Part 6

1019 Words
Ekor mata Sadewa terus saja melirik ke arah Sania yang masih merajuk, agak sedikit tergelitik melihat polah lucu istri kecilnya itu.   Bahkan ketika sampai di dalam kamar juga Sania masih tetap diam, tidak menyentuh barang belanjaannya sama sekali malah memilih segera membasuh wajah, menggati pakaian lalu merebahkan bobotnya secara kasar di atas kasur.   "San." Pelan serta hati-hati dia menyentuh pundak sang istri, merasa tidak nyaman karena terus saja didiamkan.   "Aku ngantuk, Om. Maaf jangan ganggu dulu." Perempuan berpiama Doraemon itu menyingkirkan perlahan tangan suaminya, walaupun dalam hati merasa sedikit takut berdosa sebab karena hal sepele saja dia harus marah.   "Aku minta maaf. Besok pulang dari kantor kita nonton. Aku janji."    Mendengar kata itu Sania langsung memutar badan menatap wajah suaminya.   "Janji ya, Om. Kalau bo'ong aku lanjut ngambeknya." Mengerucutkan bibir manja.   "Iya. Tadi aku bener-bener capek dari pagi diajak muter terus sama kamu. Kaki rasanya ampe cenut-cenut."   "Makanya rajin olah raga!"   "Yuk! Kita olahraga dulu sebelum bobok."   "Ish! Nggak jelas banget si Om. Nggak liat apa udah jam sepuluh malam, masa mau olahraga?"   Sadewa mendengus kesal mendengar jawaban dari sang istri.   Sudah diajari semalaman juga belum paham-paham! Dia menunggumam dalam hati dan tanpa ba bi bu serta kode-kodean dia langsung memberikan serangan.   ***   "Lho, Yah. Mamah muda ke mana? Kok nggak keluar dan ikut sarapan?" tanya Clarissa ketika melihat ayahnya duduk sendirian di meja makan, menikmati nasi goreng yang baru saja dibuat olehnya.   "Rasanya bagaimana, Yah?" Dia bertanya lagi.   "Masih firjin, 'kan biar anak masa kini Sania besar di pesantren!"    Dahi perempuan berusia dua puluh enam tahun itu berkerut-kerut, menatap sang ayah dengan mimik bingung.    Apa hubungannya nasi goreng dengan virgin? Pikirnya sambil menarik kursi lalu mengenyakkan b****g perlahan di samping Sadewa.   "Maksud Ica nasi gorengnya, Yah. Bukan nanyain Sania."   Uhuk!   Uhuk!   Sadewa terbatuk dan wajah pria berambut cepak itu seketika langsung bersemu merah, merasa malu karena salah menjawab pertanyaan dari putrinya.   "Ayah mau bawakan sarapan dulu buat Sania." Sambil menahan malu dia bangkit dari duduknya, membawa sepiring nasi goreng ke kamar menemui Sania yang masih bersembunyi di balik selimut tebal setelah kembali mendapatkan serangan fajar.   "Bangun, Sayang. Sarapan dulu. Aku mau berangkat ke kantor," bisik Sadewa seraya mengusap lembut rambut istrinya dan mendaratkan kecupan singkat.   Mata Sania tetap terpejam, tidak terganggu sama sekali walaupun Sadewa terus saja menggoda. Wajahnya terlihat kelelahan, rambut basahnya berantakan membuat Sadewa kian terpesona dengan wanita cantik yang terpaksa harus dia nikahi karena kelakuan sang anak.   Ponsel dalam saku celana pria bertubuh tegap itu tiba-tiba berdering. Ada panggilan masuk dari Emilia sekretarisnya, mengingatkan kalau pagi ini dia ada meeting dengan klien dari Singapura. Sadewa segera mengambil jas yang sudah disediakan oleh istrinya, memakainya kemudian lekas berangkat kerja.   ***   "Lia, saya mau tanya. Kira-kira kalau perempuan itu biasanya suka sama apa?" tanya Sadewa selesai rapat kepada asisten pribadinya.   "Uang sama perhiasan, Pak. Sama mobil!" jawab Emilia dengan semangat empat lima.   "Kalau begitu temani saya ke toko perhiasan sekarang. Saya mau membeli kalung. Nanti kamu pilihkan yang bagus dan jangan terlalu berlebihan modelnya."   "Iya, Pak."    Mereka berdua kemudian pergi ke sebuah pusat perbelanjaan, menghampiri toko berlian paling terkenal di Jakarta dan membeli kalung berliontin hati untuk Sania.   Semoga saja istriku senang dengan hadiah ini. Gumam Sadewa dalam hati.    "Kamu kembali ke kantor naik taksi onlen saja, Lia. Saya mau pulang ke rumah!" Sang pemilik alis tebal itu melirik benda bulat berwarna silver yang melingkar di pergelangan tangan, karena merasa sudah lama sekali berada di luar rumah meninggalkan Sania.   Masih jam satu siang. Tapi rasanya sudah kengen banget sama Sania. Gumamnya lagi.   Emilia mengeryitkan dahi melihat perubahan aneh bosnya. Di mata wanita berambut sebahu itu Sadewa terlihat lebih fresh, tidak segalak biasanya dan bahkan ketika dia melakukan kesalahan karena lupa membawa salah satu berkas yang dibutuhkan sang atasan tidak marah sama sekali. Dia hanya ditegur, lebih tepatnya diingatkan.   "Next time jangan teledor kalau bekerja." Hanya itu yang dikatakan oleh Sadewa, dan itu membuat sekretarisnya merasa aneh.   ***   Ting!   Sadewa mengambil gawai yang tergeletak di atas dasboard ketika mendengar sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya.    [Wa, ini aku, Vero. Bisa ketemuan di cafe Mawar hari ini gak? Ada yang mau aku sampaikan sama kamu. Tentang Sania istri baru kamu itu. Penting banget.]   Pria berkemeja putih itu menautkan alis membaca pesan dari Veronika mantan istrinya.    Memangnya apa yang mau dibicarakan tentang Sania kepadanya? Batinnya.   Di waktu bersamaan, Sania juga mengirimkan pesan dan menagih janji Sadewa yang akan mengajaknya pergi nonton hari ini. Sadewa merasa bimbang. Ingin sekali menanyenangkan hati istrinya, tapi dia juga penasaran dengan apa yang hendak disampaikan oleh Veronika.    ***   Sementara di rumah. Sania sudah berdandan rapi juga cantik, menunggu sang suami dengan gelisah. Berkali-kali ia melirik jam di layar gawai, juga menunggu balasan dari Sadewa karena pesan yang dia kirim hanya dibaca tanpa ada jawaban. Ia juga mencoba menghubungi si suami tapi malah ponselnya tidak aktif.   "Kamu mau kemana, San? Mau ikut aku nggak?" tanya Clarissa sambil mendorong stroller bayi ke luar dari rumah.   "Ke mana, Kak?"    "Jalan-jalan aja. Mau makan di kafe sekali-kali. Ayo ikut! Lagian Ayah nggak mungkin pulang jam segini."   "Tapi, Kak?"   "Ayah nggak akan marah. 'Kan perginya sama aku. Kamu izin via w******p aja kalau nggak."   Karena sudah terlanjur rapi dan sang suami tidak kunjung pulang, Sania akhirnya menyetujui ajakan anak tirinya.   Sepanjang perjalanan banyak sekali yang diceritakan oleh Clarissa tentang masa lalu ayahnya yang harus menjadi orang tua tunggal, mengurus dia dan juga Kevin hingga besar tanpa seorang istri. Makanya Clarissa merasa bahagia saat ayahnya memutuskan menikah lagi dengan Sania.   "Ya, walaupun pernikahan Ayah sama kamu itu terjadi karena suatu kebetulan, tapi aku seneng liat Ayah bahagia. Dia terlihat begitu menyayangi kamu, San!" Clarissa mengakhiri obrolannya karena taksi yang mereka tumpangi menepi di depan sebuah cafe ternama di Ibukota.   Senyum terkembang lebar di bibir Sania saat melihat mobil Sadewa juga terparkir di sana, merasa diberi kejutan oleh suami serta sang anak tiri.   Langkah wanita berkerudung panjang menjuntai itu terayun cepat, tidak sabar ingin bertemu dengan suaminya dan mengajaknya untuk ke bioskop.    Namun, seketika dia terdiam saat melihat Sadewa sedang duduk sambil berpegangan tangan dengan Veronica. Kedua mata berhias bulu lentik itu memanas seiring dengan rasa sesak yang kian memenuhi rongga dadanya.                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD