Sadewa membuka mata perlahan, tersenyum penuh arti saat melihat sprai kamarnya yang sudah acak-acakan dan ada bercak merah di sana.
Pemilik rahang tegas serta wajah penuh kharisma itu terus saja menyunggingkan bibir bahagia, karena mendapatkan apa yang tidak pernah ia peroleh dari Veronika dulu. Wajahnya terlihat lebih ceria, semangat dalam d**a kian membara menyambut pagi dengan penuh rasa suka cita.
Ditengoknya jam yang tergeletak di atas meja, dan ternyata sudah pukul lima pagi.
Tidak lama kemudian Sania keluar dari kamar mandi, berjalan dengan hati-hati Manahan nyeri akibat perbuatan sang suami.
Lagi, Sadewa tersenyum bahagia, apalagi ketika melihat jejak cinta di leher Sania.
"Om Dewa kenapa pagi-pagi udah senyum-senyum begitu. Masih sehat 'kan?" tanya Sania sedikit ragu.
"Enggak, Sayang. Terima kasih untuk yang semalam."
"Ish!! Jangan dibahas. Aku malu. Mendingan sekarang Om mandi dan kita solat!"
"Siap, Bos!!"
Sadewa segera mengambil handuk yang diulurkan oleh istrinya, mengayunkan kaki dengan cepat ke dalam kamar mandi dan segera membasuh tubuh menghilangkan hadas besar setelah bertahun-tahun tidak melakukannya.
Selesai melaksanakan shalat wajib dua rakaat secara berjamaah, sepasang suami istri itu segera keluar dari kamar, duduk di ruang keluarga menikmati secangkir coklat hangat yang disuguhkan oleh asisten rumah tangga mereka.
"Mbok Dar, nanti tolong rapikan kamar saya dan ganti sprainya dengan yang baru!" perintah Sadewa kepada sang asisten rumah tangga yang sudah mengabdi selama lima belas tahun kepadanya.
"Nggak usah, Mbok. Biar aku aja yang ganti nanti." timpal Sania dengan cepat.
"Kamu tidak boleh melakukan pekerjaan berat. Kamu itu istri aku, ratu di rumah ini."
"Tapi, Om?"
"Nggak ada tapi-tapian, Sania. Semua yang ada di sini harus menuruti perintah aku!" lugasnya lagi.
"Om...malu sama Mbok Dar kalau dia yang harus merapikan kamar kita." Sania terus saja memprotes.
"Setiap hari juga dia yang merapikannya, 'kan?"
"Tapi sekarang beda, Om. Udah, Mbok. Nggak usah. Biar nanti aku saja yang ganti."
"Iya, Bu."
Darmi kemudian pamit untuk melanjutkan pekerjaan, meninggalkan dua sejoli berbeda generasi yang sedang bercengkrama membahas masalah anak sambil tertawa renyah.
"Kita jalan-jalan pagi yuk, San!" ajak Sadewa seraya mengangkat b****g dari kursi.
"Enggak ah, Om. Aku lagi nggak mau kemana-mana. Nggak nyaman buat jalan."
"Emmm...apa masih sakit?"
Sania menjawab dengan anggukan pelan sambil menggigit bibir bagian bawahnya. Ada yang terasa lebih nyeri yaitu di dasar hati, karena harus menyerahkan segalanya kepada Dewa, laki-laki yang sebenarnya lebih pantas menjadi ayahnya.
Tapi mau bagaimana lagi. Lelaki bertubuh tegap itu sudah sah menjadi suaminya, orang yang paling berhak atas dirinya. Sania merasa takut akan laknat malaikat juga berdosa jika menolak permintaan suaminya semalam.
"Apa kamu menyesal melakukannya, San?" Dengan sangat lembut pria dengan jambang tipis serta mata sayu itu mengusap pipi sang istri, memindai lamat-lamat netranya yang sudah dipenuhi kaca-kaca, dan seketika itu rasa sesal tiba-tiba menelusup ke dalam d**a.
Dia merasa telah mengingkari janji kepada Romi untuk tidak menyentuh Sania. Tapi dia lelaki normal, tidak mungkin bisa menahan godaan setiap hari, apalagi perempuan yang berada satu ranjang dengannya sudah halal untuk didatangi.
"Enggak, Om. Om Dewa 'kan suami aku."
Tanpa lagi berucap kata Sadewa mengacak rambut istrinya yang basah, mengecup puncak kepalanya sambil memejamkan mata, berbisik dalam hati meminta kepada Illahi Robbi supaya sang istri bisa segera mencintainya.
***
"Lho, Om. Kok masih di rumah? Ini sudah jam tujuh loh!" Sania menatap heran suaminya yang masih duduk santai di atas kasur sambil memangku laptop.
"Ini tanggal merah, Sayang. Aku juga lagi nggak mau kemana-mana. Pengen deket-deket kamu terus," jawab Sadewa tanpa menoleh. Dia masih tetap sibuk berjibaku dengan pekerjaannya sebagai orang nomer satu di perusahaan ekspor impor daging sapi yang dia kelola sejak Kevin berusia lima tahun.
"Om Dewa mau deket-deket sama aku apa mau sama leptop terus? Diajak ngomong nengok aja enggak, bilangnya mau deket-deket sama aku!" Sambil mendengus kesal sang pemilik bulu mata lentik memonyongkan bibir manja.
Sadewa menoleh lalu menerbitkan senyuman. Segera ia letakkan benda berukuran empat belas inchi yang ada di pangkuan, menepuk-nepuk kasur kosong yang ada di sebelahnya menyuruh Sania untuk duduk.
"Memangnya istri aku maunya ngapain?" tanya Sadewa seraya merangkul pundak Sania, mendaratkan ciuman singkat sedang salah satu tangannya meremas jemari sang istri dengan lembut.
"Jalan-jalan, kek. Bete tau di rumah melulu!"
"Oke, kamu mau kemana memangnya?"
"Ke mol, kek. Belanja, kek. Yang penting jangan di kamar mulu. Capek kalo di kamar terus!"
Lawan bicara Sania terkekeh mendengar keluhan wanita yang sudah dinikahi selama tujuh belas hari itu. Kelakuannya yang masih kekanak-kanakan membuat dia merasa gemas, juga kadang merasa bersalah karena harus terikat pernikahan dengan pria paruh baya seperti dirinya.
"Ya sudah. Kita jalan sekarang."
"Beneran, Om?"
Sadewa mengangguk membuat wajah bidadari hatinya berbinar bahagia.
Sambil bersenandung riang perempuan berusia dua puluh dua tahun juga salah satu lulusan terbaik di pesantren tempat dia menimba ilmu dulu segera berganti pakaian, memoles sedikit lipstik di bibirnya membuat pria yang sedang duduk di bibir ranjang kian terpesona.
"Om Dewa nggak ganti baju?"
"Aku begini saja, San. Masih keliatan tampan, kok!" seloroh Sadewa direspon dengan kerucutan bibir oleh istrinya.
Walaupun terasa sedikit malas dan lelah si pemilik tubuh atletis berjalan keluar, menggandeng tangan Sania menuruni anak tangga menuju lantai dasar.
"Kaya kereta, gandeng terus!!" celetuk Clarissa ketika melihat tangan ayah serta ibu tirinya saling menggamit satu sama lain.
Mendengar ucapan si sulung wajah Sadewa langsung memerah tapi bukan karena marah. Clarissa juga mulai berani meledek sang ayah karena semenjak menikah lelaki yang teramat dia hormati tidak lagi mudah tersulut emosi. Banyak sekali perubahan positif yang dia rasa, karena kahadiran Sania sebagai ibu tirinya justru membuat sikap Sadewa sedikit berubah. Lebih hangat serta penuh kasih sayang.
"Kak Ica mau ikut jalan-jalan nggak?" ajak Sania membuat riak wajah pria di sisinya seketika langsung berubah.
"Kita jalan berdua saja. Masa orang mau pacaran malah harus diganggu anak dan cucu!"
"Ih, Om Dewa ini. Kan biar rame!"
"Aku juga mau pergi sama Mas David nanti siang."
"Oh, ya sudah kalau begitu." Sania mengangkat kedua ujung bibirnya kemudian segera berlalu dari hadapan Clarissa.
***
Hampir seharian Sania mengajak Sadewa mengitari mall dari tenant satu ke tenant lainnya, membeli semua yang dia mau dan ia impikan sejak lama. Sepatu baru, tas baru, baju baru, tinggal tunjuk dan akan dibayar oleh sang suami.
"Beli es krim, Om!" Sania menarik tangan suami menuju sebuah stand ice-cream, mengantri hingga lima belas menit membuat Sadewa merasa jenuh.
"Ini, Om!" Perempuan berkulit putih itu kemudian menyodorkan satu cup ice-cream rasa coklat kepada suaminya, namun ekspresi suami terlihat kurang suka sebab Sadewa memang tidak pernah menikmati jajanan seperti itu.
"Cobain deh, Om. enak loh!" Sania memasukkan sesendok es ke mulut suaminya sambil tersenyum, membuat Sadewa mau tidak mau diam pasrah mendapat perlakuan seperti ABG labil dari istrinya.
"Sudah malam, ayo kita pulang!" Sadewa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Aku mau nonton dulu, baru jam delapan 'kan?"
Sadewa menghela nafas berat karena kakinya sudah berdenyut nyeri. lelah.
"Ayo kita pulang, San. Sudah malam. Aku capek. Minggu depan kita jalan-jalan lagi."
"Aku mau nonton bentar, Om. Tiketnya murah kok, nggak sampe seratus ribu!"
"Aku capek, San."
"Tuh, 'kan. Giliran kemauannya aja harus dituruti semua. Giliran apa yang aku mau nggak dituruti!" rajuk Sania tidak terima.
"Aku sudah menuruti semua kemauan kamu lho, San. Muter-muter seharian di mol, beliin semua yang kamu minta tanpa menolak sedikit pun!"
"Ya sudah, ambil balik belanjaannya kalo Om nggak ikhlas. Tapi nanti kalau mau tidur jangan ganggu-ganggu aku."
Sadewa nenyentak napas kasar.
"Ternyata begini rasanya punya istri masih bau kencur. Ngambekan!" grutunya sambil mengikuti Sania yang sedang merajuk dan berjalan menuju mobil mereka.