Bab 5: Sebuah Tuntutan

1039 Words
*** Raihan meneruskan sarapannya. Dilahapnya roti gulung yang ada di atas piring. Lelaki itu tidak melihat ke arah istrinya selama beberapa menit karena tidak ingin mengoceh. Setiap kali memandangi Adriana, pria itu selalu ingin berkomentar. Rasanya tidak membosankan jika melihat istrinya tanpa berdebat dengan wanita itu. Pandangan Raihan tertuju ke arah luar rumah mereka. Bangunan yang menjadi tempat mereka berdua tinggal setelah menikah. Walaupun tidak saling menyukai, Raihan percaya bahwa seorang suami harus bertanggung jawab pada istrinya, terlepas ia mencintai istrinya atau tidak. Pohon di sekitaran rumah mereka tumbuh subur. Dinding yang terbuat dari kaca membuat pemandangan menjadi penghalang. Namun, itu tidak masalah. Mata Raihan terasa sejuk saat menatap ke arah luar. Inilah rumah impiannya. Sayang sekali, ia tidak menikahi perempuan idamannya. Malah terjebak menikahi gadis muda materialis dan labil. Pria itu mengecek jam di tangannya sesaat setelah puas menatap ke arah luar rumah. Dia harus datang ke kantor lebih pagi. Berkas yang dihamburkan Adriana waktu itu butuh perhatian. Raihan harus mempelajari berkas itu sebelum mengadakan meeting siang harinya. Terlalu banyak yang ia pikirkan sampai lupa beberapa tanggung jawabnya sebagai pemimpin perusahaan.  "Awak tatap apa tu? Tatap wajah hensem saya ni 'kan?" Raihan tersadar akan sesuatu. Suara Raihan memecah keheningan di antara mereka. Sedari tadi, ternyata Adriana memandanginya. Saat Raihan memergoki wanita itu. Adriana terlihat membuang muka. Sudah ketahuan masih saja menghindar. Wanita itu pandai berakting. Dia semestinya jadi aktris saja. "Saya ni paham betul. Punya wajah hensem macam ni, semua gadis akan terpikat. Apalagi yang seperti modelan seperti awak tu." Raihan cekikikan. Dia senang membuat Adriana jengkel. Lihat saja, Adriana langsung memutar bola matanya. Reaksi yang ditunggu-tunggu oleh Raihan dari tadi. "Stop! Berhenti ketawa. Jangan Ge-er ya. Aku dari tadi lihat pohon bukan kamu. Meskipun aku gila, aku tidak akan terpesona padamu." Bukannya berhenti menggoda istrinya, Raihan malah semakin menambah intonasi tawa-nya. Adriana benar-benar menggila dibuatnya. Lelaki itu sepertinya masih dendam karena Adriana mengganggu rapat yang diadakan Raihan waktu itu. Biarkan saja, Adriana kesal. Ini balasan dari perbuatan wanita itu tempo hari. "Aku tuh sebenarnya kesel dengar kamu pakai bahasa aneh itu. Enggak capek apa? Lidah kamu enggak pegel apa?" Adriana memulai perkataannya. Sebetulnya Adriana sudah terbiasa. Hanya ingin membuat suaminya ikut jengkel. "Saya pun dah lelah dengar awak bicara. Bukan awak saja." Raihan melanjutkan menyantap rotinya sampai habis. Adriana tidak bicara lagi. Dia fokus makan. "Ngomong-ngomong, Saya hensem ke, tak? Tadi awak terpesona 'kan? Jangan bohong lah. Saya ni tahu perasaan wanita. Saya ni pernah join class psikologi waktu di KL." Raihan mengerling kepada istrinya. Lagi-lagi Adriana menghindari tatapan itu. Meskipun tak bisa ia pungkiri kalau Raihan memang cukup mempesona. Jika ada produser film yang melihat Raihan. Bisa-bisa lelaki itu akan menjadi aktor terkenal seperti Miller Khan. Beruntung Raihan sibuk bekerja, dan tidak bertemu produser ataupun sutradara film. "Jangan sok tahu kamu. Dan juga, muka kamu biasa saja. Mirip tukang ojol pinggir jalan. Mirip penjual gorengan!" Adriana membalas ketus. Tadinya ia kasihan menyaksikan tangan Raihan yang sakit. Akan tetapi lama kelamaan Raihan hanya akan membuat dirinya emosi. Ibaratnya Raihan adalah makanan berlemak, musuh penderita kolesterol. Jika diladeni bisa makin menggerogoti tubuh. Raihan adalah penyakit, selalu mencari perhatian Adriana. Hanya satu yang perlu Adriana lakukan, yaitu menghindari pria itu agar tidak terinfeksi. "Ojol tu tak selamanya jelek. Banyak ojol kat my office punya wajah hensem macam pemeran FTV tu. Siape namanya. Saya dah lupa. Arya... Aryan ke?" Raihan kelihatan memikirkan nama aktor yang sedang dibicarakan karyawan wanita di kantornya. "Arya Saloka?" "Ya. Itulah. Aryan Sialokan." "Arya Saloka kali. Bukan selokan." Adriana memperbaiki. Untuk kesekian kali, Raihan menunjukkan tawa. Dia terlihat sangat senang apabila istrinya memasang wajah cemberut. Apalagi kalau Adriana mengomel seperti guru SMP yang mendapatkan murid nakal. "Jangan marah terus! Kata orang nanti cepat tua lah." Raihan pamit diiringi logat Indonesia yang dibuat-buat. Adriana semakin jengkel dengan perkataan sindiran suaminya. Apalagi Raihan sempat mencolek pipinya. Saat Raihan sudah lenyap di depan mata, Adriana kembali merenung. Teringat saat Raihan menggodanya soal betapa tampan pria itu. Sebenarnya jika terus diingat, itu akan menjadi momen menyenangkan dalam hidup Adriana. Sikap menyebalkan Raihan pada hakikatnya akan membuat Adriana merindukan semua itu suatu hari. Kalau bukan Adriana yang usil, maka Raihan yang akan usil. Mereka seperti Tom dan Jerry. Saling perhatian, tetapi tak ada yang mau mengakui perasaan mereka. Mereka tidak akan menjalin hubungan serius. Ada kontrak yang harus mereka penuhi. Adriana dan Raihan sepakat untuk mencari pasangan di luar hubungan rumah tangga mereka. Adriana masih termenung ketika ponselnya berdering. Seperti biasa, di momen tertentu orang tua Adriana akan menelepon. Sekadar ingin tahu perkembangan perjodohan antara Adriana dan Raihan. Benar, ibunda Adriana menghubungi wanita itu. "Kapan kamu akan memberikan mama dan papa cucu, Adriana!" Adriana belum sempat bicara, dan ibunya sudah menodong dengan pertanyaan yang membuat mental pengantin baru bermasalah. Mengapa keluarga dan kerabat mendesaknya memiliki cucu? Padahal Adriana belum mempunyai rencana ke sana. Pernikahan yang ia lakukan pun hanyalah pernikahan pura-pura. Ada hitam di atas putih dalam di antara keduanya. Cinta mereka hanyalah di atas kertas. Sebuah cinta semu yang didambakan. "Assalamu Alaikum dulu. Mama ini Islam apa bukan sih?" Adriana tanpa sadar mengingat saat Raihan menegurnya. Kenapa kata-katanya bisa sama persis? Adriana bergidik ngeri. Bisa-bisanya ia menerjemahkan kata-kata Raihan waktu itu. "Wa Alaikum salam. Jadi lupa ucapakan salam." Mama Adriana terdengar cekikikan. "Bagaimana? Kapan kamu dan Raihan kasih cucu ke mama. Anak tetangga sebelah nikahnya dua minggu lalu udah hamil aja loh." "Itu kan anak tetangga. Kenapa sih mama maksa punya cucu? Punya cucu tuh enggak enak, Ma. Takutnya nyusahin mama." Entah alasan seperti apa yang harus Adriana berikan. Sudah berbulan-bulan, ia dan Raihan menikah. Namun, tak kunjung memperoleh momongan. Semua itu karena mereka tidak pernah melakukan itu. Keduanya saling menjaga diri. Meskipun kadang-kadang Raihan menunjukkan wujudnya sebagai lelaki normal. Entah kekuatan dari mana lelaki itu bisa menahan keinginan berhubungan suami istri. "Siapa bilang? Mama bahkan enggak masalah kok kalau direpotin cucu. Rumah sepi tahu, Ana. Kamu cepetan ya programkan anak. Ya, ya, Ana." Suara ibunya terdengar memohon. Adriana hanya mampu menghela napas. Dia bingung bagaimana memberitahu ibunya bahwa dirinya dan Raihan hanya pura-pura bahagia. Mereka tidak satu hati. Ketika mereka berdua, mereka hanya berdebat. "Terserah, Mama. Intinya aku belum siap punya anak. Titik!" Adriana berusaha menghindari tuntutan ibunya dengan cara beralasan sedang melakukan sesuatu. Dia pun mematikan panggilan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD