Rencana Ayah
Sebagian besar orang-orang menilai, standar kecantikan itu hanya pada keindahan fisik semata. Wajah yang cantik dan tubuh yang langsing ideal. Hal itu diperkuat dengan banyaknya dukungan di berbagai jenis ajang kecantikan yang hanya menampilkan wanita-wanita cantik, dengan tubuh sempurna. Keindahan yang mampu menyenangkan mata dan membuat semua terpesona. Kecantikan yang membuat orang yang memilikinya bisa menerima semua penghargaan hidup dan meningkatkan rasa percaya diri sehingga tidak jarang memunculkan sikap sombong dan angkuh.
Tapi berbeda denganku, Aku tidak memiliki semua keindahan itu, bisa dikatakan aku sangat jauh dari semua itu. Wajahku mungkin sedikit cantik, tapi tertutupi oleh bentuk tubuhku. Tubuh yang sangat jauh dikatakan ideal dan tidak layak di sebut langsing. Tubuhku gemuk, lenganku sangat besar, jangan disebutkan lagi paha dan betis, semuanya besar.
Namun jangan salah, jika kalian berpikir aku merasa malu ataupun rendah diri dengan
semua itu, kalian keliru. Aku bahkan sangat bersyukur dengan sesuatu yang orang-orang anggap sebagai kekurangan ini, aku anggap sebagai kelebihan yang sangat berharga diberikan oleh Tuhan untukku.
Aku bahkan selalu merasa bersyukur dengan tubuh besarku ini. Jika kalian bertanya apakah aku selalu dibulli? Iya, aku sering mendapatkan hinaan dan cacian dari orang-orang yang tidak suka padaku. Apakah aku merasa sedih? tentu, aku merasa sangat terluka setiap kali orang-orang mencemooh bentuk tubuhku.
Tapi, aku tidak pernah menyesal dengan apa yang Tuhan berikan padaku, semua aku syukur, aku terima dan tentu saja aku hadapi dengan perlawanan setimpal bagi siapa saja yang meledek kelebihanku ini. Aku tidak pernah ingin tertindas oleh mereka, dan membiarkan diriku terpuruk oleh perlakuan mereka kerena aku bangga dengan diriku. Aku memiliki segalanya, terlebih kasih sayang dan dukungan seorang ayah, karena itulah aku kuat.
Orang tuaku adalah konglomerat terkaya di kota ini, tidak ada yang berani bermain-main denganku. Memang tidak ada yang menganaliku sebagai anak dari konglomerat kaya itu, tapi semua yang aku butuhkan, perlindungan dan dukungan selalu ada menyertaiku. Aku merasa bangga dengan apa yang aku miliki dan sangat puas dengan hidupku. Aku memiliki banyak dukungan dari sahabat yang bukan hanya akan menemaniku di saat suka saja, tapi di saat –saat terpuruk dalam hidupku pun, mereka selalu ada.
Sampai di suatu malam, saat ayah menemuiku di kamar dan membicarakan sesuatu padaku.
The third POV
“Regina, bisa ayah bicara sebentar sayang?”
Seorang perempuan bertubuh gemuk yang kira-kira bertanya berkisar 170 kilogram beranjak dari kursi empuknya sambil mengunyah sebungkus snack dan melangkah ke arah pintu, membuka kamarnya dan melihat pria paruh baya sedang menatapnya dengan serius.
“Iya, Yah? Ada apa?” ucapnya sambil terus mengunyah makanannya.
Sang ayah tersenyum dan masuk ke dalam kamar sang putri.
“Bagaimana kuliahmu, sayang?” tanya sang ayah sambil membelai kepala putri kesayangannya.
“Semuanya berjalan lancar. Semester depan aku mulai menyusun skripsi jadi, persiapannya dari sekarang. Apalagi mata kuliahku tinggal beberapa SKS lagi, jadi aku gak akan ada kesulitan membagi waktu. Lalu, sebentar lagi aku akan membantu Ayah di kantor! bagiamana rencanaku, Ayah? cukup bagus, kan?” ucap Regina dengan antusias dan senyumnya yang mengembang.
“Wah, putri Ayah memang sangat hebat. Ayah sangat bangga padamu, sayang,” sambut sang ayah dengan senyum semringah.
Sang ayah kembali terdiam, Regina merasa ada sesuatu yang ayahnya ingin sampaikan.
Regina menyentuh tangan sang ayah dan menatapnya dengan lembut.
“Apa semuanya baik-baik saja, Ayah?” tanyanya dengan penuh perhatian.
Sang ayah menghela nafas dalam lalu kembali menatap Regina dengan tatapan dalam.
“Regina, jika seandainya Ayah memintamu untuk menikah, apakah kau mau memenuhi permintaan Ayah, sayang?”
Regina membeku mendengar ucapan yang dilontarkan ayahnya. Seumur hidupnya ia tidak pernah membayangkan akan mendengar kata menikah untuk dirinya. Jangankan menikah, berpikir untuk memiliki seseorang yang menyukai dirinya apa adanya saja tidak pernah terlintas sedikitpun.
Di saat teman-teman seumurannya sudah merasakan bahagianya mencintai dan dicintai oleh orang terkasih, ia harus merasa cukup senang dengan hanya memiliki beberapa sahabat yang benar-benar tulus menyayanginya dengan kondisinya yang seperti ini.
Sedikitpun ia tidak pernah membayangkan untuk memiliki pasangan, karena ia sadar diri dengan keadaannya. Sudah cukup ia merasakan bulli dan ejekan dari orang-orang tentang tubuhnya yang semakin hati semakin besar, satu-satunya hal yang ia syukuri adalah, ia tidak pernah merasa putus asa dan menyesal dengan kondisinya ini. Ia selalu merasa bersyukur atas apapun keadaannya. Ia meyakini, suatu saat nanti, akan ada seseorang yang tulus mencintai apa adanya dirinya.
Tapi sekarang, sang ayah menanyakan hal yang mustahil itu? ini ada apa sebenarnya?
“Kenapa ayah tiba-tiba berkata seperti itu pada Regina?” tanyanya dengan perasaan yang mulai berkecamuk.
“Ayah telah menyepakati perjodohanmu dengan putra dari rekan bisnis Ayah.” “Apa?!” Regina terkejut bukan main. Perjodohan untuknya? apa ini sebuah lelucon?
“Tapi kenapa, Ayah? Kenapa Ayah tiba-tiba ingin menjodohkanku? Apa Ayah masih merasa khawatir aku tidak akan mendapatkan pasangan suatu hari nanti? Apa itu yang selama ini Ayah pikirkan tentangku? Jadi Ayah juga berpikir jika seseorang seperti aku ini harus di jodohkan dulu baru bisa mendapatkan pasangan, begitu?”
“Tidak seperti itu maksud Ayah, sayang. Ayah hanya ingin kau bisa memiliki pasangan secepatnya. Di saat semua teman-temanmu sudah memiliki kekasih, kau masih sendiri. Jadi Ayah pikir saat lamaran untukmu datang, Ayah langsung menerimanya. Lagipula, lamaran ini datang dari orang yang Ayah sangat kenal. Mereka orang-orang baik, Ayah yakin, putra mereka pun pastinya baik,” jelas sang ayah.
“Aku tidak percaya kalau Ayah memiliki pikiran sedangkal itu dalam menilai orang,” lirih Regina.
Hati Regina terluka dan sakit, ia sama sekali tidak menyangka jika sang yang begitu ia andalkan, seseorang yang bisa menopangnya di saat terpuruk ternyata memiliki kekhawatiran seperti itu.
“Regina tidak menyangka Ayah bisa melakukan ini padaku.”
***
Regina VOP
Sejak saat itu, aku mulai tidak bisa percaya pada diriku sendiri. Aku merasa jika memang tubuhku ini adalah sebuah kekurangan bahkan kutukan untukku, bukan kelebihan seperti yang selama ini aku yakini. Karena orang yang selalu memberikan dukungan dan kekuatan, ternyata tidak sepercaya itu pada diriku. Dan puncaknya saat aku terpaksa mengikuti semua yang ayahku inginkan. Menikah dengannya.