***
Pekerjaan di kantor tidak berjalan sesuai rencana Raihan. Banyak hal tertunda. Bahkan, jadwal meeting dengan perusahaan lain berantakan. Belum lagi, jadwal meeting di perusahaannya sendiri. Beberapa klien mengeluh karena kinerja perusahaan tidak tanggap menghadapi masalah.
Semua kekacauan itu bermula dari sekretaris pribadi Raihan secara dadakan meminta izin berhenti. Alasannya karena wanita itu hamil. Raihan benar-benar ingin marah. Akan tetapi, ia tidak bisa meluapkan kemarahan itu.
Setiap perempuan menginginkan kehidupan rumah tangga mereka bahagia. Raihan tidak bisa menyalahkan bawahannya memprogramkan anak.
"Tak bisa kerja part-time ke? Nanti Saya upayakan kerjaan awak separoh waktu aja. Jadi awak tak perlu risau pikirkan bayi awak tu."
Raihan tidak bisa melakukan pekerjaan tanpa sekretarisnya. Dia berusaha bernegosiasi. Siapa yang akan mengatur jadwal kerjanya? Raihan benar-benar frustrasi dengan keadaan.
"Tidak bisa, Pak. Kehamilan saya ini berbeda dari bumil pada umumnya. Kata dokter saya tidak boleh kelelahan. Suami saya sudah setuju dengan keputusan saya."
Wanita itu menunduk karena merasa bersalah. Apalagi ia berhenti saat Raihan benar-benar berada di tengah-tengah kesibukan berbisnis. Inilah puncak dari segala urusan bisnis Raihan.
"Tapi, Ayuma."
Raihan ingin mengoceh banyak hal. Namun, melihat tatapan sedih sekretarisnya yang bernama Ayuma membuat hatinya luluh. Raihan menarik secarik kertas yang akan ditandatangani.
"Yelah. Saya terima resign awak ni. Saya sign kat mana?"
Ayuma menunjuk tempat di mana Raihan akan tanda tangan. Setelah selesai tanda tangan Raihan meminta wanita itu ke bagian finance untuk dicairkan gaji terakhirnya. Sebelum Ayuma pergi, ia berdeham dan memberikan solusi.
"Tenang, Pak. Saya akan kasih rekomendasi karyawan yang bisa mengganti posisi saya. Dia juga mantan sekretaris di BUMN. Jadi, bapak tidak akan repot mencari karyawan baru."
Setelah Ayuma memberitahu soal rekomendasi karyawan, Raihan menampilkan wajah yang gembira. Paling tidak, Ayuma masih mau bertanggung jawab mencarikan sekretaris baru untuknya.
"Jom. Itu ide yang bagus. Thanks ya Ayuma."
"Sama-sama, Pak."
***
Tanpa Ayuma, Raihan mengecek sendiri jadwalnya. Kemudian bertemu klien di sebuah restoran. Perusahaan kakeknya yang bergerak di bidang properti sangat menjanjikan. Purnama Razif Corporation merupakan perusahaan yang memiliki cabang utama di Malaysia. Kini, perusahaan itu melebarkan sayap ke Indonesia.
Perusahaan itu semakin sukses setelah Raihan menikahi Adriana. Orang tua Adriana membeli setengah saham Purnama Razif Corporation. Pernikahan itu akan menguatkan Raihan di perusahaan milik kakeknya.
Raihan melakukan pertemuan sekitar satu jam di sebuah restoran mewah. Saat ia ingin meninggalkan restoran, matanya menyaksikan istrinya sedang duduk di meja yang tak jauh darinya. Adriana sedang bersama sahabatnya. Raihan mengenal wanita itu. Namanya Alessandra. Mereka selalu bersama setiap harinya. Kesamaan mereka adalah senang berbelanja.
"Adriana!" panggil Raihan.
Adriana mendongak. Ada tatapan gugup saat melihat suaminya. Raihan melangkah mendekati istrinya. Sementara Alessandra terus memperhatikan gerak-gerik pasangan suami istri itu.
"Awak tak cakap jika nak mampir kat resto ni. Ada sahabat awak pun. Habis belanja lagi ke?"
Saat Raihan bertanya, Adriana bangkit berdiri. Dia mencium pipi kiri dan kanan suaminya sebagai formalitas.
"Tadi habis belanja pakaian, Mas. Tidak banyak, hanya dua helai. Kamu enggak makan lagi kah, Sayang."
Raihan sampai membuka mulut mendengarkan kata "Sayang" yang terikat di bibir istrinya. Kata itu terlalu sensitif untuk dikatakan oleh pasangan yang menikah kontrak seperti mereka. Sesekali Raihan melirik Alessandra yang cekikikan.
"Tampaknya saya balik lebih dulu, Sayang."
Suara Raihan tertahan saat membalas kata "Sayang" itu. Terasa menggelikan memanggil wanita dengan panggilan mesra, saat fakta membuktikan kalau mereka berdua selalu bertengkar setiap hari.
"Tahulah, saya ada kerja. Meeting jam tiga sore."
Raihan mulai tidak nyaman ketika tangan Adriana menggenggam tangannya. Pria itu sampai memberikan kode pertanyaan. Dia merasa terlalu berlebihan bermesraan di hadapan Alessandra. Adriana adalah wanita cantik. Ketika tubuh mereka semakin dekat, Raihan merasakan ada sesuatu yang bergetar di sekitar jantungnya, seakan ada bom yang akan meledak di sana.
"Enggak usah sungkan. Anggap aja aku anti nyamuk," seru Alessandra yang menyadari pandangan Raihan.
"Emang kamu anti nyamuk 'kan."
Adriana tertawa melihat sahabatnya memutar bola mata.
"Kak Raihan tinggal aja sebentar. Aku pengin ngobrol beberapa hal sama Kak Raihan."
Alessandra masih mengidamkan lelaki Malaysia. Pesona pria Melayu di matanya sangat luar biasa. Lihat saja, Raihan Adipurnama Razif memiliki perawakan yang diidolakan banyak gadis. Tubuh tinggi, wajah halus, badan berisi bak atlit, belum lagi memiliki banyak harta.
"Mau obrolkan perkara apa ni?"
Raihan duduk di kursi samping istrinya. Sementara tangan Adriana tetap posesif memegang tangannya. Raihan menegur wanita itu sampai pegangan tangan mereka terlepas.
"Kalau Kak Raihan punya teman berdarah Malaysia yang kebetulan jomblo. Jangan lupa kenalin ke Alessandra ya."
Pesanan Adriana dan Alessandra sudah tiba. Keduanya siap menyantap makanan mereka sembari menunggu reaksi Raihan soal saran lelaki Malaysia.
"Nanti saya carikan. Teman kuliah di KL tampaknya ada yang single."
Raihan jarang ke Kuala Lumpur. Akan tetapi terakhir kali bertemu teman-temannya dalam acara reuni. Ternyata masih ada yang jomblo. Raihan tidak berniat menjadi Mak comblang, namun jika memang diperlukan maka ia akan lakukan. Bagaimana pun juga ia perlu menghargai sahabat istrinya.
"Lelaki Malaysia tu memang hensem-hensem kan? Macam aku ni!"
"Astagfirullah narsis banget!"
Tanpa sadar Adriana berceloteh. Dia sampai menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Memang bener kok, Ana. Pria Malaysia tuh cakep-cakep. Sama kayak Kak Raihan."
Raihan dan Alessandra saling melakukan tos. Mereka seperti satu tim sukses untuk membuat Adriana kesal.
"Hei. Raihan itu milik aku!" tegas Adriana. Sebuah ketegasan berkedok akting.
Adriana menggandeng tangan suaminya. Setelah itu, ia menyuapi sushi pesanannya. Adriana memang suka makanan berbau Asia Timur. Menurutnya makanan Asia memiliki cita rasa yang unik. Raihan menyambut suapan istrinya. Dia mengikuti alur kepura-puraan yang mereka lakukan.
"Iya, iya. Raihan memang milik kamu. Apa harus diperjelas?"
Adriana melepas genggaman tangannya pada Raihan. Ada banyak hal yang tidak bisa ia jelaskan. Kepura-puraan yang ia lakukan seperti candu. Apakah kebohongan seindah ini?
"Kami ini pasangan bahagia," kata Adriana.
Wanita itu melahap sushi miliknya dengan gerakan cepat. Tak peduli Raihan menatapnya dengan tatapan aneh.
"Setahuku, pasangan bahagia tidak akan mengatakan mereka pasangan bahagia."
Raihan tersendat, Adriana juga tersendat. Minuman yang diteguk Raihan hampir dimuntahkan. Sementara makanan Adriana tersangkut di leher.
"Kalian berdua kenapa?" tanya Alessandra bingung.
Dua orang itu kompak hampir memuntahkan makanan mereka. Tentu itu menjadi pertanyaan besar bagi Alessandra. "Atau jangan-jangan kalian enggak bahagia?"
"Kami bahagia!" jawab Adriana dan Raihan bersamaan. Mereka saling pandang karena tidak menyangka kata-kata yang mereka lontarkan akan sama persis. Mereka seperti satu lidah dalam dua tubuh.
"Sepertinya kalian memang bahagia. Hanya saja. Aku melihat ada yang kurang." Alessandra sengaja memotong perkataannya.
"Apa?"
Alessandra membuka ponselnya. Dia menunjukkan video bayi perempuan mungil yang berusaha bicara.
"Kalian berdua membutuhkan anak dalam rumah tangga kalian."
Alessandra memberikan jawaban yang sukses membuat Raihan dan Adriana bungkam. Mereka tak akan memprogramkan anak karena mereka tidak menikah sungguh-sungguh. Mereka hanya terikat kontrak demi harta warisan.