PART 9 - Pesta Ulang Tahun

1696 Words
Alvaro mengeratkan jaket hitamnya. Turun dari mobil dan melihat banyak mobil sudah terparkir di halaman rumah Lu. Meskipun tak besar, tapi pesta ulang tahun Lu itu sangat ramai dan terlihat mewah. Laki-laki itu masuk ke rumah Lu. Merasa tak asing dengan rumah bernuansa putih itu. Empat tahun yang lalu, Alvaro sering datang ke rumah itu. Dan ternyata - masuk lagi ke rumah itu tak seburuk yang Alvaro kira. Setidaknya dia memiliki tujuan untuk datang ke pesta itu. Pesta diadakan di taman samping rumah. Dengan lampu-lampu emas yang ditata rapi mengitari taman bunga mawar. Alvaro ingat - taman itu dirawat oleh Widan - ayah Natali yang kini sedang sakit Alzheimer. Saat bertamu di sana, semua orang panik ketika tangan Widan tertancap duri bunga mawar yang tajam hingga harus dirawat di rumah sakit. Itu sudah lima tahun yang lalu dan kini, taman itu sudah tak sehidup yang dulu. Alvaro tak langsung berjalan ke pusat keramaian. Tempat dimana ada kue besar di tengah panggung dan Lu berdiri di belakangnya. Laki-laki itu menjauhi Lu, mencari sedikit saja celah - dimana ia bisa menemukan Natali. Dan laki-laki itu tersenyum kecil, ketika perempuan itu berdiri di pojok ruangan. Dengan segelas wine di tangan kanannya. Menatap kakaknya yang tengah memotong kue di depan teman-temannya. Saat Alvaro mendekat, perempuan itu hanya meliriknya. Meskipun sekilas, Alvaro melihat mata perempuan itu mengerjap. Alvaro tahu mungkin Natali tak menyangka dirinya benar-benar datang. Tapi seperti biasa, Alvaro kagum dengan pengendalian ekpresi perempuan itu. Wajah datarnya benar-benar membuat Alvaro ingin menyimpannya seorang diri. Gila. Mungkin Alvaro sudah gila karena perempuan yang memakai gaun merah tua itu. "Kau tak kaget melihatku datang?" tanya Alvaro. Perempuan itu melirik Alvaro. "Kau tahu? Terakhir ulang tahunku dirayakan seperti ini- itu saat ibuku masih hidup, saat aku berusia delapan tahun. Setelah itu - mereka tak ingat tanggal ulang tahunku. Ayahku melupakannya karena penyakitnya, sedangkan Lu dan Rebeca, mereka bahkan tak pernah bertanya kapan ulang tahunku," kata Lu. "Memangnya kapan ulang tahunmu?" tanya Alvaro. Natali tersenyum kecil. "Kau bilang tertarik padaku, tapi bahkan tak tahu hari ulang tahunku," kata Natali sarkas. "Aku bahkan tak ingat hari ulang tahun Lu, Natali," kata Alvaro. "25 Juli." "Oke. Aku akan mengingatnya. Setiap 25 Juli, aku berjanji akan merayakannya denganmu - meskipun hanya kita berdua. Dan kau tak boleh menolakku," kata Alvaro. Natali hanya tersenyum kecil, tak menganggap perkataan Alvaro serius. Perempuan itu segera menjauh dari Alvaro ketika seorang laki-laki mendekatinya. Alvaro mengenal laki-laki itu - dia adalah karyawan Alvaro yang satu ruangan dengan Natali. Mereka terlihat dekat hingga membuat Alvaro sedikit iri pada laki-laki itu. Mereka berpelukan - bukan pelukan renggang yang sering Alvaro lakukan ketika bertemu kekasihnya selama ini. Tapi pelukan yang benar-benar erat. Tubuh mereka saling bersentuhan dan tanpa sadar, Alvaro mengepalkan tangannya. Laki-laki itu mendekati dua orang itu dengan perlahan. "Kenapa kau tak berdiri di depan sana?" tanya Arnold sambil menunjuk panggung tempat Lu berdiri. Natali menggeleng pelan. "Lu lebih suka bersama teman-temannya," kata Natali. Arnold menoleh ke belakang sambil mengangguk-angguk. "Oke. Kalau begitu, bagaimana kalau kita mengambil satu botol wine dan sepotong kue - lalu membawanya ke kolam renang?" tanya Arnold. Sebelum Natali menjawab, Alvaro sudah menarik tangan perempuan itu. "Tidak bisa. Natali bersamaku," kata Alvaro. Arnold menatap Natali bingung. "Kau mengundang Pak Alvaro?" tanya Arnold. "Natali mengundangku." "Lu mengundangnya." Natali dan Arnold saling menatap karena mereka berbarengan menjawab. Natali menatap Alvaro tajam dan menjelaskan pada Arnold. "Lu mengundangnya," kata Natali. Arnold mendekati Natali dan berbisik, "Tapi dia tak pernah datang meskipun Lu mengundangnya." Natali sedikit terkejut ketika Alvaro menariknya kembali. Menariknya menjauhi Arnold hingga punggung perempuan itu bersentuhan dengan d**a Alvaro. Alvaro tersenyum kecil ketika melihat wajah Arnold yang begitu terkejut melihat mereka. Perlahan, laki-laki yang lebih pendek dari Alvaro itu berbalik dan menjauhi Natali - kembali ke teman-temannya yang sedang memberikan selamat pada Lu. Natali menepis tangan Alvaro dan menatapnya marah. "Apa sih yang kau lakukan? Sikapmu ini - hanya membuat semua orang salah paham sama kita. Arnold tidak akan tutup mulut meskipun dia sahabatku - dia akan menyebarkan berita yang tidak-tidak tentang kita, Alvaro," kata Natali kesal. "Kau dekat dengannya?" tanya Alvaro. "Iya. Aku dekat dengan Arnold. Mungkin dia laki-laki yang paling dekat denganku - selama ini," kata Natali. "Tapi kau tak tertarik dengannya," ucap Alvaro. Natali mendongak menatap Alvaro. "Kenapa kau sangat yakin?" tanya Natali. "Karena kau sudah mengenalnya selama itu. Kau tak akan terus menjadi sahabatnya jika kau tertarik dengannya. Aku benar, bukan?" tanya Alvaro. Natali tak menanggapi perkataan Alvaro. Perempuan itu mendekati meja dan meletakkan gelasnya yang sudah kosong di atasnya. Alvaro ingin menyusul perempuan itu. Tapi ia melihat Rebeca tengah mendekati Natali. Laki-laki itu berbalik, ingin menghindari Rebeca. Namun, wanita bergaun hitam yang pernah menjadi ibu mertuanya itu sudah lebih dulu memanggilnya dengan suara nyaring. "Alvaro! Alvaro, Sayang! Apakah itu kau!" Sangat nyaring hingga membuat semua orang di ruangan itu menatapnya. Alvaro melirik ke panggung, berharap Lu tak mendengar teriakan itu. Tapi ia segera menyesal ketika Lu juga sedang menatapnya. Ini pertama kalinya - Alvaro bertatapan dengan perempuan itu - sejak empat tahun yang lalu. "Alvaro! Kau datang ke pesta Lu? Kenapa kau tak menyapa Mami?" Rebeca menoleh ke Lu yang masih di panggung dan melambaikan tangannya menyuruh Lu datang. Alvaro ingin menghilang dari pesta itu, tapi kakinya tak bergerak. Meskipun ia setengah mati ingin menghindari situasi itu, tapi ia tetap saja tak bisa menghilang. Sedangkan di depannya banyak orang yang menghalanginya. Termasuk Natali yang kini menatapnya dengan wajah datarnya. "Tante," sapa Alvaro pada Rebeca. "Alvaro, sudah berapa tahun kau tak kemari? Apa Lu mengundangmu? Kata Lu kau sedang berada di luar negeri, kapan kau kembali, Nak?" tanya Rebeca dengan penuh kesenangan. Alvaro sedikit bingung. Kenapa Rebeca mengiranya berada di luar negeri? Padahal Alvaro tak pernah keluar negeri. Alvaro tersenyum dengan kaku. "Natali mengundang saya, Tante," kata Alvaro. Mendengar namanya disebut, Natali melotot pada Alvaro. Perempuan itu mendekati Rebeca dan berdiri di sampingnya. "Lu mengundangnya dan aku hanya menyampaikan pesan Lu pada Alvaro," kata Natali, berharap Rebeca tak salah paham. Rebeca melirik Natali tajam, lalu wajahnya berubah ketika menatap Alvaro. "Sudah kuduga Lu yang mengundangmu." Rebeca menepuk tangan Alvaro dengan senyum kecil. "Dan berhentilah memanggilku Tante. Kita bukan orang asing lagi. Kau dulu memanggilku Mami, aku sangat menyukainya, Alvaro," kata Rebeca. Alvaro menggeleng. "Saya dan Lu sudah bercerai, Tante. Kalau saya masih memanggil Mami, itu akan menjadi gosip orang-orang," kata Alvaro. Alvaro melirik Lu yang sudah turun dari panggung. Laki-laki itu segera berkata, "Tante, saya ada pekerjaan malam ini. Saya minta maaf, tapi sepertinya saya harus pergi dulu," kata Alvaro dengan cepat. Namun, rupanya Rebeca tak membiarkan Alvaro pergi. Wanita paruh baya yang masih cantik itu menahan tangan Alvaro dengan kedua tangannya. Memeganginya erat seolah tak ingin Alvaro pergi sedikitpun. Alvaro hanya mendesah panjang ketika Lu sudah berdiri di depannya. Memasang senyum paling lebar yang pernah Alvaro lihat selama mengenalnya. Bahkan saat pesta pernikahan mereka, Lu tak tersenyum selebar itu. "Alvaro, aku tak mengira kau benar-benar datang. Kau pasti sibuk sekali. Aku tak mengharapkan kau datang, tapi ternyata -" ucap Lu sampai tak bisa menyelesaikan perkataannya. "Aku ke sini bukan -" "Alvaro ada meeting di dekat rumah kita. Dia hanya mampir ke sini," potong Natali sebelum Alvaro mengatakan hal yang tidak-tidak. "Tak masalah. Meskipun kau hanya mampir, tak masalah. Yang penting kau datang ke pesta ulang tahunku." Lu tiba-tiba mendekati Alvaro dan menggenggam erat tangannya. "Yang penting kau masih peduli denganku. Kau tak akan datang ke sini kalau kau sama sekali tak peduli denganku, kan?" "Lu, aku datang kesini bukan karena aku peduli denganmu," ucap Alvaro sambil berusaha melepaskan tangan Lu. Lu menggeleng pelan, "Aku tahu. Aku tahu kau masih marah dan kecewa pada pernikahan kita. Aku paham, Alvaro. Tapi aku senang akhirnya kau mau menemuiku lagi. Akhirnya kau mau melihatku lagi," kata Lu dengan wajah berkaca-kaca. Alvaro dengan sedikit kasar menepis tangan Lu yang masih menggenggam tangannya. "Aku harus mengatakan ini - kalau aku kesini bukan untuk melihatmu. Aku ke sini untuk -" Natali menarik jaket Alvaro di belakang, "Kau belum mengucapkan selamat ulang tahun pada kakakku. Bukankah untuk itu kau datang ke sini?" kata Natali sambil menatap tajam laki-laki itu. Alvaro seketika mengerti, kalau Natali tak ingin dirinya mengatakan pada Lu kalau ia datang untuk bertemu Natali. Laki-laki itu langsung memegang tangan Natali yang masih menyentuh punggungnya dan menyembunyikannya di belakang. "Selamat ulang tahun," kata Alvaro dengan senyum kecil - senyum bukan untuk Lu, tapi untuk Natali. Tangan Natali terlepas dari genggamannya. Alvaro bertanya-tanya kenapa tiba-tiba Natali melepaskan tangannya. Dan pertanyaan itu terjawab ketika tiba-tiba Lu memeluk Alvaro. Sangat erat dan Alvaro tak bisa menolaknya. Perempuan itu menyandarkan kepalanya di bahu Alvaro. Alvaro merasakan wajah Lu hampir menyentuh lehernya. Jika dulu ia merasa senang ketika Lu melakukan itu, kini Alvaro tak menyukai sedikitpun bersentuhan dengan perempuan itu. "Terima kasih. Terima kasih karena sudah mau datang untukku, Alvaro," kata Lu tepat di telinganya. Alvaro melepaskan Lu ketika melihat Natali berjalan menjauhinya. Perempuan itu berjalan menembus kerumunan. Meninggalkan Alvaro dengan dua wanita yang paling tidak ingin ia temui di sana. Alvaro melihat punggung kecil perempuan itu perlahan mengecil. Alvaro tak tahu kemana perempuan itu pergi meninggalkannya. Harusnya Natali menyelamatkannya dari situasi sekarang. Harusnya Alvaro mengejar perempuan itu dan meninggalkan Lu yang tak penting baginya. Harusnya Alvaro mengatakan dengan tegas, kalau dirinya bukan datang untuk Lu, tapi untuk Natali. Tapi Alvaro tak melakukannya. Karena Alvaro sedikit tahu, jika ia mengatakan itu pada Lu, Alvaro akan menempatkan Natali pada posisi yang sulit. Alvaro tak mau merusak hubungan Lu dan Natali. Lebih tepatnya, Alvaro tak mau Lu menyakiti Natali karena dirinya. Karena Alvaro sudah tahu perempuan seperti apa Lu. Dan perempuan itu tak akan ragu menyakiti Natali, meskipun Natali adalah adik tirinya sekalipun. "Malam ini, kau harus ikut denganku menyapa teman-temanku. Kau ingat Laurdhi, kan? Dia pernah bermain golf denganmu beberapa kali. Perusahaannya baru saja terkena skandal sewa tanah, mungkin kau bisa membantunya." Lu menarik Alvaro dengan kuat ke arah teman-temannya. "Kau juga ingat Alberty, kan? Teman modelku yang pernah aku ceritakan! Sekarang dia sudah menikah. Kau pasti tak menduga dia sudah memiliki bayi lucu ----" Banyak sekali yang Lu bicarakan, tapi Alvaro tak bisa mendengar semuanya. Matanya terus mencari kemana Natali pergi dan telinganya terus mengelana, berharap mendengar sedikit saja - suara Natali yang selalu menghantui pikirannya akhir-akhir ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD