Tidak Peduli

1218 Words
Regina tersenyum mengetahui jika pemuda itu adalah Alfin, salah satu sahabatnya yang juga kerap bersamanya selain Vina. Dirinya, Bima dan Alfin adalah sahabat karib yang sudah berteman sejakereka di sekolah menengah. Sampai sekarang, Alfin yang masih menjadi teman yang ia bisa andalkan. Pemuda itu selalu membantu setiap kesulitannya, membelanya jika Roland atau siapapun mencoba untuk membulinya. Alfin yang selalu ada untuknya. Namun, semenjak Alfin menjalin hubungan asmara dengan seseorang beberapa minggu yang lalu, pemuda itu sudah jarang bergabung lagi dengannya dan juga Vina. “Hai, kau sendiri? tumben gak bareng Karin?” sapa Regina. “Gak apa-apa, aku hanya kepingin sendiri aja dulu, dia sibuk,” jawab Alfin. “Oh begitu,” ujar Regina merespon. Ia tidak ingin banyak mencampuri urusan meskipun mereka sangat dekat. Karena itulah Regina tidak banyak bertanya lagi dan hanya terdiam. “Ayo, aku antar saja sekalian. Masih jauh loh jalan kakinya, kamu bisa capek,” ajak Alfin menawarkan tumpangan di mobilnya. “Ah, tidak usah. Aku sekalian mau olah raga. Udah lama aku tidak mencoba olah raga lagi setelah gagal diet waktu itu,” tolak Regina. “ Yakin, nih gak mau di antar? Ntar nyesel loh?” Alfin masih mencoba membujuk. “Iya yakin dong. Udah ah, jangan ganggu orang yang lagi mau olah raga,” kelakar Regina sambil melambaikan tangannya. Alfin tersenyum lalu melaju bersama mobilnya meninggalkan Regina. Gadis bertubuh super besar itu pun mulai melanjutkan jalannya. Beberapa menit ia lewati dengan berjalan kaki, ternyata lumayan melelahkan juga. Keringat sudah bercucuran di tubuhnya. Gerah dan capek tentunya. Apalagi dengan tubuh yang sangat besar itu, ia melangkah dengan santai tapi tetap saja Regian merasa sangat capek, karena selain pergerakannya yang lamban ia juga kesulitan mengatur pernapasannya. Sungguh berjalan beberapa meter saja baginya adalah sebuah perjuangan. Tapi perjuangnnya itu tidak sia-sia, setelah beberapa kali beristirahat, ia pun akhirnya sampai di halaman kampus. Karena letih, ia tidak langsung masuk ke dalam kelas, Regina singgah beristirahat, ia duduk di bawah pohon rindang yang ada di tengah taman kampus. Di tempat itu memang biasa dijadikan tempat untuk berkumpul. Tapi saat ini tempat itu sepi sehingga Regina bisa istirahat dengan santai. Regina membuka ponselnya dan mengirim pesan kepada Vina kalau ia sudah sampai di kampus. Ponselnya pun berdering. “Halo,” sapanya. “Loh, kenapa gak langsung masuk? Kau di mana?” tanya Vina. “Aku singgah istirahat sebentar di bawah pohon di taman samping,” jawab Regina. “Oke, tunggu. Aku ke sana sekarang.” Sambungan telepon terputus. Tak lama kemudain, Vina datang. “Kok kamu kelihata capek? Habis ngapain?” tanya Vina saat melihat peluh yang masih menetes di kening Regina. “Aku habis olah raga,” jawab Regina. “Olah raga apa masksudmu?” Vina penasaran. “Aku berjalan sekitar sekiloan dari sini,” jawab Regina. “Apa? kok bisa? Mang ujang gak mengantarmu sampai depan?” Vina masih penasaran. Kenapa Regina bisa sampai jalan kaki? Tidak biasanya. “Mang Ujang gak mengantarku ke kamus hari ini,” sahut Regina. Vina bertambah bingung mendengar jawaban Reina, apalagi wajah gadis itu terlihat tidak bersemangat. “Kau gak bisaanya loh seperti ini, Regi. Ada apa?” Vina yang peka akhirnya bisa merasakan ketidaknyamanan perasaan Regina. “Tadi itu aku barengan Roland ke kampus. Terus, karena dia gak mau terlihat oleh orang-orang kalau aku dan dia datang bersamaan, jadinya orang itu menurunkanku di tengah jalan. Untungnya sudah agak dekat, jadi aku jalan kaki saja. Sekalian olah raga juga, kan?” terang Regina. “Astaga, benar-benar orang itu. tidak ada perasaannya sama sekali. tega-teganya dia bersikap seperti itu. Lagian kenapa juga sih, kamu mau aja barengan dia. Kena sihir apa kamu?” Vina terlihat kesal. “Kalu gak terpaksa mana mau aku berangkat sama dia. Papa yang memaksa, jadi ya aku tidak ada pilihan lain,” ujar Regina sambil tertunduk. “Lagi-lagi kau tidak bisa bicara terus terang dengan ayahmu. Kamu tahu, kalau begini terus kamu sendiri yang akan menderita, Regina.” Vina kembali merasa sedih dan kasihan dengan hidup sahabtanya ini. Sebelum adanya perjodohan, Regina selalu tampak bersemangat dan riang, tapi kini sahabatnya itu tidak pernah lagi tersenyum lepas. “Aku sekarang hanya berusaha untuk beradaptasi dengan kehidupan baruku ini, Vin. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti arusnya. Semoga saja aku bisa bertahan,” ucap Regina. Vina kemudian menyentuh bahu Regina lalu tersenyum. “Aku tahu kamu pasti bisa, selama ini kau selalu bertahan dengan tangguhnya. Aku yakin, kali ini pun kamu juga pasti bisa melaluinya dengan baik. Kamu harus tahu, kalau aku akan selalu berada di sisimu untuk mendukung, oke? Jadi jangan murung lagi. Yuk, kita masuk,” ucap Vina memberi dukungan kepada sahabatnya itu. Regina tersenyum dan mengangguk. Meskipun ia tidak yakin akan apa yang ia katakan, tapi setidaknya untuk saat ini, hanya harapan itu yang ia miliki untuk bisa bertahan. Setelah pekuliahan selesai, Regina dan Vina berjalan menuju kantin. Mereka sedang asyik berbincang sambil berjalan, namun tiba-tiba langkah Regina terhenti dengan tatapan lurus ke depan. “Kenapa berhenti? Kau liat apa, sih?” baru saja Vina akan melihat ke arah mata Regina menatap, Regina sudah menarik tangannya berbalik arah. “Kita lewat jalan lain saja,” ucapnya sambil terus menarik tangan Vina. “Loh, kenapa? ini juga sudah hampir sampai? kenapa memangnya?” tanya Vina penasaran. “Orang itu berjalan ke arah kita tadi, aku tidak mau berpapasan dengannya,” ucap Regina sambil terus berjalan. Vina hanya mengikuti langkah sahabatnya itu sambil mencoba menoleh ke belakang. Ia pun melihat Roland sedang berjalan bersama kekasihnya. Wanita itu rupanya semakin lengket saja dengan Roland dan hal itu membuat Vina menjadi geram. “Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab! Bisa –bisanya ia masih menjalin kasih dengan wanita lain padahal dia sudah bertungan denganmu? Regi, ini tidak bisa dibiarkan. Lepaskan tanganku, aku akan melabrak mereka, terutama perempuan tidak tahu diri itu. Memangnya siapa dia, berani-beraninya dia bersaing dengan putri tuan Agata!” Vina menjadi semakin kesal sendiri. “Vina,sudahlah biarkan saja mereka! toh bukannya mereka memang sudah pacaran sebelum pertunangan kami? Apalagi perjodohan ini paksaan, jadi tentu saja semua ini tidak akan mempengaruhi hubungan mereka. ayolah, tidak perlu cari masalah. Akan lebih baik kalau kita membiarkan mereka, aku juga tidak peduli, kok,” ucap Regina. “Tapi, Gi. Sebentar lagi kalian akan menikah dan menjadi suami istri. Kalau sampai mereka masih menjalin hubungan, bagaimana?” Vina masih tidak rela jika sahabatnya itu dipermainkan. “Jika pun pernikahan terjadi, pasti merea akan baik-baik saja dan tetap menjalin hubungan. Tidak perlu cemas begitu, aku tidak apa-apa kok. Toh perjodohan Ini hanya untuk membat papaku senag saja kok. sudahlah, mau mereka pacaran atau nikah sekalipun, aku tidak peduli. Yuk ah kita jalan lagi. lupakan mereka, aku sudah lapar. Kali ini aku mau makan 2 mangkok deh,” seloroh Regina sambil terus melangkah. “Ih, kau ini. Kalau soal makanan saja, semangatnya minta ampun. Ini masalah masa deopanmu loh, Gi. Bisa-bisanya kau sesantai itu. Aku saja yang melihat merkeka merasa geram. Dasar kau ini,” Vina masih menggerutu. Ia menjadi kesal sendiri kepada Regina yang tidak mau tahu. “Mas bodo. Aku mau makan…” sahut Regina tidak peduli. Di kantin, mereka pun makan sambil berbincang. Regina masih ingin membicarakan topik tadi tapi Regina mencegahnya. Mereka pun hanya berbicara hal lain. Kantin pun mulia ramai. Tapi tidak seperti biasa, orang-orang terlihat seperti terus menatap ke arah mereka, dan Vina merasakan kejanggalan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD