Daniel dan Traumaku

1122 Words
21 Juni 2018 Mimpi apa aku semalam? Entahlah, aku tidak dapat mengingatnya. Tidurku bahkan tidak nyenyak karena sesuatu yang aku lihat kemarin. Pagi hariku benar-benar buruk hari ini. Aku yang masih berusaha untuk tidur namun tidak berhasil hingga pagi hari, dikejutkan dengan suara ketukan pintu sedetik saat aku hampir berhasil terlelap. Suara paman Juli terdengar memanggil namaku dari balik pintu. Rupanya ada satu paket lagi yang diterima paman Juli untukku. Kuterima paket tersebut dengan malas karena pikiranku masih lelah dengan semua hal yang aku terima kemarin. Kulemparkan paket yang aku terima dari paman Juli ke sembarang arah, kemudian aku melanjutkan niatku untuk tertidur. Akhirnya aku terbangun lagi setelah aku lihat matahari sudah berada tepat di atas kepala. Kepalaku terasa berat dan pening karena jam tidurku yang berantakan hari ini. Aku teringat jika tadi pagi aku menerima paket dari paman Juli. Aku mengitarkan pandanganku ke sekeliling, dan aku temukan paketku tergeletak di seberang ranjang tidurku. Beruntung hari ini aku tidak harus datang ke sekolah karena aku sudah dinyatakan lulus, dan urusanku selanjutnya akan dibantu oleh paman Juli. Aku penasaran dengan isi paket yang aku taksir berisi sebuah berkas. Karena paket tersebut terbungkus map coklat yang tipis dan sangat ringan, berbeda dengan paketku kemarin yang berbentuk kotak kecil dibalut dengan beberapa putaran lakban berwarna coklat. Aku sangat terkejut mengetahui bahwa paket tersebut berisi sebuah berkas bertuliskan jika aku mendapatkan beasiswa di sebuah perguruan tinggi ternama di pusat kota. Aku melompat kegirangan mengetahui hal tersebut dan sejenak aku melupakan segala rasa pening yang ada di dalam kepalaku. Aku segera berlari ke luar kamar mencari paman Juli dan bibi Ambar. Aku ingin segera memberitahukan kabar gembira ini kepada mereka berdua. "Bibi, lihatlah. Aku mendapat beasiswa ke pusat kota." Seruku kepada bibi Ambar yang sedang bersantai menonton televisi di ruang keluarga. "Beasiswa? Bibi rasa pamanmu tidak pernah mendaftarkanmu ke dalam program beasiswa, Rin. Bahkan kita ingin kau melanjutkan pendidikan di sini." Bibi Ambar justru terlihat bingung dengan apa yang aku katakan. "Jika bukan paman, lalu siapa?" Rasa antusiasku berubah menjadi kebingungan. "Entahlah. Apa kau pernah mengikuti program beasiswa dari sekolah, Rin?" Tanya bibi Ambar memastikan. "Tidak, Bi. Aku hanya bersekolah seperti biasa." Sahutku. "Coba kau hubungi temanmu di pusat kota. Siapa tahu mereka mendaftarkanmu ke sana." Ucapan bibi kusambut dengan anggukan kepala. Aku memutar langkah kembali ke dalam kamar sambil berpikir. kuotak-atik sejenak ponselku sambuil berpikir, siapa gerangan yang mendaftarkanku beasiswa. Sejenak aku teringat lagi akan video semalam. Aku sudah berniat untuk menghubungi Daniel guna mengkonfirmasi tentang petunjuk pertama yang aku terima kemarin. Lalu sejenak kemudian aku juga berpikir bahwa Daniel lah yang mengatur beasiswa ini untukku. Rasa takut dan berdebar kembali menyelimuti diriku yang teringat akan kejadian beberpa tahun lalu. *tuuuuuuttt Suara yang menunjukkan jika teleponku tersambung kepada Daniel di ujung sana. "Hai Rin," sapa Daniel dari ujung telepon. "Hai Daniel, ngomong-ngomong, selamat atas kelulusanmu tahun ini," sahutku canggung. "Ah, kau juga lulus tahun ini, Rin. Kenapa? Apa yang terjadi? Seperti ada sesuatu yang penting yang ingin kau sampaikan." Daniel terdengar sangat peka dengan apa yang ingin aku sampaikan. "Jadi begini, Daniel....." Aku menceritakan tentang petunjuk yang aku terima semalam kepada Daniel, karena aku merasa, sejak awal kasus ini bergulir, satu-satunya orang yang aku jadikan tempat berkeluh kesahku adalah Daniel. Jadi aku merasa tidak masalah jika menceritakan hal tersebut kepada Daniel. Tetapi yang terjadi justru di luar dugaanku. Daniel justru terkejut mendengar cerita dariku. Daniel benar-benar terkejut saat mengetahui jika rekaman CCTV dari kejadian itu berhasil aku dapatkan. Rekaman yang berisi kejadian sadis saat keluargaku dibunuh satu persatu oleh beberapa orang, rekaman saat ibuku berteriak meminta ampun kepada para pembunuh, berharap nyawanya diampuni karena telah memohon, tetapi tetap tidak mendapatkan ampun dan justru menjadi korban. Karena kita berdua sama-sama tahu jika kartu memori yang terpasang pada CCTV di rumahku telah menghilang pasca kejadian tersebut. Daniel lebih terkejut lagi ketika aku bercerita jika pagi ini aku mendapatkan paket yang berisi dokumen beasiswa yang aku dapatkan untuk berkuliah di pusat kota. Menurut Daniel, aku seakan mendapatkan sebuah jalan untuk menyelesaikan apa yang seharusnya aku selesaikan. Dan Daniel juga berkata, akan sangat sayang jika aku tidak mengambil kesempatan emas ini. Sejenak kemudian suasana menjadi hening. Sangat hening sehingga suara jarum jam yang berada di atas pintu kamarku dapat terdengar dengan sangat jelas. "Rin, lalu bagaimana perjuanganmu selama ini?" Daniel terdengar ragu saat mengucapkan hal tersebut. "Perjuangan?" Tanyaku bingung. "Iya, perjuangan untuk pulih dari masa itu. Selama dua tahun ini kau terlihat sangat tertutup mengenai hal itu." Ucap Daniel terdengar lirih. "Aku....." Sejak kepindahanku ke pinggir kota seperti sekarang, aku memang cukup tertutup kepada Daniel mengenai penyembuhan mentalku. Aku didiagnosa menderita Post Traumatic Stress Disorder oleh psikiater, dan secara rutin mengonsumsi obat penenang selama lebih dari satu tahun. Akhirnya kali ini aku ceritakan semua itu kepada Daniel. Psikiater hanya akan membantuku ketika aku mengunjunginya untuk melakukan check up. Selebihnya, tergantung bagaimana aku membiasakan diri dengan trauma yang aku alami, dan seberapa besar usahaku untuk sembuh serta seberapa besar dukungan dari orang-orang di sekitarku. Tetapi, ada satu hal yang aku sembunyikan dari semua orang. Dan kali ini, hal itu aku buka kepada Daniel. Melalui panggilan suara yang sedang berlangsung, aku menceritakan tentang hal apa saja yang aku lalui ketika tidak ada orang lain di sekitarku. Pada masa awal kepindahanku ke pinggir kota, ketika paman Juli tengah bekerja, dan bibi Ambar tengah sibuk di dapur, aku sering menghabiskan waktu dengan mengurung diri di dalam kamar. Aku terduduk di pojok kamar, di samping tempat tidurku, teringat semua kejadian yang menimpa keluargaku. Aku teringat ketika aku menyentuh jenazah ibuku dengan darah segar yang masih mengalir dari bekas luka gorok pada lehernya. Aku juga teringat tatapan putus asa dari jenazah satpam rumahku yang tergeletak tidak jauh dari ibuku. Aku juga teringat ruang depan rumahku yang penuh dengan noda darah yang menyebar di seluruh penjuru ruang. Aku sangat menderita saat itu, terlalu menderita, bahkan hanya dengan mengingat hal itu saja sudah membuat kepalaku sakit. Seperti dulu, ketika aku terduduk di samping tempat tidur, aku juga merasakan sakit kepala yang teramat sangat. Rasa sakit inilah yang membuatku ketergantungan dengan obat penenang. Sejujurnya, rekaman CCTV yang aku dapatkan kemarin, membangkitkan lagi ingatan yang tidak ingin aku ingat. Dendam yang tersulut dari tragedi tersebut, dendam yang akhirnya membuatku mempelajari seni beladiri campuran dari Daniel, emosi yang terpendam selama bertahun-tahun tersebut, akhirnya kembali bangkit setelah aku mendapatkan informasi kunci untuk menutaskannya. Aku berkata kepada Daniel, bahwa bagaimanapun, aku harus mendapatkan izin dan pindah ke pusat kota. Aku harus dapat menyelesaikan semuanya. Dear diary, cahaya yang aku rasakan kali ini sangatklah terang. Satu sisi aku takut terbakar oleh cahayaku sendiri, namun sisi lain aku juga merasa bahwa cahaya terang ini adalah harapan yang kembali menyala. Kututup buku harianku hari ini dengan emosi yang meledak, semoga aku tidak terbakar dengan emosiku sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD