Sudah ia prediksi sebelumnya, inilah yang akan terjadi. Entah apa yang ayahnya harapkan dengan perjodohannya ini. Ia benar-benar merasa tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang. Seakan sudah terjebak dalam lubang yang dalam dan tidak bisa keluar lagi. Selebihnya ia harus siap menghadapi penderitaan selanjutnya. Akan tetapi, saat melihat senyum semringah ayahnya, Regina hanya bisa tersenyum getir, setidaknya ia sudah membahagiakan orang tuanya dengan perkodohan ini.
“Ayo ke kamarmu, kita akan membahas tentang semua ini.” Vina menarik tangan Regina mengikutinya meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju kamar hotel.
“Sebenaranya apa yang terjadi? bagaimana bisa kau bertunangan dengan si b******k itu?” Vina menuntun Regina untuk duduk di sofa. Regina terlihat berkali-kali menghela nafas.
“Aku tidak tahu, aku hanya mengikuti keinginan papa. Aku sudah pasrah, Vin. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menerima nasib burukku,” sahut Regina dengan suara lemah.
Mendengar hal itu Vina kesal. Ia tidak terima, sahabat yang selama ini memiliki semangat tinggi dalam mejalani kehidupan tiba-tiba tidak berdaya dan menyerah begitu saja. ia tidak rela Regina kalah dari pria b******k yang selama ini telah menghinanya.
“Apa? kenapa kau bisa lemah begitu, Regi? Setidaknya kau ungkapkan perasanmu pada ayahmu agar beliau bisa memahamami kesulitanmu. Kau tidak bisa menyerah begitu saja. Kau tidak lihat sikap orang itu, dia langsung pergi begitu saja selelah acara pertunangan kalian. Dasar tidak beretika! Apa kau mau hidup menderita dengan orang seperti itu?!”
Regina tersenyum getir. “Kami memang hanya terpaksa bertunangan, Vina. Sudah jelas dia tidak menyetujui pertunagan ini sama sepertiku. Lagipula siapa yang mau bertunagan dengan seorang seperti aku ini. Kau pikir saja pakai logika. Apa kau tidak lihat respon orang-orang saat papapku mengumumkan aku sebagai putrinya? Mereka syok. Jadi, Aku tidak menyalahkannya karena pergi, dia sudah bersikap koperatif dengan tidak melarikan diri saat melihatku tadi. Itu berarti ia masih punya hati untuk tidak membuat malu keluarga kedua belah pihak. Lagi pula aku tidak peduli. Selama papa bahagia dan puas, itu sudah cukup,” terang Regina.
Vina hanya bisa mengela nafas berat mendengar ucapan putus asa dari sahabatnya itu. Sungguh miris hidup Regina. Pada saat ia sedang semangatnya menata hidup dan masa depan yang sedang ia rencanakan, tiba-tiba saja badai menerpa dan menghancurkan segalanya. Vina menteskan air mata, ia lalu beranjak menghampiri Regina dan memeluknya.
“Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk meringankan penderitaanmu, kawan. Tapi setidaknya kau jangan terdengar putus asa seperti ini. Aku ingin kau hidup dengan penuh semangat seperti biasa. Seperti katamu, jangan biarkan orang mengingjak harga dirimu. Jangan pedulikan mereka yang hanya ingin membuatmu sakit dan terhina,” ucapnya sembari terus memeluk Regina dengan erat.
“Iya, aku akan ingat semua itu. terima kasih telah berada di sisiku selama ini. Hanya kau sahabatmu yang terbaik. Terima kasih banyak,” ucap Regina.
“Iya, sama-sama, hiks..hiks…”
Keduanya pun larut dalam kesedihan yang menyelimuti hati mereka.
Sementara itu, Roland kembali ke club tempat ia dan teman-temanya berkumpul. Lega rasanya ia bisa meninggalkan tempat yang membuatnya sesak itu. Sehingga setelah keluar, tempat pertama yang Ia pikirkan adakah tempat itu.
Di sana juga sudah ada kekasihnya yang sudah menunggu. Roland disambut oleh teman-temannya. Roland tersenyum dan bergabung dengan mereka. Ia tampak menikmati malam dengan sang kekasih tanpa peduli jika ia sudah terikat dengan seseorang di sana.
“Apakah pertunaganmu dibatalkan, sayang?” tanya wanita cantik yang sedang bergelayut manja di sampingnya.
Roland menatpnya lalu mengecup bibir manis wanit itu. “Pertungannya tetap berlangsung, tapi aku meninggalkan acara setelah tukar cincin. Lagi pula acara itu tidak ada gunanya menurutku, buang-buang waktu saja,” ucap Roland sambil meneguk anggur dengan sekali teguk. Wanita itu tersenyum.
“Itu berarti, kau tidak akan menganggap apa-apa wanita yang telah menjadi tunanganmu itu, kan?” tanyanya meminta kejelasan.
“Tentu saja, itu tidak mungkin,” jawab Roland dengan menahan kekesalannya. Ia kembali teringat rupa Regina yang besar memalukan itu. Jika kekasihnya ini tahu ia telah bertunangan dengan seseorang yang layak disebut monster daripada manusia, maka harga dirinya yang selama ini ia banggakan akan lenyap tak tersisa. Tidak! tidak ada yang boleh tahu jika ia bertunangan dengan perempuan itu.
“Baguslah, tadinya aku sudah cemburu dan tidak tenagn jika pesaingku akan merebut hatimu. Tapi setelah pengakuanmu barusan, aku menjadi lega,” ucapnya sambil memeluk Roland. Sementara pemuda itu hanya tersenyum tipis.
“Sudahlah, lupakan dia. Tidak penting. Sebaikanya kita menikmasti malam ini. Percayalah padaku, tidak akan ada yang berubah,” ucap Roland lalu meneguk lagi segelas minumannya.
“Kalau begitu, kita lupakan semuanya dengan berdansa di sana.”
Wanita itu tersenyum lalu berdiri, meraih tangan Roland dan mengajak pemuda itu berjalan mengikutinya menuju lantai dansa yang telah dipenuhi oleh orang-orang. Mereka pun menikmati malam dengan lantunan musik disko seakan tidak ada hari esok lagi.
Regina sudah kembali ke rumahnya, ia tengah berada di kamarnya dan membaca buku seperti biasa. Ia terlihat sedang mengetik sesuatu di laptopnya.
Resepsi pernikahannya akan berlangsung seminggu lagi. ayahnya tengah mempersiapakan acara pernikahan yang super mewah. Tapi Regina sama sekali tidak peduli.
Keesokan paginya, ia terlihat sudah bersiap ke kampus. Ia menuruni tangga menuju ruang makan. Disana ia melihat ayahnya sedang tersenyum ke arahnya.
“Loh, Papa belum pergi kantor?” tanyanya heran. Tidak biasanya ayahnya masih berada di rumah di jam segini.
“Papa sengaja menunggumu, sayang. Ayo, sarapan sama Papa,” ajak sang ayah.
Regina pun melangkah dan duduk di samping ayahnya.
“Bagimana perasaanmu setelah pertunagan ini, sayang? apa kau senang? Kau lihat, calon suamimu sangat tampan, kan? Papa merasa sangat bangga putri Papa akhirnya bisa memiliki pasangan yang sangat tampan.”
Regina tidak menjawab, ia hanya terus mengunyah rotinya dengan pelan. Dadanya sesak mendengar pernyataan ayahnya yang sangat tidak bijaksana itu. Ternyata ayahnya menjodohkannya hanya karena pria itu tampan.
“Aku senang kalau Papa senang, aku harap ini adalah balas baktiku kepada Papa. Selaam Papa bahagia, itu sudah cukup untukku. Lagi pula, aku senag atau tidak, tidak akan ada yang berubah. Jadi perasaanku tidak penting di sini.” Suara Regina terdengar bergetar menahan kegetiran hatinya.
‘'Jangan bicara seperti itu sayang, ini Papa lakukan demi dirimu.” Tuan Agata mencoba memberikan penjelasan.
“Sudahlah, Papa. Aku tidak ingin berdebat denganmu pagi-pagi. Toh semuanya sudah terjadi. Aku sudah bilang, kalau Papa senang aku juga akan senang,” ucap Regina.
Sang ayah mengangguk dan tersenyum puas. “Sebenatar lagi pernikahanmu, apa kau tidak ingin mengambil cuti dan mempersiapkan dirimu, sayang?” tanya tuan Agata.
“Terserah Papa saja, toh Papa yang sangat menginginkan pernikahan ini, kan? aku akan menuruti kemauan papa saja. Baiklah, aku ke kampus dulu, sampai jumpa,” ucap Regina sambil mencium pipi ayahnya dan melangkah pergi. Tuan Agata hanya menghela nafas panjang sambil menatap kepergian putrinya lalu kembali melanjutkan makannya.
Regina berjalan menuju pintu utama dan keluar. tapi ia heran kenapa mobil jemputannya belum datang? Mungkin sebentara lagi, pikirnya. Regina pun duduk di kursi teras sambil membalas pesan Vina sambil menunggu mobilnya datang.
Tapi setelah menunggu beberapa lama, mobil itu tidak kunjung muncul. Ia mulai gelisah. “Kemana mang Ujang? Kenapa ia belum datang juga?” gumannya. Ia berniat kembali masuk ke dalam rumah untuk menayakan keberadaan supirnya itu tapi tiba-tiba suara klakson mobil mengejutkannya.
Regina berbalik dan melihat sebuah mobil Mercedes benz hitam sudah bertada di hadapannya. Regina masih berdiri menatap ke arah mobil itu dengan penuh tanda tanya.
Siapa gerangan yang datang bertamu. Ia juga tidak sopan karena bukannya segera keluar malah membunyikan klakson. Apa tamu papa tidak sopan begitu? Pikirnya. Pada saat Regina hendak melangkah masuk ke dalam rumah, lagi-lagi ia terkejut mendenar suara dari arah mobil itu.
“Ayo masuk…!”
Regina menoleh, hamir saja ia menjatuhkan buku di tangannya saat melihat siapa yang ada di dalam mobil itu dan mengajaknya untuk masuk ke dalam.