Sok Tampan!

1776 Words
"Duh, anak mama cantiknya," puji mama melihatku bersiap sekolah. Ini adalah hari pertamaku memasuki sekolah setelah resmi diterima menjadi siswi SMA beberapa pekan lalu. "Ciimooy, cimooooy!" suara teriakan Anulika. "Buset, cantik banget parah!" puji Anulika saat melihatku. Aku hanya nyengir karena terlalu antusias bertemu orang-orang baru di sekolah baruku. YaAllah akhirnya jadi siswi SMA juga. Saat yang dinanti-nanti tiba juga. Kata mereka masa putih abu-abu adalah masa yang paling menyenangkan. Kesannya benar-benar membuat orang-orang tidak dapat melupakan masa itu. Begitu menurut film-film romansa remaja yang ku tonton. Meski masa SMA-ku mungkin saja tidak akan seindah drama korea, tapi itu tidak melunturkan semangatku. Aku harus berjuang lebih keras untuk membantu mama dan mengejar beasiswa. Tidak mengapa bahkan jika harus mendewasakan diri sebelum usia dewasa. Akan ku anggap ini sebagai tantangan. Aku dan Anulika berangkat menuju sekolah dengan berjalan kaki setelah menyalami tangan mama. "Mpok, kite berangkat dulu ye. Assalamu'alaikum," salam Anulika. Kami berjalan dengan ceria setelah mama membalas salam. Tin.. Tin.. Suara klakson mobil berhasil menghentikan langkah kami. Ada sebuah mobil yang menyingkir menghampiri kami. Saat laki-laki itu membuka kaca mobil hitam di kursi penumpang.Sementara Anulika melirik sinis menahan kesal. "Lo ganggu tahu enggak bang?! Lo tahu enggak, gue sama Cimoy lagi asyik ngobrol saling curhat di pagi yang cerah ini ye kan. Terus lo dateng ngerusak mood gue!" gerutu Anulika. "Iye iye, elah. Intinya aja lo mau enggak ikut sama gue?" tawar Haidar. Tanpa basa-basi Anulika memasuki mobil. Tentu saja aku mengikutinya, daripada harus berjalan kaki sendirian, benar bukan? "Bang, temen lo ya?" tanya Anulika menunjuk kursi setir dengan bibirnya. "Ah, ya. Kenalin ini temen gue─" "Gue bisa sendiri. Kenalin gue Nadim, biasa dipanggil Dim," ujarnya tanpa menoleh sedikitpun ke arah kursi belakang. Meski dia tidak menoleh namun aku bisa melihat senyum ramahnya dari balik kaca mobil di dekat kepalanya. "Hai, Kak Dim. Gue Cimoy." "Cimoy, namanya lucu kayak nama kucing gue yang udah mati," cengir Bang Dim. Aku salah kira. Dia terlihat ramah tetapi ternyata menyebalkan sekali. Lebih menyebalkan dari Bang Haidar. Entah bercanda atau hanya agar terlihat akrab tapi ucapan itu berhasil membuatku kesal. Lantas kumanyunkan bibir setelah berusaha tersenyum lama sejak tadi. "Gue becanda kok, jangan dimasukin ke hati ya, Moy?" ucapnya saat tersadar melihatku yang terdiam kembali ke posisi duduk semula. Aku yang mendengar permintaan maaf itu tidak terpengaruh. Aku tetap hening menahan kesal. Sayangnya kesalku lenyap setelah melihat suasana indah pagi itu. Pemandangan yang membosankan bagi sebagian besar warga Jakarta. Tapi tidak bagi gadis anak rumahan seperti diriku. "Huft, rasanya gue mau cosplay jadi spiderman terus terbang tahu-tahu nyampe depan gerbang sekolah aja gitu!" keluh Bang Dim. Aku mengabaikan mereka yang berdebat tentang macetnya ibu kota. Orang-orang yang sibuk memulai hari. Ada yang mengenakan kemeja dan dasi sepertinya pegawai kantoran. Ada pula yang sepertiku mengenakan seragam sekolah. Bahkan ada juga beberapa pengamen jalanan dan pengemis yang berlalu lalang diantara para mobil yang menunggu lampu lalu lintas menjadi hijau. Refleks aku menyinggungkan senyuman pada sudut bibirku yang tipis. "Shuut! lo kalau senyum jangan lama-lama." "Lah emang kenapa, Nu?" "Entar om-om yang lewat samping lo ngira lo senyum buat mereka. Ha ha ha," gurau Anulika. Aku tertawa tipis mendengar Anulika. Lalu kembali melanjutkan memanjakan mata melirik sekitar mobil milik Dim. Gadis di sisi kananku menarik nafas malas. "Bang, lo kalau ospek gue sama Cimoy jangan kejam ya, Bang. Kasihanilah makhluk lemah lembut seperti kami ini," rayu Anulika dengan drama pagi itu. "Ah, matta," ucapku keceplosan. "Mata siape, Moy? kebiasaan deh lo pake bahasa planet pluto. Ini Indonesia bukan koreyah!" protes Anulika. "Sorry keceplosan, tapi lo kan juga suka ngedrakor. Bedanya lo halu hampir tiap hari," cengirku. Tersadar. Sebelum menikmati masa indah sebagai siswi SMA aku harus melewati masa-masa yang paling menyebalkan. Mos, masa orientasi siswa. Baru mendengarnya saja sudah mampu membuatku menggerutu kesal. "Kalau lo kan enggak perlu dijaga. Kalau buat.. EKHEM, Neng Cimoy mau abang mah siap 24 jam! he he." Lagi. Bang Haidar kembali menggodaku. Bukan hal baru bagiku karena sejak dahulu ia melakukan hal yang sama padaku. Mungkin aku hanya salah satu perempuan yang di gombalnya. Juga, aku tak pernah sama sekali merasa diistimewakan oleh abang dari teman baikku itu. Meski usiaku telah menginjak lima belas tahun tapi sampai detik ini aku sama sekali tidak pernah tertarik untuk berpacaran. Terlebih saat ini aku harus mengejar beasiswa untuk meringankan beban mama di rumah. Karena ini hari pertama bagi para siswa untuk memasuki bangku putih abu-abu maka tidak ada yang istimewa. Hanya perkenalan biasa kemungkinan akan belajar normal pekan selanjutnya. "Anulikaaaaaaa.." Suara teriakan dari lapangan sekolah. Aku tahu siapa dia. Namanya Rizan. Dari wajahnya saja sudah sangat nampak bahwa ia bukan orang Indonesia tulen. Mungkin salah satu dari orang tuanya keturunan bule. "Eh? ini Cimoy yang lo ceritain itu bukan sih?" tanya Rizan. Aku merespons dengan senyuman. Jangan-jangan aku disebut seperti tikusnya yang sudah mati, sama seperti Bang Dim. Pikirku. *** Masa orientasi tiba. Aku tidak benci, hanya tidak suka. Harus membuang-buang waktu membuat papan nama yang kugantung di leher. Aku kebagian nama hewan kecebong sedangkan Anulika macan. Saat kami sedang mencatat materi yang baru saja diberi, tiba-tiba saja salah satu dari mereka berdiri di sisi kiriku, "Gue pilih ini!" ucapnya menunjuk padaku. Mulutku membulat. Bingung. "Halah, urusan cewek aja cepet lo!" ucap temannya yang lain. "Kayaknya lo bakal disuruh nembak cowok di gugus lain deh, Moy," bisik Anulika. Harusnya aku mendengar Anulika untuk duduk di kursi belakang. Menyebalkan! "Lo udah kelar belum nulisnya?" "Belum, kak," sahutku. "Cepetan, habis itu lo ikut gue ke gugus lima ya!" titahnya padaku. Setelah menyelesaikan catatan, aku menghampiri laki-laki tadi. "Sekarang lo pegang tomat ini, terus lo kasih ke cowok namanya Fajar ada di gugus lima," ucap laki-laki itu menyodorkan buat tomat. "Haa?" Meski laki-laki ini menyebalkan, tapi beruntung dia tidak marah melihat respons yang kuberi. "Terus lo bilang sama dia kalau lo suka sama dia, gampang kan? gue anterin deh, yuk!" tambahnya lagi tersenyum riang. Bisa-bisanya dia tersenyum lebar setelah meminta ku menyatayakan perasaan pada orang asing. Namanya saja tidak pernah terdengar. "Tuh, orangnya. Good luck gurl!" Aku menarik napas gugup. "Hmm, permisi kak. Kak Fajar ya?" "Iya gue Fajar, ada apa?" ucapnya tanpa melirik. "Hmm, anu kak. Ini ada tomat." "Gue juga tahu itu namanya tomat!" ketusnya. "Oh, lo mau nembak gue juga? Enggak usah repot-repot. Gue neggak doyan cewek kayak lo!" hardiknya lagi. "Oh, sukanya sama cowok? Ini bukan dari aku kok Kak, ini dari kakak osis yang di depan tadi. Permisi," ucapku menyodorkan tomat dilengannya. Sementara para siswa yang menyaksikan tertawa puas. Pikirnya aku ini perempuan seperti apa? menghardik seenaknya saja. Mama saja tidak pernah seperti itu padaku. Dasar sok tampan! *** Tujuh hari berlalu begitu saja. Ini adalah hari di mana pelajaran pertama akan dimulai. Mentari pagi menyapaku dengan semangat empat limanya. Di sekolah, aku tidak terlalu bersosialisasi. Aku tidak cuek atau jutek. Hanya malas tertalu berbaur. Aku tidak bersekolah di SMA yang elit atau sekolah internasional seperti SMP dulu. Meski begitu, di sini aku bahagia. Ditambah lagi aku satu kelas dengan Anulika. Sementara Bang Haidar dan Bang Dim adalah kakak kelas kami. Mereka satu tahun lebih dulu menuntut ilmu di sini. "Lo diem mulu sih, Moy. Berbaur dong, elah!" kata yang tak jarang ku dengar dari Anulika saat aku lebih memilih menyendiri, untuk membaca buku yang ku pinjam dari perpustakaan sekolah. "Ya abisnya gue enggak tahu mau ngapain lagi, Nu," jawabku selalu serupa. Bukan enggan bergaul. Namun rasanya daripada berbincang hal yang tidak bermanfaat lebih baik belajar di perpustakaan. Saat di sekolah, rasanya akan lebih berguna menghabiskan waktu sendiri ke perpustakaan. "Eh, lo kemarin beneran nembak kakak kelas ya?" tanya Anu tiba-tiba. "Yas, persis kayak yang lo tebak. Mana sok ganteng banget lagi tuh si Fajar." "Kan emang ganteng si Fajar mah. Gilak! lo beruntung banget bisa ngobrol sama dia, dia jarang banget mau ngomong sama cewek tahu!" "Beruntung lo bilang? buat gue itu musibah tahu enggak!" "Buat gue aja ya?" "Karungin aja, Nu. Gue enggak demen!" "Pedes banget mulut lo ya!" "Lo yang mancing gue." Anulika terkekeh melihatku yang menggerutu kesal. *** "Anak-anak pekan depan kita praktek puisi ya temanya impian," ujar guru bahasa Indonesia pagi tadi. Aku tidak tahu apa impianku sebenarnya.Sekarang bagiku, melihat mama bahagia apalagi tertawa lepas itu sudah cukup. "Cimoy, ngapain sih lo?" tanya Rizan menghampiriku yang sedang duduk diantara anak tangga, menghubungkan jalan menuju ruang kantor guru. "Elah, yaudah deh gue pergi aja dicuekin mulu gue!" Saat baru saja Rizan melangkah aku mencekal tangan kanannya. "Apa? lo kangen sama gue?" ledek Rizan. "Duduk dulu, gue mau tanya. Apa impian lo?" "Gue pingin jadi orang yang kaya raya tajir melintir!" "Gue serius!" "Gue kurang serius apa sih, Moy? Elah!" gerutu Rizan. Sesaat hening. lalu... "Oh, ini tugas puisi tadi ya? emang impian lo apaan?" imbuh Rizan. Mataku melirik keatas berpikir harus menjawab apa. Lalu hanya gelengan dariku yang diterimanya. "Lo enggak punya impian? parah banget." "Oh! gini deh, hobi lo apa?" tanyanya lagi. "Hmmm, gue suka main make up. Kayaknya seru nggak sih kalau suatu hari nanti gue jadi seorang MUA, Make Up Artist." "Widih!" puji Rizan. "Itu namanya apa kalau bukan impian? haa?" ucap Rizan kesal melenyapkan senyum dari wajahnya. Aku hanya tertawa kecil memperlihatkan gigi kelinci pada gigi seri atas. Harus ku akui memang. Sejak SMP, aku menyukai dunia tata rias. Sepertinya akan terasa menyenangkan jika aku menjadikan hobi sebagai profesi suatu hari nanti. Namun teringat, impian itu tidak begitu penting lagi. Ada yang harus ku nomor satukan. Yaitu wanita yang berusaha bangkit dari keterpurukan demi aku dan Irfan, Bu Juli. "Kenapa sih lo diem mulu, menyendiri mulu udah kayak introvert!" ceplos Rizan. "Introvert?" gumamku pelan mengingatkan ku kejadian beberapa hari lalu. Saat menjelaskan slide demi slide pada power point. Secara gambalang dengan menambahkan sebuah informasi yang ku dapati dari laman artikel google. "Gila lo jago banget. Nggak nyangka deh. Gue bolehh ngomong kasar nggak sih?" nyerocos Anulika. Dia tidak tahu aku bukan pemalu ataupun pendiam itu semua bisa dibuktikan dengan presentasi geografi yang baru saja ku lakukan. "Kayak lo berani aja ngomong kasar," ledekku. "Berani gue!" "Coba!" tantang ku. "Kasar!" ujarnya berhasil membuatku menatap kesal. Apa iya aku introvert? Saat ingin beranjak dari dudukku menuju kelas yang tidak jauh dari anak tangga ini. Namun tiba-tiba saja ada seorang asing yang menghampiri, "Moy, lo sayang nggak sama Ibu lo?" tanyanya saat belum satu menit duduk tidak jauh dari ku. "Ya sayanglah," jawabku jutek. "Duh sama dong. Gue juga sayang." Aku hanya memutar bola mata malas. Terlalu tidak penting menanggapi laki-laki spesies dia. s**l, berani-beraninya Fajar menggombali setelah kemarin menolakku mentah-mentah. Aku beranjak pergi meninggalkannya yang masih melukis senyum pada wajahnya. Sepertinya pagi ini dia sedang salah minum obat. Hingga berani bertingkah konyol demikian padaku. Apa dia kira aku akan terkesima? dasar sok tampan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD