Menjadi Agen III

1672 Words
19 Oktober 18 Aku merasa hari ini terlihat lebih baik jika dibandingkan dengan kemarin. Meski aku masih merasa hancur dan berantakan di dalam kepalaku, tapi hari ini aku bisa menatap cermin dengan penuh kesadaran tanpa rasa halusinasi. Aku sempat bingung dengan ajakan Daniel untuk bersenang-senang hari ini. Aku masih merasa belum ingin bertemu siapapun, tapi aku juga tidak tega untuk menolak ajakan Daniel. Sisi lain aku memang tidak ingin datang ke kedai sehingga menurutku masih tidak masalah untuk mengiyakan ajakan Daniel.. Aku merasa tidak memiliki tanggung jawab dan kewajiban apapun untuk datang ke kedai. Karena perjanjianku dengan kak Nova hanya sebatas ucapan dan tidak ada tanda tangan hitam di atas putih, aku merasa tidak masalah jika aku tiba-tiba meninggalkan pekerjaanku. Mungkin di luar sana masih terdapat cara untuk menyelesaikan masalahku tanpa bantuan The Barista. Aku sudah mendapatkan identitas pembunuh dari keluargaku, bahkan aku sudah mengenal pembunuh itu secara langsung. Hal tersisa yang harus aku lakukan hanya membunuhnya saja. Mungkin hanya butuh sedikit waktu lagi hingga aku bisa membunuh orang itu. Aku juga masih belum mendapat tantangan lagi untuk bertarung di arena, dan aku juga tengah malas untuk menantang orang lain di arena karena tujuanku di sana hanyalah untuk mencari dalang dari pembunuhan keluargaku, dan aku telah menemukan orang itu. Ketika aku tengah memandang diriku di cermin, terdengar suara ketukan di pintu apartemenku. Aku yakin jika orang itu adalah Daniel. Aku buka pintu apartemenku dan ternyata benar jika yang datang adalah Daniel. Daniel terkejut melihatku sangat berantakan karena aku baru bangkit dari ranjang empukku. Dia terkekeh dan menggelengkan kepalanya beberapa kali melihat rambutku yang seperti mekar seperti singa. Aku menyuruh Daniel masuk dan menunggu di sofa sementara aku bersiap-siap di kamar mandi. Setelah beberapa saat aku bersiap, aku muncul di hadapan Daniel dengan setelan kaos polos berwarna hitam yang aku balut dengan outwear cardigan berwarna biru muda dan celana pendek sepaha berwarna putih. Tidak lupa sepatu basic sneakers berwarna putih juga terpasang di kakiku. Daniel memandangiku dari atas ke bawah kemudian berbalik ke atas lagi. Dia berkata jika hari ini aku cantik. Entahlah, aku rasa dia hanya memujiku karena ingin menghiburku. Aku dan Daniel pergi berkeliling pusat kota menggunakan motor sekuter miliknya. Daniel sempat beberapa kali mengajakku bercanda, tapi aku tidak terlalu menganggapi candaan yang dia lontarkan. Aku lebih berfokus ke pemandangan kota yang menurutku cukup cantik. Ada sebuah kerinduan yang aku rasakan. Kerinduan akan suasana kota di saat aku masih memiliki orang tua dan kehidupanku di masa lalu. Biasanya, di saat aku bosan, aku akan meminta sopirku untuk mengantarku berkeliling kota. Tidak ada hal yang aku lakukan, hanya berkeliliing memandangi setiap sudut kota dan bangunan tinggi yang berdiri menjulang mencakar langit. Aku dan Daniel tiba di salah satu pusat perbelanjaan setelah Daniel merasa cukup lelah berputar-putar mengelilingi kota tanpa tujuan. Daniel masih terus saja berusaha berceloteh kepadaku, padahal dia tau jika aku tidak terlalu menanggapinya. Dia bercerita bagaimana aku dan dia di masa lalu, ketika kita masih sama-sama duduk di tingkat awal sekolah menengah atas. Aku dan Daniel memang beberapa kali datang ke pusat perbelanjaan ini hanya untuk sekedar membeli es krim dan bermain di arcade game. Daniel tersenyum sangat manis kepadaku, setelah puas bercerita tentang masa laluku dan dirinya, Daniel menarik tanganku ke suatu tempat. Karena aku yang sedari tadi tengah termenung, aku tidak menyadari jika aku dan Daniel tengah sampai di depan game center yang dulu sering kita datangi. Daniel mengajakku bermain untuk mengembalikan semangat hidupku yang telah hilang ini. Beberapa permainan klasik yang dulu sering aku mainkan bersama Daniel masih terpasang rapi pada tempatnya dan tidak berubah sejak dua tahun terakhir. Permainan seperti Pump It Up, Danzbase, dan Midnight Maximum Turn masih terjejer rapi di tempatnya. Daniel memaksaku untuk bermain dan berkompetisi dengannya. Awalnya aku malas menanggapi permintaan Daniel, tetapi semakin aku bermain, aku semakin tertantang karena Daniel semakin lihai bermain arcade game. Lama kelamaan emosiku memanas dan adrenalinku terpacu karena beberapa kali kalah dalam permainan balap mobil dengan Daniel. Dan ya, akhirnya Daniel berhasil mengembalikan senyumku yang pudar beberapa hari ini. Dia berhasil mengambil lagi semangatku yang sempat jatuh berserakan. Setelah aku akhirnya memenangkan pertandingan balap mobil itu melawan Daniel, aku berteriak dan tertawa lepas karena merasa sangat puas bisa mengalahkan Daniel yang sedari tadi mempermainan aku di dalam game. Tapi aku merasa, seperti ada sebuah kunci yang terlepas dari dalam kepalaku. Kunci yang menahan semua air mataku sejak kemarin karena aku merasa air mataku telah kering, padahal tidak. Aku tertunduk di kursi mobil arcade game ini. Badanku mulai bergetar karena aku mulai tidak sanggup menahan air mata yang akan terjatuh ini. Aku sangat ingin menangis, tapi aku malu kepada semua orang yang ada di sini karena keadaan game arcade kali ini sedang cukup ramai. Daniel bangkit dari tempatnya duduk, mendekatiku, kemudian menepuk pundakku perlahan. Entah kenapa, tepukan pada pundakku terasa seperti membuka sebuah bendungan berisi air yang terlalu penuh dan akan meluap. Ketika bendungan itu dibuka, air yang terkmpul di dalamnya akan seketika menyembur dengan sangat deras. Seperti itulah yang aku rasakan saat ini. Aku secara spontan langsung berbalik dan memeluk Daniel serta menangis sekencang-kencangnya di dalam pelukannya. Aku tidak peduli dengan kondisi area bermain yang ramai dan banyak anak kecil berkeliaran di sini. Aku terus saja menangis dan menangis dalam pelukan Daniel. Rasanya sakit, sangat sakit. Tapi aku merasa lega, sangat lega. Emosi yang tertahan sejak beberapa saat yang lalu benar-benar meluap, dan aku lega karena emosi negatifku berhasil keluar. Aku juga senang, karena Daniel ada di sisiku di saat aku sedang dalam keadaan seperti ini. "Ingin pergi ke tempat yang lain?" Ucap Daniel sambil menjauhkan badanku dari pelukannya. Aku hanya mampu menjawab dengan anggukan kecil di sela isak tangisku. Hari telah menjelang sore ketika aku dan Daniel akhirnya memutuskan untuk keluar dari pusat perbelanjaan setelah membeli cemilan di salah satu gerai makanan yang berada di pusat perbelanjaan ini. Kita meninggalkan motor di tempat parkir karena kita ingin berjalan menyusuri jalan kota menikmati udara sore yang sudah mulai sejuk. Aku diam, aku hanya diam, aku tidak bisa berkata apapun lagi. Aku malu, aku sangat malu, bagaimana bisa aku spontan memeluk Daniel ketika aku menangis? Wajahku sedikit memerah ketika aku mengingat lagi kejadian itu. "Hei, kenapa kau diam saja, Rin. Apakah tidak ada yang ingin kau sampaikan kepadaku?" "Tidak ada." Jawabku singkat sembari memakan cemilan yang aku bawa. "Ngomong-ngomong, aku suka gaya rambutmu." Celetuk Daniel yang entah dari mana asalnya. Tidak biasanya dia berkomentar tentang penampilanku. Sejak dulu dia hanya diam dan tidak pernah ribut akan penampilanku. "Eh? Tumben sekali kau berkomentar. Tidak biasanya. Biasanya kau hanya diam tidak peduli apapun yang aku lakukan." Jawabku dengan mata sedikit melotot karena terkejut. "Nah, akhirnya aku kembali mendengar celotehanmu yang menyebalkan ini, Rin. Hahahaha." Celetuk Daniel. "Oh, jadi kau hanya memancingku berbicara ha?! Lalu sekarang kau senang karena aku telah berbicara ha?!" Jawabku sambil sedikit mendekatkan badanku kepada Daniel. Daniel memundurkan badannya sedikit dan ingin berlari dari hadapanku. "Hahahahaha" Daniel tertawa sambil berlari menjauh dariku. "Berhenti kau, Anak Durhaka!" Seruku sambil mengejar Daniel. Aku tahu jika Daniel bukanlah orang yang rajin berolahraga meskipun dia sedikit menguasai bela diri. Sekalipun dia berusaha berlari sekuat tenaga menjauh dariku, tapi tidak butuh waktu lama bagiku mengejar dirinya. Aku dan Daniel saling berkejaran di trotoar seperti anak kecil yang tengah bermain. Saat aku rasa sudah cukup dekat jarak Daniel denganku, Aku melompat dan menendang punggungnya dengan cukup keras. Daniel tersungkur ke depan karena tendanganku, kemudian aku kembali berlari dan memitingnya dengan tanganku. Daniel berteriak meminta ampun kepadaku. Aku tidak peduli jika sekarang aku tengah berada di tempat umum, karena rasa kesalku tidak mengenal tempat dan malu. Daniel terus saja menggodaku. Aku pun tidak berhenti menggelitik Daniel agar dia berhenti menggodaku. Namun sepertinya nasibku dan Daniel sedang tidak begitu beruntung kali ini. Daniel tidak sengaja menyenggol seseorang, dan orang itu merasa marah akan hal tersebut. Orang tersebut aku taksir merupakan preman sekitar sini, terlihat dari penampilan orang itu yang kusam, berpakaian berantakan, berperawakan tinggi dan sedikit gemuk. Aku semakin yakin bahwa orang itu adalah preman karena dia masih terus marah ketika Daniel telah mencoba meminta maaf kepadanya. Aku berusaha membantu Daniel meminta maaf karena aku juga ikut menjadi penyebab Daniel menabrak orang tersebut, tapi orang itu tetap tidak bergeming. Orang itu kemudian bersiul setelah aku dan Daniel masih bersikeras untuk meminta maaf. Tidak lama kemudian beberapa orang preman mendatangi dan mengerubungi Daniel dan aku. Aku lihat warga sekitar tidak membantu sama sekali. Jangankan membantu, bahkan menoleh ke arah kami pun tidak. Para warga mengacuhkan kami seakan itu bukan urusan mereka sama sekali. Aku dan Daniel digiring ke sebuah gang sempit yang tidak jauh dari sana. Para preman itu mencoba sedikit memisahkan Daniel denganku. Aku dijaga oleh dua orang pria paruh baya sedangkan Daniel dijaga oleh tiga orang pria paruh baya. Preman yang ditabrak Daniel mulai berceloteh ke sana sini dan berkata jika dia adalah penguasa jalanan daerah ini. Aku hanya diam menyaksikan kekonyolan ocehan orang itu. Tapi aku terkejut ketika orang itu tiba-tiba memukul Daniel tepat di perutnya. Daniel langsung tersungkur tapi ditahan oleh tiga orang yang menjaganya. Aku ingin membantu tapi aku juga tidak bisa bebas bergerak karena aku ditahan oleh dua orang di sini. Beberapa kali aku lihat Daniel dipukul oleh orang itu. Mulai dari perut, d**a, bahkan hingga wajah Daniel habis dihajar olehnya. Tapi, aku sangat tidak bisa menerima ketika dia berkata seperti ini, "Ah, aku akan melepaskanmu tapi hanya jika kau menyerahkan teman perempuanmu kepada kami. Sepertinya dia adalah wanita yang cukup cantik, aku yakin dia pasti bisa membuat kita senang." Aku sangat marah, ingatan tentang apa yang mungkin terjadi di antara Nugraha dan diriku kembali menyeruak. Perasaan emosi dan kemarahan tiba-tiba meledak di dalam diriku. Aku tidak ingin lagi, aku tidak ingin mengalami pelecehan lagi. "Tidak! Tidak! Tidak!! Kalian para mahluk rendahan jangan sekalipun mencoba menyentuhku!" Kemarahan yang berkumpul di dalam kepalaku meledak, tiba-tiba sebuah kabut putih kembali menyelimuti mataku, dan aku tidak bisa mengingat apapun setelahnya. Dear diary, aku bingung dengan apa yang terjadi pada diriku. Bagaimana bisa semakin ke sini aku semakin sering kehilangan kesadaran? Apakah aku mengalami gangguan kesehatan yang serius sehingga aku mengalami hal ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD