Vincent berjalan masih memegang apel di tangannya. Dia memikirkan tentang sebuah rasa yang tadi dia makan dari perempuan yang bernama Zara itu. Namun lagi-lagi dia hanya merasakan perasaan hambar saat memakan apel dari pekerja lainnya, bahkan dari sesama pencuri dia makan. amun hal yang sama dia rasakan tidak sama persis saat apa yang dia makan apel pemberian dari Zara saat itu.
"Tahu begitu ... Aku tidak menghabiskannya tadi, biar aku bisa bedakan," gumam Vincent.
Dia berjalan memasuki rumahnya tanpa menghiraukan Yash yang menghampirinya dan mencoba untuk bertanya biasanya terdiam ketika melihat Vincent berjalan memasuki rumah tanpa mendengarkan ucapannya.
"Apa yang terjadi dengan dirinya?" tanya Yash mengerutkan dahinya dan memasuki rumah berjalan menghampiri Vincent yang kini duduk di kursi menghadap perkebunan tak jauh dari dia duduk di sana.
"Tuan?" tanya Yash duduk di samping Vincent.
"Hmmm," balas Vincent. .
"Apa Anda dari perkebunan?" tanya Yash.
"Hmmm," angguk Vincent.
"Tuan dan nyonya besar meminta Anda secepatnya kembali Tuan," ucap Yash.
Vincent terdiam, dia duduk di kursi dan meminum kopinya,"Bukankah mereka minta aku pergi selama satu minggu?"
"Entahlah Tuan, tuan besar meminta agar secepatnya untuk kembali," Yash dengan ragu-ragu menjelaskannya. Dia tidak ingin memberitahukan yang sebenarnya, jika tuan besar memaki Vincent selama memintanya untuk kembali.
"Kau yakin dia memintaku kembali?" Vincent meragukan ucapan Yash.
"Iya Tuan, ada pertemuan penting yang akan di lakukan lusa nanti," jelas Yash.
"Perjodohan itu?" tatap Vincent, di balas anggukan ragu-ragu oleh Yash.
"Heh, bodoh! Kenapa ayahku memaksakan perjodohan? Bukankah ibu sudah punya juga wanita untukku?" Vincent tersenyum mengejek kedua orang tuanya yang sangat menyayanginya, namun bersikeras menjodohkannya.
"Demi kebaikan anda Tuan," balas Yash.
Vincent tersenyum mengejek ucapan Yash dan menatap Yash yang ketakutan setiap kali melihat senyum mengerikan Vincent.
"Kau pikir ini lucu hah! Apa kalian bodoh dengan apa yang aku alami hah! Mati saja kalian jika masih memaksakan perjodohanku!"
Vincent menyimpan cangkir kopinya dengan hentakan dan berdiri dengan tatapan tajam dan kekesalan, dia berjalan melewati Yash yang ketakutan.
"Jika kau mengikutiku aku buang kau!"
Ancaman Vincent membuat Yash terdiam saat dia hendak mengikuti Vincent yang berjalan keluar dari rumah berjalan tanpa pengawalan.
Yash hanya terdiam, dia khawatir akan tuannya itu. Meski sangat sulit bagi Vincent, namun keluarganya sangat berharap Vincent tetap mengikuti perjodohan yang di rencanakan oleh mereka.
Vincent kini berjalan keluar dari gerbang rumah ya dan menelusuri jalanan yang yang tidak jauh menuju pedesaan. Dia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan oleh kedua orang tua aja yang bersikeras untuk menjodohkannya, meski mereka tahu alasan Vincent menolak untuk dijodohkan.
Namun ayah dan ibunya tidak pernah jera untuk menjodohkannya, meski berulang kali Vincent selalu membuat masalah di saat dia menghadiri pertemuan Perjodohan. Mereka bahkan menimbulkan masalah di saat mereka tengah mengadakan pertemuan bersama.
Meski begitu banyak wanita yang ingin bersamanya namun Vincent tidak mau, jika dia salah memilih pasangan hidupnya itu. Apalagi dia memang harus benar-benar menemukan seorang wanita yang memang menerima dirinya apa adanya.
"Awas!"
Teriakan seorang wanita dari arah belakang Vincent. Dia sangat terkejut ketika berbalik melihat ke arah seorang gadis yang mengendarai sepeda namun dia berteriak hampir saja menabrak Vincent. Namun gadis itu melemparkan dirinya tepat ke samping sebelum menabrak tubuh Vincent.
Vincent sangat terkejut ketika mendapati hal seperti itu dia bergegas menghampiri gadis yang terjatuh yang saat ini malah tertawa, mendapati dirinya terjatuh tuh di sepeda. Vincent terkejut dan menatap gadis yang tak asing di matanya.
" Hahaha ternyata aku masih payah dalam bermain sepeda!" tawa Zara.
Namun Zara tidak memperhatikan pria yang ada di hadapannya, ia begitu terkejut melihat kondisi Zara dan juga sikap gadis itu.
"Apa yang dipikirkan oleh gadis ini kenapa dia terlihat seperti orang gila setiap kali bertemu denganku?" batin Vincent.
"Eeh, maaf Tuan. Anda tidak apa-apakan? Haha, aku payah dalam menggunakan ini. Sepertinya memang tidak berjodoh aku mengendarainya."
Zara berbicara tanpa henti dan tertawa dengan lepas mengingat dirinya tidam pernah berhasil mengendarai sepedah pamannya dari dulu.
"Kakimu ...."
"Owh ini? Gak apa-apa, ini sudah biasa. Anda tidak apa kan?" sela Zara memperhatikan tubuh Vincent di balas anggukan olehnya.
"Aku duluan ya Tuan! Mau beresin nih spedahnya. Biar pria tampanku gak marah-marah ntar. Haha omelannya lebih seru," pamit Zara tanpa menunggu Vincent berbicara dia sudah berjalan meninggalkannya.
"Pria tampan?" ucap Vincent pelan.
Dia melihat Zahra yang berjalan sedikit tertatih mendorong sepedanya dan di hampiri seorang pria paruh baya menghampirinya. Bahkan pria itu mengomeli Zara sembari dia mencubit pipi gadis itu, namun senyum di wajahnya tidak luput memperhatikan gadis itu.
Bahkan pria itu menilik tubuh menilik tubuh zara dengan teks sama dia menarik gadis itu agar duduk di sebuah kursi dan melihat luka di lutut nya. Vincent yang memperhatikan mereka berdua dia berjalan perlahan tanpa dia sadari menghampiri mereka meski dari kejauhan.
"Gadis nakal ini, seharusnya kau itu jangan memaksakan jika tidak bisa mengendarai nya! Lihat kau sampai berdarah seperti ini!" gerutu Nero membalut luka di lutut Zara.
"Dia pamannya gadis itu?" batin Vincent.
"Iya-iya pria tampan ku! Kenapa Paman semakin tua malah semakin cerewet?" Zara menanggapi pamannya dengan senyuman.
"Kau masih bisa berjalan?" tanya Nero.
"Berlari juga aku sanggup!" angguk Zara tersenyum menatap pamannya.
"Gadis nakal sebaiknya kau berjalan perlahan Jangan berlari!" Nero memukul pelan dahi Zara.
Zara mengangguk dan berjalan bersama dengan pamannya sembari mendorong sepeda mereka. Meski gadis itu berjalan tertatih, namun tampak senyum di wajahnya begitu nyata dan tulus bersama dengan pamannya.
Vincent merasakan kehangatan yang sangat erat di antara mereka berdua, hingga dia berjalan mengikuti Zara dan pamannya hingga sampai di rumah mereka. Vincent semakin tertegun saat melihat kedatangan Zara dan pamannya disambut hangat oleh seorang wanita yang terlihat begitu penuh perhatian menyambut keduanya.
Mereka duduk di depan rumah dengan Zara yang diobati oleh bibinya dan seorang pria yang memperbaiki sepeda di hadapan gadis itu. Mereka terlihat sederhana namun sangat bahagia.
"Mereka hanya sebatas paman dan keponakan, tapi tidak ada kekurangan dari kebersamaan mereka," gumam Vincent berjalan setelah pergi dari rumah dimana Zara berada.
Vintent menyadari suatu hal dan bergegas kembali ke rumahnya.
Dia berjalan memasuki kediamannya dan kini diikuti oleh Yash yang tersenyum mendapati Vincent sudah kembali dan kini duduk disofa.
"Kita siap-siap untuk kembali pulang!" seru Vincent.
Yash sangat terkejut ketika mendengar penuturan tuannya itu, pasalnya belum genap selama beberapa jam, tuannya sudah berubah pikiran. Setelah dia marah-marah dan kesal tadi kepadanya tentang Yash yang mengajaknya untuk kembali pulang ke kota.
Vincent bahkan tidak memasang raut wajah datar atau dinginnya. Dia yakin akan apa yang saat ini tengah dilakukan. Melihat sepasang suami istri yang menyayangi keponakannya membuatnya tersadar, jika bukan kedua orang tua itu yang membuat kedamaian di dalam rumah.
Namun sikap diri kita sendiri lah yang akan menciptakan senyum dan tawa kebahagiaan di dalam rumah. Maka dari itu dia memilih untuk kembali ke kota sesuai apa yang diminta oleh kedua orang tuanya.