Petunjuk Pertama

1479 Words
20 Juni 2018 Aku mendapatkan berita yang sangat mengejutkan hari ini, sehingga tanganku masih gemetar dibuatnya. Bahkan, aku menulis buku harianku kali ini dengan keadaan gelisah. Trauma yang aku rasakan, yang berusaha aku hilangkan selama dua tahun, terpantik kembali karena berita yang aku terima hari ini. Tapi aku akan mencoba menceritakan semua dengan rinci dari awal. Buku harian ini sempat hilang selama beberapa saat. Lebih tepatnya dua tahun dia menghilang. Buku ini menghilang bukan tanpa sebab, dia terselip di antara buku pelajaran yang aku bawa dari rumah lamaku saat aku membereskan semua barangku ketika aku pindah ke rumah ini. Lebih tepatnya satu hari setelah aku memeriksakan diri ke dokter, di halaman terakhir buku harianku sebelum akhirnya aku kembali mengisinya hari ini. Aku sengaja mencari buku ini hingga ke kedalaman palung terdalam di bumi karena ada hal penting yang ingin aku tulis. Sebelum aku menuliskan hal tersebut, akan kuceritakan tentang apa yang terjadi selama dua tahun ke belakang. Jadi begini, iya begitu. Haha aku tahu ini tidak lucu sama sekali. Baiklah, jadi seperti ini. Paman Juli memasukkan aku ke dalam sekolah kejuruan di pinggir kota. Satu minggu setelah aku pindah ke sini, aku mulai bersekolah di tempat itu. Di tahun pertama semua berjalan baik, hingga sesuatu terjadi di tahun kedua. Saat aku masuk sekolah di tahun pertama, waktu luangku sepulang sekolah aku gunakan untuk mempelajari video beladiri campuran yang diberikan Daniel kepadaku. Selain untuk beladiri, aku mempelajari video tersebut untuk meredakan trauma yang aku alami. Aku sempat memeriksakan diri ke psikiater, dan aku didiagnosa menderita PTSD atau Post-Traumatic Stress Disorder dan disarankan untuk melakukan terapi untuk meredakannya. Dan mempelajari beladiri merupakan salah satu terapi yang berusaha aku jalankan. Di tahun kedua sekolahku, atau lebih tepatnya tahun akhir masa SMA,(aku tidak mengulang kelas ketika aku pindah, karena semua diurus oleh paman Juli) jurusan yang aku pilih dibagi lagi menjadi beberapa sub jurusan. Dan hal tersebut membuatku berpisah dengan teman-temanku di kelas lama. Di kelas baru, aku lihat suasana kelas sangat berbeda dari kelas lamaku. Di sini semua terlihat sangat berandal. Aku yang tidak ingin mencari masalah, hanya berusaha diam di pojok kelas dan memilih tidak berinteraksi dengan siapapun yang akan memicu masalah untukku ke depannya. Namun pilihanku ternyata salah. Aku yang pendiam justru memancing para perundung untuk datang kepadaku. Awalnya aku hanya diam saat dirundung. Namun ketika aku merasa perundungan yang aku terima semakin parah, aku sedikit menunjukkan taringku. Saat itu, ada empat orang pentolan kelas yang merundungku. Satu orang perempuan yang aku taksir dia merupakan ratu di antara para perundung, dan tiga laki-laki yang bertindak seperti pengawal setianya. Beberapa kali kursiku ditarik ketika aku hendak duduk, namun aku tetap diam. Beberapa kali kolong mejaku diisi dengan sampah, aku juga tetap diam. Namun ada satu saat di mana salah seorang dari keempat orang tersebut, yah akan aku sebutkan jika dia adalah si perempuan, menyebutku yatim piatu. Saat itu aku marah. Dia menghinaku dengan sebutan yatim piatu di depan semua murid kelasku. Aku yang selalu diam ketika dirundung, seketika langsung berdiri dan menghajar perempuan tersebut. Seluruh isi kelas hanya diam melihat aku menghajar perundung tersebut. Namun ketiga pengawalnya tidak tinggal diam. Dua di antaranya menarikku, dan satu orang terakhir berusaha menyelamatkan sang Ratu. Sang Ratu? Ya, kita sebut saja wanita jalang satu ini dengan sebutan sang Ratu. Sang Ratu yang mengalami sedikit mengalami luka lebam di bagian wajah karena terhantam benda tumpul yang berbentuk kepalan tangan, berusaha membalas ketika melihat aku dipegang oleh kedua pengawalnya. Ketika ia hendak menamparku, aku meludah tepat di wajahnya lalu menendang tepat di perutnya. Aku tidak peduli ketika aku menendang wanita jalang ini, celana dalamku terlampang. Karena aku lebih mementingkan wanita itu daripada pakaian dalamku sendiri. Sang Ratu jatuh tersungkur seketika. Saat kedua pengawal yang memegangku terkejut dan sedikit melonggarkan tangannya terhadapku, kubenturkan kepalaku kepada pengawal sebelah kanan. Pengawal sebelah kanan mengaduh kesakitan dan melepaskan pegangannya kepadaku. Pengawal sebelah kiri secara spontan menoleh kepada pengawal sebelah kanan dengan tatapan terkejut karena tidak menyangka aku dapat bertindak demikian. Sepersekian detik kemudian, aku menonjok pengawal sebelah kiri tepat di hidungnya dengan keras. Pengawal sebelah kiri tersungkur sambil memegang hidungnya yang aku lihat mulai ada tetesan darah mengalir dari lubang hidungnya. Aku rasa tulang hidungnya patah. Pengawal ketiga, yang berada di depanku, tengah fokus memeriksa keadaan Sang Ratu yang mengaduh di lantai. Spontan aku melompat dari posisiku saat ini, lalu menendang pengawal ketiga dengan sekuat tenaga. Pengawal ketiga juga tersungkur ke belakang karena aku menendang tepat di kepalanya. Jika diingat lagi, aku merasa malu atas kejadian itu karena pengawal ketiga pasti telah melihat pakaian dalamku saat itu. Sang Ratu terlihat semakin terkejut ketika aku menumbangkan pengawal ketiga. Setelah ketiga pengawal tersungkur, aku menghampiri Sang Ratu dan memberikan sedikit sentilan ke arah ginjalnya. Eh maksudku tamparan yang cukup keras ke arah pipinya. Lalu aku berdiri di atas kursi yang berada tidak jauh dari Sang Ratu, dan aku berteriak "Selama ini aku hanya diam saja kalian rundung, bukan berarti aku tidak dapat melawan. Sekali lagi kalian bertindak tidak menyenangkan terhadapku, kalian akan berakhir di rumah sakit. Jika kalian tidak suka, silakan kalian ajak semua anggota perkumpulan preman kalian, dan hajar aku bersamaan. Tapi jangan salahkan aku jika kalian aku buat masuk rumah sakit bersama-sama." Kuucapkan hal tersebut dengan sangat lantang. Padahal, jika aku benar-benar dikeroyok saat itu, jelas aku akan menyusul ayah dan ibuku ke alam baka. Beruntung, mereka justru jera dan takut ketika aku ancam demikian. Dan sejak saat itu, tidak ada lagi perundungan di kelasku karena aku menjadi penguasa di kelas tersebut. Kembali ke hari ini. Hari ini adalah hari di mana kelulusanku tiba. Semua siswa berpesta dan bersenang-senang. Karena setelah tiga tahun berjuang dan bergelut dengan tugas, praktikum, dan segala ujian yang menghadang, akhirnya kita menjadi manusia baru terhitung sejak hari ini. Satu milestone dalam kehidupanku telah aku lalui hari ini. Di tengah pesta kelulusan, paman Juli menelponku. "Rin, paman menerima paket untukmu. Sepertinya ini dari salah satu temanmu di pusat kota." Sapa paman Juli di ujung telepon. "Temanku dari pusat kota? Siapa?" Jawabku dengan nada sedikit bingung. "Entahlah, Rin. Dia tidak menuliskan nama pengirim dan alamat pengirimnya. Tapi di sini tertulis 'hadiah kelulusan untuk Rin'. Mungkin ini buah tangan atas kelulusanmu, Rin." Jawab paman Juli yang ikut bingung dengan paket yang aku terima. "Oh baiklah, paman. Letakkan saja itu di atas meja belajar di kamarku. Mungkin itu dari Daniel." Sahutku. "Meja belajarmu? Baiklah paman mengerti." "Terima kasih paman, setelah ini aku akan segera pulang." Sahutku. "Bisakah nanti kau mampir ke kedai kopi langganan paman, Rin? Pekerjaan paman di rumah sedikit menguras pikiran. Paman rasa paman butuh asupan kafein." "Baiklah paman. Jangan lupa pajak dua puluh persen. Hahaha" Godaku kepada paman Juli. "Dasar keponakan durhaka. Baiklah, kau bebas pesan sesukamu, asal tidak lebih dari dua dolar." Jawab paman Juli dengan nada bercanda. "Dua dolar? Ayolah paman, aku hanya akan mendapatkan setengah potong roti bagel dengan uang sebanyak itu," sahutku kesal. "La, la, la. Paman tidak peduli. Yang penting bawakan paman kopi kesukaan paman, atau kau tidak mendapat makan malam hari ini." Paman Juli langsung menutup sambungan telepon. "Aish, dasar paman durhaka!" Gumamku kesal terhadap paman Juli. Namun sebenarnya aku tahu, jika paman Juli sangat menyayangiku dan memang seperti itu caraku dan paman Juli bercanda. Memang tedengar kasar, tapi percayalah, sebenarnya paman Juli memiliki sifat yang sangat lembut. Malam hari setelah makan malam, aku beranjak dari meja makan menuju kamarku untuk membuka paket yang aku terima. Paket itu berisi satu buah kartu memori dan sepucuk surat. Surat itu bertuliskan "Rahasiakan isi kartu memori ini dari siapapun." Aku semakin penasaran dengan isi kartu memori tersebut. Aku masukkan kartu memori itu ke dalam ponselku, di sana terdapat satu buah berkas video bertuliskan "Jejak 22 Juli 2016." Aku ingat jika tanggal itu merupakan hari tewasnya seluruh anggota keluargaku. Aku pasang earphone ke ponselku, lalu aku mainkan videonya. Tanganku bergetar hebat melihat isi dari berkas tersebut. Baru beberapa detik video itu diputar, aku merasa tidak sanggup lagi melihatnya. Namun aku menguatkan diriku untuk melihat videonya hingga akhir. Di akhir video, terdapat sebuah pesan dari pengirim video. "Rin, aku tahu jika kau sebenarnya tidak sanggup melihat video ini sampai akhir. Tetapi, jika kau membaca pesan ini, artinya kau menyaksikan videonya hingga akhir. Aku menemukan petunjuk penting, Rin. Pelaku pembunuhan anggota keluargamu masih ada di pusat kota. Bergabunglah dengan Underground Free Fighting untuk menemukan petunjuk lebih lanjut." Dan videonya berakhir setelah itu. Aku berpikir, pasti Daniel lah pengirim video ini. Karena dari temanku di pusat kota, hanya Daniel yang hingga saat ini membantuku mencari bukti atas meninggalnya anggota keluargaku. "Aku akan menelpon Daniel besok. Aku harus menenangkan pikiranku dahulu hari ini." Gumamku sebelum akhirnya aku beranjak membongkar semua barangku untuk mencari buku harian yang telah lama hilang ini. Dear Diary, setelah bertahun-tahun suasana tenang, sepertinya mulai hari ini segalanya akan berjalan rumit. Aku mohon, cahaya harapan yang aku jaga jangan sampai redup. Karena jika ia redup, atau bahkan padam, artinya hanya tinggal selangkah lagi menuju kematianku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD