudah seperti anak lima tahun. Ayahku kadang tak ingat namanya sendiri. Dan saat itu, ekonomi keluargaku berada di titik terendah. Dan hanya Lu harapan kami - karena aku masih SMP dan tak bisa melakukan apapun. Lu mendapatkan beasiswa ke Paris dan aku harus bekerja untuk membantu biaya hidupnya di sana,"
Natali mengerjapkan matanya. "Aku senang bekerja untuk Lu. Meskipun aku harus merelakan waktu dan tenagaku untuknya, itu tak apa-apa. Lu adalah harta keluarga kami." Natali menatap Alvaro tajam. "Tapi kau! Karena kau Lu pulang tanpa menyelesaikan sekolahnya. Apa yang aku kerjakan, apa yang aku relakan untuk Lu - terasa sia-sia. Aku tak bekerja untuk Lu - hanya agar Lu menikah dengan laki-laki kaya dan menjadi ibu rumah tangga. Aku bekerja untuknya agar Lu meraih impiannya sebagai desainer pakaian terkenal - yang mampu membuat brand sendiri dan membantu keluarga kami bangkit lagi. Tapi hanya karena laki-laki seperti kau, apa yang aku perjuangkan menjadi sia-sia. Dan bahkan -
Natali menarik napas. "Bahkan setelah kau menceraikannya - Lu tak kembali menjadi Lu yang dulu. Lu tetap menjadi Lu yang bodoh hanya karena kau! Karena itu aku membencimu. Apa sekarang kau paham?" tanya Natali.
Alvaro mengangguk, "Aku paham," katanya.
"Jadi, bisakah kau menjauhiku? Seperti kau menjauhi Lu, jauhi juga aku! Jauhi aku dan keluargamu, Alvaro Alejandra," kata Natali.
Alvaro menundukkan kepalanya, menautkan jemarinya menjadi satu dan berkata, "Aku tak bisa."
"Kenapa? Kau sudah menjauhi Lu selama empat tahun ini! Kau hanya perlu melakukannya seperti itu. Karena aku tak ingin berurusan denganmu,Alvaro," ujar Natali.
"Empat tahun yang lalu, kau tak berada di sini." Alvaro menatap Natali dengan lembut. "Dan aku bisa menjauhi Lu, tapi sepertinya aku tak bisa menjauhimu, Natali," kata Alvaro.
"Kenapa? Kenapa kau tak bisa menjauhiku seperti kau menjauhi Lu? Aku bukan siapa-siapa, Alvaro!"
Alvaro mengangkat gelasnya dan menatapnya cukup lama. Laki-laki itu meminum wine-nya sampai habis, lalu menatap Natali.
"Aku hanya -" Alvaro menelan ludahnya dengan susah payah. "Entah kenapa - aku hanya - aku hanya sedikit tertarik denganmu," kata Alvaro dengan wajah serius.