Di sebuah ruang tamu yang cukup luas, terlihat sepasang suami istri dan seorang anak kecil di pangkuan sang istri sedang duduk dan membicarakan masalah yang serius. Terlihat dari raut wajah mereka yang tegang.
“Ini tidak bisa di biarkan, Pah. Jika Papah tidak melakukan sesuatu, kita akan benar-benar jadi gelandangan. Aku tidak ingin semua usaha dan kerja keras kita selama ini hancur sia-sia hanya karena keteledoran Papah mempercayakan semua investasi kepada orang itu. Ayahku membangun usaha ini dari nol, dia tidak akan tenang dalam tidur panjangnya melihat kita gagal meneruskan pejuangannya dan hidup mendrita.” Sang istri tidak berhenti mengeluh dan menyesali apa yang sedang terjadi. Anak kecil dalam pelukannya hanya bisa memandangi sang ibu dengan tatapan polosnya yang bingung.
“Tenang dulu, sayang. Aku sedang memikirkan jalan keluar terbaik sekarang. Sebelum pihak bank menyita semua aset kita yang masih tersisa, aku perlu bertemu dengan seseorang,” ucap sang suami menenangkan.
“Yang benar, Pah? Apa Papah yakin kalau usaha Papah akan berhasil?” tanya sang istri kurang yakin.
“Aku berharap rencanaku kali ini akan berhasil,” ucapnya sambil menatap istinya dengan senyum misterius yang sedikit tersungging di bibirnya.
“Ceklek..”
Pintu terbuka, seorang pemuda tampan masuk ke dalam ruangan. Ia terlihat berjalan sempoyongan sambil menaiki anak tangga menuju kamarnya.
“Lihat putramu itu, setiap hari kerjanya hanya mabuk-mabukan. Dia bukannya membantu kita memikirkan usaha apa yang harus dilakukan agar keluar dari masalah ini, dia malah membuat keadaan bertambah buruk,” gerutu sang istri kesal.
“Kau jangan terlalu keras kepadanya, memangnya selama ini siapa yang selalu memanjakannya? Siapa tahu nanti dialah yang akan menjadi penyelamat kita?” ucap sang suami.
“Apa maksudmu mengatakan itu, Pah?” sang istri penasaran.
“Kau tidak perlu tahu dulu, mendingan kita tidur saja. Lihat putrimu sudah sejak tadi tertidur. Sini aku gendong dia masuk ke kamarnya,” ujar sang suami lalu menggendong putri kecil mereka masuk ke kamar.
Suara merdu burung menyambut pagi terdengar, membuat pemuda yang sedang meringkuk di dalam selimut hangatnya, membuka mata.
Mata berwarna abu-abu gelap itu begitu indah,bulu mata yang lentik, alis tebal sempurna dengan sinar putih cemerlang, membuatnya tidak ada ubahnya seperti aktor timur tengah yang sangat tampan rupawan.
Begitu ia bangun dari rebahnya, tubuh atletis dengan otot-otot proporsional sempurna terlihat jelas menggoda di depan mata. Dan pada saat ia berdiri, terlihatlah seluruh kesempurnaan fisik yang ia miliki. Tinggi kira-kira mencapai 187 cm membuatnya begitu indah di pandang.
Ia meraih ponsel di atas meja di samping ranjangnya, melihat lalu meletakkan kembali. Ia melangkah menuju kamar mandi, melakukan rutinitas pagi sekaligus membersihkan tubuhnya.
Di meja makan, keluarganya sudah berkumpul. Ayah, ibu dan adik kecilnya.
“Selamat pagi, Ma, Pa…” sapa pemuda itu sambil memberikan ciuman di pipi sang ibu dan adik kecilnya.
“Selamat pagi putraku, Roland. Apa tidurmu nyenyak semalam?” sang ayah menyapa
balik. Ia tersenyum melihat putranya yang semakin hari semakin rupawan.
Roland Pramana Sakti, anak sulung kebanggaannya. Ia kini sudah berumur 21 tahun, kuliah di salah satu universitas ekonomi, mengenyam ilmu bisnis dan management, mempersiapkan diri untuk masa depan perusahaan nanti. Putranya sekarang sudah semester ke 7 dan tidak lama lagi akan lulus menjadi sarjana yang membanggakan. Bagaiaman tidak, Roland adalah salah satu mahasiawa tercerdas di jurusannya, selaalu memiliki nilai tinggi dalam teori maupun praktek.
Herman selalu membanggakan putranya meskipun kebiasaan Roland yang kurang baik sedikit mempengaruhi citranya sebagai anak andalan kampus. Roland sangat menyukai klub malam dan minum-minum. Dan tentu saja, berfoya-foya.
Tetapi kini, perusahaan milik ayahnya mengalami kerugian yang cukup besar, ayahnya dinyatakan bangkrut. Pihak bank mulai sedikit demi sedikit menyita semua miliknya, dan kini hanya tinggal satu-satunya rumah yang mereka tinggali yang belum di sita bank. Sebelum itu terjadi, ia harus mencari jalan keluar secepatnya, dan jalan keluar itu ada di tangan sang putra kebanggaan.
“Lumayan, Pap. Oh iya hari ini aku akan pulang terlambat. Ada perkumpulan di kampus yang harus aku hadiri. Jadi aku butuh uang yang banyak,” ucap Roland dengan enteng.
Mendengar itu, Herman tersenyum.
“Kau mau uang kan? Akan Papa kasih, tapi dengan satu syarat,” ucapnya.
“Sejak kapan Papa mengajukan syarat padaku, apa syaratnya, cepat katakan?” ucap Roland tidak sabaran.
“Syarat ini akan berlaku sampai semuanya kembali normal. Kau tahu kan, kalau kita sekarang sedang kesusahan? Perusahaan bangkrut dan Papa tidak punya uang lagi. Jadi, Papa minta mulai sekarang, jangan pernah meminta uang lagi, jika kau ingin uang, kau boleh cari sendiri. Sebentar lagi semua yang tersisa, akan disita oleh pihak penagih utang. Kita akan menjadi gelandangan dan kehidupan kita tidak akan ada bedanya dengan gembel. Apakah kau mau itu terjadi, Roland?” ucap sang Ayah. Di tatapnya sang putra yang terdiam membisu
“Jawab Papah!”
“Ti..tidak Papah, aku tidak ingin menjadi gembel seperti yang Papah bilang tadi. Tidak mau…” Roland menggeleng keras. Terbayang dibenaknya jika dirinya tidur di jalan dengan berselimutkan kardus bekas, teman-teman dan kekasihnya sudah pasti akan menjauhinya, terlebih mereka akan menghina keadaannya, tidak! Ini tidak boleh terjadi.
“Bagus. Maka dari itu mulai sekarang, hentikan kebiasaan dan bantu Papah memikirkan jalan keluar yang tepat untuk masalah kita ini,” titah sang Ayah.
“Tapi Pap, apa yang bisa aku lakukan?” tanya Roland.
“Kau hanya perlu datang menemani Papah untuk makan siang bersama rekan bisnis Papah. Di sana, kita akan membicarakan solusi terbaik,” ucap sang ayah.
“Apa aku akan di butuhkan di sana? Maksudku, aku mungkin tidak perlu ikut mendengarkan obrolan orang dewasa?” ucap Roland tidak setuju dengan ide ayahnya. Buat apa juga ia ikut membicarakan hal yang pastinya sangat membosankan, seperti menyangkut bisnis atau masalah kerjasama kontrak, ia masih belum tertarik dengan itu semua meskipun pada dasarnya ia sudah bisa memahami sedikit banyak mengenai manajemen.
“Tenang saja, kau akan sangat dibutuhkan di sana,” ucap sang ayah dengan senyum misteriusnya.
***
“Jadi semuanya sudah jelas, kita sudah sepakat. Tinggal mendengar persetujuan dari nak Roland,” ucap pria paruh baya yang kini duduk di hadapan Roalnd.
Roland terdiam mematung di tempatnya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau acara makan siang bersama itu ternyata untuk membicarakan perjodohannya dengan putri dari rekan bisnis ayahnya ini. Perasaannya bercampur aduk, apakah ia harus menerima atau menolak perjodohan ini? jika ia menolak maka mereka akan jatuh msikin dan menjadi gembel di jalanan, dan jika ia menerimanya, maka kekayaan dan kejayaan akan kembali memberkati hidupnya. Ia akan kembali bersenang-senang dan menikmati hidupnya yang penuh kesenangan.
Lagi pula, perjodohan itu hanya sebatas menghapalkan ijab Kabul sederhana lalu setelah itu kehidupannya akan kembali seperti sedia kala, tidak akan ada yang berubah. Dan juga, perempuan kaya yang akan dijodohkan dengannya pasti cantik, jadi ia akan semakin bersenang-senang.
“Bagaimana Roland? Apakah kau setuju dengan perjodohan ini?” suara pria paruh baya itu membuat lamunannya buyar.
“Iya, Om, Pah. Saya setuju.” Roland pun dengan penuh kepastian menyetujui perjodohannya. Ayah dan pria yang duduk di hadapannya itu tersenyum senang dan menjabat tangan Roland.
Roland tersenyum membayangkan kehidupannya yang sebentar lagi akan penuh dengan kesenangan. Tenang saja Roland, kau akan menjadi kaya lagi dan memiliki istri cantik yang pastinya bisa kau ajak bersenang-senang setiap malam di ranjang. Pikirnya dengan penuh keyakinan.