Prioritas

1087 Words
Mama masih larut dalam sedihnya. Sepertinya sesak masih begitu terasa di dalam dadanya ditinggal oleh laki-laki yang paling dia cinta. "Ma, Cimoy sudah masak. Kita makan yuk," ajakku pada mama yang sedang melamun. Mungkin sedang merindukan hadirnya papa. Gundukan tanah itu masih basah. Sama seperti pipi mama yang selalu basah oleh sebuah rasa lara. Tujuh hari kemudian... Tentu saja kepedihan mama belum pergi apalagi lenyap. Semenjak kepergian papa, mama semakin rajin menulis bait demi bait puisi. "Wah, tulisan Mama bagus. Kenapa enggak belajar nulis novel aja, Ma?" tanyaku menghampirinya. Dengan meja kaca berwarna hitam ia masih sibuk memainkan pena hitam di atas kertas hvs berwarna putih di ruang tamu. "Mama pingin nyoba sih. Tapi, kan mama belum pernah nulis sama sekali." "Cimoy lihat piala Mama banyak loh. Waktu SMA mama sering juara 'kan?" "Lumayan sih, Nak. Mama juga sering nulis puisi dari SMP tapi nggak aktif ikut lomba." "Coba saja, Ma. Siapa tahu rezeki Mama luas di sana," ucapku memberi semangat. Kami saat ini tidak tinggal di rumah mewah. Jangankan rumah mewah, tanah kosong saja kami tidak punya. Kami mengontrak sejak lama di sini. Sebelum itu, kami tinggal di rumah peninggalan almarhum nenek dan kakek. Semenjak papa sakit kami menjual rumah itu. Berat pasti. Karena banyak sekali kenangan kami disana. Kenangan masa kecil, kenangan saat kedua orang tuaku baru saja menikah. Tapi apa mau dikata? pengobatan papa butuh pengeluaran yang tidak sedikit. Mama wanita biasa. Untuk menambah kebutuhan sehari-hari kami, ia berjualan kue. Kadang dititipkan di warung-warung terdekat kadang juga berkeliling menawari jualannya. Tentu tidak cukup untuk pengobatan papa. Aku beruntung karena memiliki om Luham yang tidak jarang membantu pengobatan papa. *** Selama lebih dari satu bulan aku tidak pergi kemana-mana. Menunggu hasil ujian nasional keluar. Liburan hanya ku habiskan untuk membantu mama mengurusi pekerjaan rumah sesekali juga menemani Irfan. Saat mama sedang sibuk membuat beberapa jenis kue untuk di titipkan ke warung terdekat aku menjaga Irfan. Adikku sebentar lagi berusia enam bulan. Dia mulai bisa telentang. Pahanya besar, pipinya tembam membuatku benar-benar gemas. Tak jarang aku mengecup pipinya tanpa henti hingga membuat mama menggerutu. "Teman-teman kamu liburan ya, Nak? sabar ya, Nak. Suatu saat kita pasti bakal ngerasain juga," ucap mama melihati layar ponselku. "Eh Mama? maaf Cimoy enggak lihat Mama ada di belakang Cimoy. Enggak kok, Cimoy enggak butuh liburan ini." "Sekarang memang enggak, Nak. Tapi nanti." Kuakui ada rasa iri didalam hati melihat teman-teman yang lain berlibur ke pantai, bahkan ada yang keluar negeri. Bagiku selama mama bahagia itu sudah cukup. Mama dan Irfan adalah yang prioritasku saat ini. Aku masih bersembunyi dibalik tembok rumah kontrakan kami yang tidak cukup luas namun cukup bagi kami bertiga untuk tinggal di dalamnya. Sangat cukup. Papa terlalu cepat meninggalkan kami. Tidak bisakah papa lebih lama bersama kami? lihatlah, pa. Mama begitu ceria sekarang. Cimoy janji bakal jagain mama dan Irfan demi papa. Yang tenang ya disana, pa─batinku. Beberapa saat setelahnya, mama memanggilku untuk menemani Irfan. Ada telepon, entah dari siapa. "Telepon dari siapa, Ma? kayaknya Mama bahagia banget," tanyaku. "Dari sekolah kamu. Kata wali kelas, kamu dapat peringkat pertama terbaik seangakatan kamu, Nak," tutur mama antusias. "Oh gitu ya, Ma," jawabku datar. Prestasi tetap saja sebatas prestasi. Tentu aku bangga. Berkorban keras untuk bisa menjadi siswi terbaik di sana tidaklah mudah. Saat papa masih dalam masa kejayaannya, ia selalu memberi yang terbaik untukku. Iya, termasuk sekolah. Aku mendapat beasiswa sebagai siswi teladan dan berprestasi. "Kok kamu kayak enggak senang dapat nilai terbaik di sekolah. Kenapa, Nak?" tanya mama penasaran. "He he. Enggak apa-apa kok, Ma. Sepertinya Cimoy lanjut tahun depan saja. Cimoy mau bantu-bantu Mama di rumah." "Kan masih bisa sambil sekolah." "Tap─" "Mama tahu kamu enggak enak kan sama Mama? Enggak apa-apa, Nak. Bantu Mama dengan belajar yang serius. Sekolah kamu itu tanggung jawab ama, sekurang-kurangnya kamu harus lulus SMA. Papa juga pasti dukung Mama kok," nasihat mama. Mataku berkaca-kaca terharu pada perjuangan wanita hebat yang sedang memelukku saat ini. "Cimoy janji bakalan dapat beasiswa, Ma," ucapku tersedu-sedu. Mama tersenyum lalu menggenggam erat kedua bahuku seolah sedang mentransfer energi. *** Keesokan harinya aku telah rapi dengan baju lengan pendek polos berwarna soft pink dan celana training berwarna hitam. Waktu masih menunjukan pukul tujuh pagi. "Cimooy!" teriak suara perempuan yang tidak asing bagiku. "Eh, Anu? Mau lari pagi juga, Nu?" "Iya nih, bareng yuk." Perempuan yang tadi berteriak itu adalah Anu, lengkapnya Anulika. Aku sempat terperanjat saat pertama kali berkenalan dengannya. Sebab namanya yang unik. Kami akrab sejak lama. Kami sebaya. Mungkin perbedaan terlihat dari segi penampilan. Aku lebih feminim dibanding Anulika. Anulika gadis yang tomboi terlihat dari caranya berjalan pun pakaiannya. "Lo jadinya lanjut SMA di mana, Moy?" tanya Anulika saat kami sedang meluruskan kaki di halaman rumahnya. "Hmm, gue enggak tahu belum daftar juga soalnya." "Gue dengar lo peringkat pertama seangkatan. Mau bareng gue nggak?" "Hmm, iya tadi wali kelas gue telepon nyokap. Lo mau lanjut di mana? Lo ada brosurnya enggak?" tanyaku. Anulika berlari menuju rumahnya lalu kembali dengan brosur biru dongker. "Nih, lo bawa pulang deh. Siapa tahu mau diskusi dulu sama nyokap lo." "Oh, iya. Kalau lo mau besok lusa kita bisa bareng nganterin berkasnya. Biar dianterin sama Bang Idar," tawar Anulika. "Yaudah, gue bawa balik ya? makasih ya, udah mau direpotin sama gue." "Hahaha. Santai aja kali, elah." Aku kembali ke rumah dengan membawa selebaran brosur yang diberi Anulika. Mama menyetujui setelah mencari-cari informasi. "Sekolahnya cukup bagus kok. Besok kamu siapin berkas ya? kalau ada yang mau di fotocopy kamu bilang sama Mama. Biar Mama bantu." "Iya, Ma," ucapku menuruti. Dua hari kemudian... Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi. Di depan kontrakan kami sudah ada Bang Haidar dan Anulika yang menunggu sejak lima menit yang lalu. "Hai Bang Haidar, Anulika. Maaf ya lama," ucapku menyapa. "Enggak apa-apa, Moy cantik," ucap Bang Haidar merayu. Dari belakang Anulika menjorok kepala Bang Haidar. "Kebiasaan lo ya, enggak bisa lihat cewek cakep dikit!" omel Anulika. "Udah, enggak apa-apalah sesekali. He he," cengirku. Bukan bahagia karena disebut cantik oleh Bang Haidar. Aku justru merasa begitu antusias mendaftar sekolah hari ini. Aku memandangi sekitar dalam mobil yang tidak bisa dikatakan rapi. "Iya, sorry ya berantakan belum sempat gue beresin soalnya. Ini juga mobil temen gue. Tebengan, biasalah!" ucap Bang Haidar mengerti ekspresiku. "Bang, lo mau jalan kapan sih? ngoceh mulu kayak emak-emak arisan!" gerutu Anulika. Bang Haidar melajukan kendaraan roda empat itu tanpa aba-aba. Yang berhasil membuatku dan adiknya menempelkan wajah pada kursi depan. Anulika menarik nafas kesal. "Bisa enggak lo tuh─" "Tadi kata lo buruan, masa gue salah lagi, Nu?" Anulika mengepal tangannya, lalu tidak melanjutkan perdebatan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD