Menjadi Agen II

1610 Words
18 Oktober 2018 Sedih, marah, kecewa, terluka, terlecehkan. Kata-kata itu berhasil mewakili apa yang aku pikirkan hari ini. Kemarin kak Nova benar-benar menghancurkan mentalku dengan tanggapannya yang menganggap jika apa yang kemungkinan telah terjadi kepadaku merupakan hal yang biasa terjadi pada dunia mata-mata. Terkadang ada perasaan ingin menyentuh area pribadiku sendiri, dan membuktikan omongan kak Nova kemarin terhadapku, tapi aku terlalu takut jika kenyataan memang sepahit yang aku bayangkan. Aku merasa sangat tidak siap jika memang harus kehilangan kehormatanku dengan cara seperti ini. Aku terduduk lesu di atas tempat tidurku. Aku terdiam cukup lama tanpa melakukan apapun, hanya meratapi nasibku sendiri. Aku merasa tidak memiliki siapapun kali ini, bahkan aku sangat takut menghubungi Daniel, karena aku khawatir dengan apa yang akan dia pikirkan nanti ketika mengetahui segalanya. Setelah cukup lama aku termenung, aku beranikan diriku melangkahkan kaki beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju cermin yang bertengger cantik di sebelah ranjangku. Aku lihat bayangan seorang perempuan yang telah kehilangan jati dirinya. Aku melihat bayangan perempuan yang memiliki aura gelap. Perempuan di balik cermin itu menatapku, dia sedikit membuka mulutnya seakan ingin mengajakku berbicara. Tapi aku sadar, jika perempuan yang aku lihat itu adalah bayanganku sendiri. Bayanganku yang sedang dalam kesendirian meratapi kebodohan yang aku sebabkan karena tingkahku sendiri. Bayanganku yang sedang meratapi kecerobohan mengambil keputusan yang berakibat buruk pada diriku sendiri. Aku berpikir dalam, aku berpikir jika seharusnya aku tidak menerima tawaran menjadi seorang agen, seharusnya aku tidak mencari informasi tentang Underground Free Fighting, aku berpikir jika seharusnya aku tidak datang ke pusat kota, aku berpikir jika seharusnya aku tidak menyaksikan jejak 22 juli 2016 secara keseluruhan dan melanjutkan hidupku yang damai di pinggir kota. Jika aku tidak ceroboh dalam mengambil keputusan, pasti segala hal ini tidak akan terjadi kepadaku dan aku sekarang masih memiliki kehidupan yang damai bersama paman Juli dan bibi Ambar di sana. Aku payah, aku sangat payah. Pandanganku kembali aku fokuskan untuk menatap mata bayangan perempuan yang terpantul dari cermin yang ada di hadapanku. Tatapan mata kosong tanpa harapan yang seakan sudah menyerah dengan segala hal tentang kehidupannya. Sejenak aku teringat sebuah kejadian yang hampir menimpaku ketika aku tengah berdiri di depan cermin ini. Kejadian ketika aku hampir menusuk diriku sendiri dengan gunting. Rasanya aku ingin mengulangi kejadian itu lagi kali ini, tapi aku ingin melakukannya dengan keadaan sadar. Tapi aku tahu jika aku tidak perlu melakukan hal itu. Jika aku mati konyol dengan cara seperti itu, mungkin ayah dan ibu tidak akan mau menemuiku di alam sana. Aku tidak menangis, aku sama sekali tidak merasa jika diriku menangis. Aku merasa, air mataku telah kering, telah kosong terkuras karena kecerobohanku sehingga tidak bisa keluar lagi. Tapi aku melihat, mata dari perempuan yang berada di dalam cermin itu memerah seakan menahan sesuatu. Tapi, aku tidak merasakan satu emosi apapun, aku benar-benar merasa kosong. Semakin lekat aku memperhatikan bayangan perempuan di dalam cermin itu, semakin jelas aku melihat jika perempuan itu berusaha mengatakan sesuatu kepadaku. Mulutnya terbuka dan bergerak seperti berbicara, namun tidak ada suara yang keluar dari mulut perempuan itu. Aku berusaha memperhatikan dan menterjemahkan apa yang ingin dia sampaikan kepadaku. "Laci" itulah kata pertama yang aku tangkap dari perempuan itu. "Buka laci, ada gunting." Dia berkata seperti itu kepadaku. Aku terus terdiam memerhatikan apa yang ingin dia katakan lagi kepadaku. "Ambil gunting itu!" Seru perempuan itu tanpa suara. Lalu semua pandanganku berubah menjadi putih. Sejenak, semua menjadi tenang, damai, hangat. Aku ingin, sejenak saja, waktu bisa berhenti untukku. Aku ingin menikmati perasaan nyaman ini lebih lama lagi. Beberapa saat kemudian, aku merasakan sedikit perih di telapak tangan kananku. Kesadaranku perlahan mulai kembali, aku mulai bisa merasakan nafasku kembali. Rasanya, mataku tetap terbuka tapi aku tidak bisa melihat apapun, hanya ada kabut putih di depan mataku. Kabut putih itu perlahan memudar, dan memperlihatkan lagi sosok perempuan rapuh yang sedari tadi berdiri di dalam cermin. "AH!" Aku terkejut dengan rasa sakit yang tiba-tiba hadir di tangan kananku. Aku mengangkat tangan kananku karena tidak dapat lagi menahan rasa sakit itu. Ketika aku menggerakkan tanganku, aku mendengar sebuah logam terjatuh ke lantai, seperti terlempar entah dari mana. Aku sangat terkejut ketika melihat darah segar mengucur dari tanganku. Kuedarkan pandanganku sejenak, aku melihat sebuah gunting tergeletak di lantai, dan ada bercak darah tercetak jelas pada bagian dalam gunting tersebut. Aku benar-benar terkejut karena hal itu. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Apa yang baru saja aku lakukan pada diriku sendiri? Satu hal yang aku takutkan benar-benar terjadi. Aku kembali berniat menyakiti diriku sendiri, atau bahkan mungkin aku ingin membunuh diriku sendiri lagi tanpa sadar. Sejak pertarungan terakhirku, aku merasa semakin ada yang aneh pada diriku. Ada saat di mana aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri dan bertindak sesuka hati. Aku bergegas mengambil plaster dan perban di kotak obat, kemudian aku balut luka di telapak tangan kananku mengguankan perban untuk menghentikan pendarahan yang terjadi. Aku semakin takut pada diriku sendiri. Bagaimana jika suatu saat aku membunuh orang lain tanpa sadar? Atau lebih buruk dari itu, aku takut suatu saat aku membunuh diriku sendiri ketika aku dalam keadaan tidak sadar. Rasa takut dan khawatir itu akhirnya berhasil membawaku keluar dari apartemenku. Saat ini sekitar jam 11 siang, aku yakin matahari sedang cukup panas. Aku tinggal di apartemen yang memiliki beberapa lantai, dan kamar milikku berada di lantai paling atas, tepat di bawah rooftop. Aku keluar dari apartemen milikku, kemudian aku langkahkan kakiku menapaki satu persatu anak tangga menuju rooftop. Aku masih tidak bisa merasakan perasaan apapun selain khawatir akan diriku sendiri. Pemandangan yang aku lihat dari rooftop sangat indah menurutku. Langit yang cerah di mana hanya ada beberapa awan yang bergerak perlahan mengikuti ke mana angin membawanya, bangunan khas pusat kota yang terlihat membosankan tapi kali ini entah kenapa bangunan-bangunan itu terlihat sangat cantik, juga beberapa burung yang tertangkap mataku secara kebetulan melintas di atas kepalaku. Aku berjalan ke arah tepi, di mana terdapat pagar yang membatasi agar tidak ada kecelakaan yang terjadi di sini. Kekacauan di dalam kepalaku membuatku berpikir untuk melompat dari ketinggian ini. "Mungkin aku akan mati sebelum sempat merasakan sakit" begitu pikirku. Aku menyandarkan punggungku kepada pagar yang terbuat dari besi itu, kemudian memutar kepalaku ke belakang di mana aku bisa melihat langsung setinggi apa apartemenku ini berdiri. "Ah, pagar ini bisa dipanjat kan? apa aku akan terpeleset jika aku memanjat? Apakah aku harus mencoba?" Batinku sambil melihat ke bawah, ke arah banyak kendaraan berlalu lalang. Sayup-sayup aku mendengar seseorang memanggil namaku dari kejauhan. "Rin, Rin.." Seperti itu kira-kira yang aku dengar. Aku memercingkan mata, menoleh ke arah di mana suara itu berasal karena silau, dan aku melihat ada seorang laki-laki yang berjalan santai ke arahku. "Hei, Tuan Puteri. Apa yang kau lakukan di sini?" Sapa pria itu. "Da-Daniel? Kau sedang apa? Bagaimana kau bisa menemukan aku di sini?" Aku merasa bingung dengan kedatangan Daniel yang tiba-tiba ini. "Haah, Aku ternyata benar-benar bukan seorang teman yang baik ya, Rin?" Daniel ikut menyandarkan punggungnya di pagar tepat di sebelahku. "Kenapa kau bisa berbicara seperti itu?" Jawabku tertunduk. Aku sama sekali tidak berani menatap ke arah mata Daniel. "Lihatlah wajahmu, Rin. Ke mana Tuan Puteri menyebalkan yang aku kenal? Kenapa Tuan Puteri itu sekarang berubah menjadi pemurung? Ada sesuatu yang tidak ingin kau ceritakan kepadaku?" Daniel menoleh ke arahku, menatap wajahku dalam. Aku masih belum berani menatap matanya secara langsung. Dia memberikan senyum yang sangat manis kepadaku ketika tanpa sadar aku mencuri pandang terhadapnya. "Kau tahu? Aku merasa akhir-akhir ini kau berbeda, Rin. Kau sangat sulit untuk dijangkau, aku merasa kau dan aku sekarang berada di dunia yang berbeda. Sejak kau bekerja menjadi pelayan kedai, aku seperti tidak mengenalimu lagi. Terakhir kali ketika kita berbincang di kedai, kau mengatakan jika semuanya baik-baik saja. Kau mengatakan jika kita mendapatkan semua bantuan yang kita butuhkan untuk mengungkap pembunuh keluargamu, bukan? Tapi kenapa sekarang kau terlihat sangat kacau, Rin?" Terang Daniel sambil menatap langit tepat di sampingku. "Bagaimana kau menemukanku di sini, Daniel?" "Ah, kau tidak ingin menjawab pertanyaanku? Baiklah tidak mengapa." Ucap Daniel dengan sedikit melempar senyum kepadaku. "Bagaimana kau bisa menemukanku?"Aku kembali mengulang pertanyaan yang sama. "Aku sangat mengenalmu, Rin. Sejak dahulu, ketika kau sedang gundah, kau selalu berjalan ke atap manatap langit. Aku hanya sekadar iseng, mencarimu ke rooftop. Ini adalah pertaruhan juga untukku, karena jika aku tidak menemukanmu di sini, aku akan langsung beranjak pergi." "Lalu, kenapa kau sekarang tidak pergi?" "Haha, kau tahu? Aku sama sekali tidak mengkhawatirkanmu, apapun yang kau lakukan di luar sana. Tapi kau harus tahu juga, apabila suatu saat kau membutuhkan tempat untuk pulang, kau selalu memilikiku. Aku sangat senang ketika mendengar bahwa kau mendapat semua bantuan yang kau butuhkan untuk mengungkap segalanya meskipun kau sedikit menutup cerita itu dari aku. Tapi melihatmu seperti ini sekarang, seakan kau sudah kehilangan jati diri dan tujuanmu, Rin. Tuan Puteri, ingatlah tujuanmu. Ingatlah, untuk apa kau berdiri di pusat kota hari ini." Daniel beranjak pergi setelah mengatakan sesuatu yang panjang itu. Tapi baru beberapa langkah dia berjalan, dia menghentikan langkahnya dan berbalik. Sebuah senyum yang sangat hangat dia lemparkan kepadaku. Aku beranikan diri untuk menatap matanya, namun aku masih belum bisa memberikan respon apapun terhadap Daniel. Bahkan aku juga tidak membalas senyum yang ia lontarkan kepadaku. "Jika kau tidak datang ke kedai besok, aku akan menjemputmu di apartemenmu pukul 8 pagi. Aku tidak peduli kau sudah bersiap atau belum, tapi aku akan mengajakmu bersenang-senang besok." Daniel berbalik kemudian melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. "Maafkan aku, Daniel. Aku masih belum sanggup untuk menceritakan semuanya kepadamu. Semua masih terlalu sakit dan aku tidak siap untuk membukanya kepadamu. Tapi, aku berterima kasih, kau telah percaya kepadaku." Gumamku ketika Daniel sudah tidak lagi terlihat. Dear diary, apa yang dikatakan Daniel tidaklah salah. Aku memiliki tujuan. Aku harus mengungkap dan menangkap dalang dari pembunuhan keluargaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD