Kabar Buruk

1312 Words
"Di mana note book mama?" tanya mama dengan raut wajah panik. Aku heran melihat ekspresi pada wajah mama. Bukankah hanya sebuah buku berbentuk note book, kenapa harus sepanik ini? "Ada kok, Ma, tadi Cimoy letak di saku tas gendong," Mama sibuk mencari-cari note book itu. Setelah ketemu, terlihat betapa leganya mama. Dipeluknya note book hitam itu seraya memejamkan mata untuk sejenak. Dibukanya kembali matanya seraya menatapku. "Kamu baca ini enggak tadi?" tanyanya harap-harap cemas. "Enggak kok, Ma. Tadi Cimoy cuma langsung masukin dalam tas aja. Cimoy ingat kalau mama suka nulis di buku itu makanya Cimoy bawa, emangnya ada apa, Ma?" "Enggak kok, nggak ada apa-apa. Boleh nggak mama minta sesuatu sama Cimoy?" "Ada apa, ma? kalau Cimoy bisa, pasti bantu kok." "Tolong kamu jangan buka-buka isi buku ini. Apalagi sampai dibaca. Bisa kan?" "Memang ada apa dengan buku itu, Ma? sampai-sampai Cimoy nggak boleh baca?" "Ini buku Mama. Hak milik Mama yang sudah mama tulis sendiri. Siapapun enggak berhak baca kecuali dapat izin dari Mama. Dan kamu enggak Mama kasih izin. Bisa kan?" "Iya, Ma. Bisa kok," jawabku. Entah ada apa di balik sampul hitam diantara kertas demi kertas putih itu.Mungkin saja banyak tulisan mama yang telah lama ditulisnya ─tentang mantan kekasih misalnya─tetapi aku tidak diperkenankan membaca. Lagi pula sekarang mama sudah bersama papa sejak lama. Jadi ini sajakah alasan Om Luham berlari kecil ke arahku tadi? benar-benar hanya ini? Padahal aku menghampiri mama dengan perasaan panik. Kalau saja ada apa-apa dengan papa. Tapi ah, ya sudahlah. Aku akan menganggap hari ini bukan apa-apa. Agar pikiran ini juga tenang dengan tidak menambah bebannya yang perlahan mulai menumpuk. Aku memilih tidak memikirkannya lagi. *** "Kamu mau Om jemput jam berapa nanti? atau kamu mau istirahat di rumah dulu malam ini?" "Terserah Om saja bisanya jam berapa. Sore atau malam juga enggak apa-apa." "InsyaAllah malam aja ya om jemput? sekalian om juga mau istirahat sebentar di rumah. Nanti sore om ke rumah sakit sebentar. Siapa tahu ada beberapa barang yang mau dititipin mama sama kamu," jelasnya. Aku hanya mengangguk. Om Luham baru saja mengantarku pulang dengan mobil taksi. "Bentar, Om!" "Ada apa, Moy?" "Om besok enggak kerja ya?" "Om ambil cuti beberapa hari ini, kenapa memangnya?" "Kenapa cuti?" "Nyari pacar." "Emang Om udah mau pacaran?" "Apa itu pacaran?! Dahlah Moy kamu sendiri sudah tahu jawabannya. Kenapa jadi banyak tanya?" "Jadi?" "Jadi sekarang kamu makan, istirahat, beres-beres. Nanti om jemput! nggak usah bawel kayak cewek." "Cimoy kan memang cewek, Om!" Om Luham tidak lagi membalas coletehanku yang barusan. Mungkin kesal atau lelah karena tidak habis pertanyaan yang ku cecar padanya. Sebenarnya maksud dari pertanyaan tadi bukan itu. Aku hanya ingin berterima kasih padanya. Sejak siang, wajahnya lelah meski masih mampu memberi senyum padaku dan pada mama. Aku juga tahu bahwa dirinya sengaja mengambil cuti untuk mengantarku bolak-balik ke Rumah Sakit. Membeli obat untuk papa saat dokter memberi resep seperti tadi siang. Mama menjaga papa jadi tidak bisa membeli obat ke apotek. Belum lagi ditambah menjaga adikku yang masih bayi. Namaku Citra Moysent tetapi sejak kecil orang-orang biasa memanggil dengan nama Cimoy. Dari nama lengkap juga sudah nampak nama itu diambil dari nama panjangku. Bukan mama atau papa yang memberi sebutan itu. Melainkan Om Luham. Dia bisa disebut satu-satunya anggota keluarga yang kumiliki selain mama, papa dan Irfan. Juga adik papa satu-satunya. Kakek dan nenek dari papa sudah meninggal cukup lama. Kata mama, nenek meninggal karena kanker darah. Sementara kakek menyusul tiga tahun kemudian karena komplikasi. Papa didiagnosis kanker darah lima tahun yang lalu. Teringat bagaimana hancurnya hati mama dan papa saat itu. Diam-diam aku mengintip dari balik kamar. Meski kondisinya tidak begitu parah. Dua tahun kemudian papa memutuskan untuk mengundurkan diri dari kantor. Papa mulai sering merasa lelah, badannya mulai turun berat badan dengan drastis. Di tahun yang sama mulai melakukan kemoterapi sesuai anjuran dokter. Kemoterapi itu membuat rambutnya rontok hingga membotak. Bagaimanapun papa tetap saja tampan. Setahun belakangan kondisi papa semakin parah. Kulitnya sering memunculkan bintik-bintik merah. Bahkan tidak jarang papa juga mengeluarkan darah dari hidung. Meski masih berpura-pura bahwa dirinya baik-baik saja dihadapan kami. Papa tidak boleh setress karena hal itu hanya akan memperparah kondisinya. "Pak Qawi mengidap kanker darah, Bu. Tidak hanya karena keturunan melainkan juga karena kebiasaan merokoknya yang semakin memperparah kondisi pasien," jelas dokter saat itu. Kata mama, papa perokok aktif semenjak kuliah semester tujuh. *** Om Luham menjemputku ke Rumah sakit pukul enam sore. "Kok cepat, Om? Enggak jadi malam?" "Sekarang aja, Moy. Sebentar lagi bakalan malam. Biar nggak terlalu macet di jalan. Kan kamu tahu kehidupan di Jakarta itu seperti apa." "Cimoy ganti baju dulu ya, baju dan perlengkapan buat mama sama papa sudah Cimoy siapkan dari tadi. Tuh di tas dekat tv," jelasku sambil bergegas menuju kamar. Kali ini Om Luham membawa motor maticnya. Berwarna silver. Yamaha N-max. Aku tidak mengerti banyak tentang motor. Om Luham yang menjelaskan sendiri tanpa diminta. Melihat Om Luham membuatnya terlihat benar-benar seperti laki-laki tampan idola para gadis masa kini. Dibonceng olehnya membuatku gemetaran. Om Luham menyalip setiap kendaraan dihadapannya. Hingga aku memegang jaket kulit hitam miliknya sangat erat. Jangankan protes merubah ekspresi saja sudah tidak ada ruang rasanya. Kalau begini lebih baik taksi saja meski aku pasti mual-mual oleh aromanya. Dahulu aku cukup sering menaiki mobil papa. Dan tidak mabuk. Karena sudah terbiasa. Awalnya memang memabukkan. Untung saja tidak sampai membuat trauma. "Papa dipindahin ke ruang ICU," ucap Om Luham saat kami berjalan menelusuri koridor Rumah sakit. Apa ini yang menyebabkan dirinya terlihat buru-buru sedari tadi? aku bahkan hampir tidak sadar. Dia menutupi rasa cemas itu. Aku berlari sekuat tenaga setelah mendapat berita buruk itu. Meninggalkan Om Luham. Rambut cokelat ikut terhempas ke belakang karena lariku yang begitu kencang. Di sana, mama yang tengah menggedong Irfan, sama pucat dan kusutnya. Nampak derai air mata di pipinya yang tidak bisa lagi dia bendung. Aku bisa melihat dengan jelas semua itu dibalik tembok rumah sakit. Kuseka air mata sebelum menemuinya. Mencoba tegar didepan perempuan yang telah melahirkanku ke dunia. Tujuanku hanya satu, membuat mama tegar dan kuat, meski dia tengah rapuh dan hancur saat ini. "Moy, papa ..." ucap mama lirih. Mama menggenggam kuat lengan kananku. Seperti sedang meminta agar aku menguatkan dirinya. Seperti sedang memberi isyarat bebanku bertambah dipundak. "Iya, Ma. Cimoy sudah tahu. Sekarang, lebih baik kita berdoa untuk kesembuhan papa. Mama harus tenang. Kita serahkan semua pada dokter, dan menunggu keajaiban Tuhan," jawabku pada mama. "Sini, biar Cimoy yang gendong Irfan. Sebaiknya, mama duduk dulu untuk menenangkan diri," kataku lagi. Kaki ini baru saja ingin melangkah keluar untuk membawa Irfan mencari udara segar. Ketika seorang laki-laki berpakaian putih dengan kacamata bertengger di hidungnya nampak berbicara pada mama. Tidak berapa lama kemudian, kulihat mama bergegas memasuki ruang ICU di mana papa tengah berjuang melawan rasa sakitnya. Akan tetapi, dalam hati aku telah mempunyai firasat, semua tidak dalam keadaan baik-baik saja. "Papa. Sudah tiada, Moy. Dia meninggalkan kita," tangis mama setelah keluar dari ruang ICU. Tidak ada sepatah kata pun terucap. Aku terdiam dan menahan rasa sesak dalam d**a yang terasa semakin sakit. Cinta pertamaku telah pergi untuk selamanya. Meninggalkan kami yang masih belum bisa menerima kepergiaannya. Kanker darah membuat laki-laki terbaik dalam hidupku menyerah. Seperti halnya almarhumah nenek yang sudah terlebih dahulu pergi untuk selama-lamanya. Mama adalah yatim piatu. Selama ini, papa-lah yang menjaganya. Selain papa, ada Om Luham─adik papa yang merupakan pamanku. Pernah satu hari aku bertanya tentang keluarga mama yang lain. Namun, hanya kebisuan yang kudapat. Aku yakin, ada yang mama sembunyikan dariku tentang keberadaan keluarganya yang lain. Suatu saat, aku berharap, mama mau menceritakan hal itu. "Moy? Kamu enggak apa-apa?" tanya Om Luham menghampiriku dan Irfan. Aku tidak tahan, sungguh tidak kuat menahan bendungan air dari mata ini. Ku tundukan kepala lalu ia mengalir deras. Padahal, aku ingin tersenyum menjawab pertanyaannya berpura-pura untuk tidak perlu khawatir terhadapku. Dia menatapku dengan penuh iba.Meratapi betapa malang nasib gadis yang masih berusia 15 tahun yang sedang menggendong adiknya saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD