"Astaghfirullahaladzim, Om. Apa yang sedang Om lakukan di sini. Pantas saja chat aku nggak dibeles, teleponnya nggak aktif, ternyata sedang bersama mantan istrinya Om, tho?" ucap Sania dengan suara bergetar. Diusapnya air mata yang berbondong-bondong jatuh dari balik kelopak, memutar badan meninggalkan lelaki yang telah membuat hatinya terluka.
"Sania, Sayang, ya Allah. Semuanya tidak seperti yang kamu lihat. Aku nggak lagi ngapa-ngapain sama Vero. Tolong dengarkan penjelasan aku dulu, San." Sadewa berusaha mengejar istrinya yang berjalan semakin menjauh sembari terisak.
"Tunggu, Sania. Dengerin aku bicara!" Dewa meraih tangan sang istri, menariknya perlahan, melesakkan kepala perempuan yang mulai mewarnai hidupnya itu ke dalam d**a.
"Lepas, Om. Aku benci sama Om Dewa. Om jahat tau nggak. Kemarin bilangnya nggak punya hubungan apa-apa sama Tante Vero. Katanya sudah bercerai, tapi, kenapa malah sekarang sedang berduaan sambil berpegangan tangan?!"
"Kamu salah paham, siapa yang sedang berpegangan tangan sama dia, San?"
"Salah paham apanya. Memang bener ya, semua lelaki itu jahat. Nggak Kevin, nggak ayahnya, semua sama saja. Hobi menyakiti perasaan perempuan. Kenapa Om tega melakukan ini setelah mengambil segalanya dari aku, Om?" Tangis Sania semakin pecah, membuat beberapa pasang mata memperhatikan mereka berdua.
"Aku tidak pernah mengkhianati kamu. Aku dan Vero hanya sedang membicarakan masalah..."
"Sudahlah, Om. Biarkan aku pergi. Lepaskan aku. Aku mau pulang ke rumah orang tua aku!" potong Sania seraya memberontak, mencoba melepaskan diri dari pelukan Sadewa, tetapi lelaki berjambang tipis itu terus mendekap erat tubuh Sania, mengecup puncak kepalanya sambil terus berusaha membujuk.
Karena tangis sang istri tidak kunjung berhenti, Sadewa memutuskan untuk membopong tubuh Sania dan membawanya masuk ke dalam mobil.
"Turunin aku, Om. Kalau nggak aku teriak!" acam perempuan dengan gamis bercorak bunga lili tersebut seraya memukuli d**a suaminya.
Sadewa segera masuk ke dalam mobil, menyalakan kendaraan roda empatnya meninggalkan parkiran cafe membawa sang istri pulang ke rumah.
"Aku nggak mau tinggal di sini. Aku mau pulang!" rengek Sania seperti anak kecil yang mulai tidak kerasan tinggal di tempat yang baru.
Lagi, Sadewa menggendong tubuh mungil istrinya masuk ke dalam rumah, merebahkannya di atas kasur setelah sampai di dalam kamar.
"San, maaf. Aku tidak mengizinkan kamu pulang ke rumah orang tua kamu. Kita selesaikan masalah ini secara dewasa dan jangan libatkan orang tua. Kamu itu istri aku. Jadi pulangnya ke sini bukan ke rumah Pak Romi. Tolong berhentilah menangis. Aku tidak sanggup melihat kamu terus seperti ini, Sayang." Pemilik rahang tegas serta wajah penuh kharisma itu kembali memeluk tubuh Sania, membuka hijabnya yang mulai berantakan seraya terus mengunci netranya dengan tatapan tajam namun menghangatkan.
"Kenapa Om Dewa jahat sama aku? Apakah kodrat seorang wanita itu harus disakiti, dipermainkan juga dipermalukan?" lirih Sania.
"Sudah aku bilang kalau aku tidak menghianati kamu, Sayang."
Sania menghapus kasar air mata dengan punggung tangan, mencoba mempercayai Sadewa tetapi pemandangan di cafe tadi benar-benar menyesakkan hati.
"Ini. Kamu liat, kamu baca chat dari Vero supaya kamu percaya sama aku. Kamu lihat foto-foto yang dia kirim. Veronika mengirimkan foto syur kamu." Pria berkulit kuning langsat itu menyerahkan ponselnya, menyuruh sang istri membaca semua pesan yang baru saja di kirim oleh si mantan istri.
"Dia mau menyebar fitnah dan memisahkan kita. Makanya aku menemui dia dan meminta perempuan itu untuk tidak menggangu rumah tangga kita," imbuhnya lagi.
"Tapi aku nggak pernah foto begini, Om. Mana berani," sanggah Sania.
"Itu foto editan. Tapi kalau orang bo*oh pasti percaya itu asli. Aku juga kalau belum liat luar dalamnya kamu pasti percaya, San. Kamu perhatikan tanda lahir di perut perempuan dalam foto-foto, kamu 'kan nggak ada tanda lahir!" Sadewa terus memindai wajah sang istri, terus meyakinkan kekasih hatinya agar percaya kepadanya.
"Tapi kenapa tadi Om Dewa malah pegangan tangan?"
"Aku nggak pegangan tangan. Mungkin kamu salah liat."
"Mata aku masih normal. Belum siwer!!"
"Terus, dengan cara apa harus meyakinkan kamu kalau begini?"
Sadewa berpikir sejenak, kemudian dia mengingat sesuatu yang mungkin bisa meyakinkan hati sang bidadari.
"Kita kembali ke kafe dan meminta pemilik kafe untuk menunjukkan rekaman CCTV tadi."
"Untuk apa?"
"Membuktikan kalau aku tidak melakukan hal seperti itu. Biar kamu percaya bahwa semua laki-laki di muka bumi ini tidak semuanya sama, dan kamu juga percaya kalau Arya Sadewa itu seorang lelaki setia."
"Gosah! malu-maluin. Nanti aku dibilang kaya anak kecil sama mereka!" Sania memonyongkan bibir manja.
"Memang dasar masih bocah!"
"Tau masih bocah tapi ditidurin!"
Sadewa terkekeh melihat ekspresi istrinya yang kian menggemaskan.
"'Kan kamu istri aku. Wanita yang halal untuk aku gauli dan aku juga lelaki normal. Masa ada wanita cantik di kamar setiap hari malah dianggurin?
"Udah, ah. Aku lapar. Ternyata nangis bikin perut aku keroncongan. Pokoknya Om harus traktir aku makan di luar, ajak aku jalan-jalan dan beliin apa pun yang aku mau."
"Oke, deal!"
Sambil mengusap air mata Sania turun dari tempat tidur, mencuci mukanya yang terlihat sembab serta kuyu lalu menyapukan sendikit bedak juga memoles bibirnya dengan lipstik yang baru dia beli kemarin di salah satu stand kosmetik ternama.
Saat perempuan berparas ayu itu sedang mengikat rambut dan memantas diri di depan cermin, Sadewa berjalan menghampiri, memakaikan kalung yang siang tadi dia beli bersama Emilia di leher jenjang istrinya.
"Om beliin ini buat aku?" Wajah si wanita tiba-tiba berbinar cerah.
"Iya. Kamu suka?"
Sania menatap pantulan dirinya di cermin, menatap takjub hadiah yang baru dia dapat dan mengangguk.
"Terima kasih, Om. Cantik banget modelnya. Aku suka banget. Tapi kalau bisa jangan beliin aku barang-barang yang terlalu mahal. Nanti uang Om habis dan kita nggak bisa jalan-jalan lagi."
Bibir plum Sadewa melengkung indah laksana bulan sabit. Dia merasa lucu saja mendengar jawaban istrinya yang memang belum terlalu dewasa.
"Jangan khawatir. Uang suami kamu itu banyak dan nggak akan habis kalau timbang buat beli kalung seperti ini."
"Tapi ini emas asli 'kan, Om? Bukan imitasi?"
Sadewa nenyentak napas kasar.
Sabar, Dewa. Sabar. Begitulah resiko menikahi perempuan belum cukup umur. Dia mengelus d**a.
Terkadang Sadewa suka berpikir, kasihan sekali jika kemarin Sania sampai benar-benar menikah dengan Kevin. Selain kehidupan Kevin belum mapan, Sadewa tidak yakin kalau putranya akan sabar menghadapi sikap manja wanita yang ada di hadapannya itu.
Sania itu masih terlalu polos dan bisa saja dibodohi oleh laki-laki. Pasti Kevin akan memperlakukan istrinya dengan sesuka hati juga mengkhianati.
"Ini demi nama baik Bapak sekeluarga. Saya berjanji tidak akan menyentuh putri Bapak sampai dia mendapatkan laki-laki yang layak untuknya dan akan menceraikan Sania jika ada pria yang tulus menjaga dan menyayangi Sania." Kata-kata itu tiba-tiba terngiang di telinga Sadewa saat sedang menatap lamat-lamat wajah istrinya.
Rasa bersalah seketika menelusup di relung sanubari karena sudah mengingkari janji. Sungguh, malam itu dia telah khilaf dan terbuai oleh suasana yang memaksanya untuk menunaikan kewajiban sebagai suami. Padahal dirinya sudah berjanji untuk tidak menyentuh hingga Sania sudah siap dan mencintai dia, bahkan berjanji akan melepaskan jika suatu saat ternyata tidak ada cinta yang tumbuh diantara mereka.
Tapi janji tinggalah janji. Sadewa laki-laki normal yang tidak bisa menahan hasrat saat berada seranjang dengan kekasih halalnya, apalagi sudah lebih dari dua puluh empat tahun dia tidak mengasah pisaunya hingga terasa mengarat, ditambah lagi tidak ada penolakan sama sekali dari sang istri.
"Kita mau tatap-tatapan begini terus, Om?" tanya Sania menarik Sadewa dari lamunan.
"Kita jalan sekarang!" Tangan sepasang suami istri berbeda generasi itu saling bertaut dan mereka saling menebar senyum, membuat siapa saja yang melihatnya pasti mengira kalau Sania dan Sadewa adalah pasangan paling bahagia.
Namun, ketika keduanya baru sampai di parkiran rumah dan hendak masuk ke dalam mobil, Romi sudah berdiri menatap tidak suka ke arah mereka, apalagi ketika melihat Sadewa sedang menggandeng putri satu-satunya yang telah dinikahi secara siri.