Bab 7: Berkunjung ke rumah orang tua

1041 Words
*** "Sekretaris kamu resign ya, Mas?" Adriana bertanya pada Raihan saat mereka melakukan perjalanan menuju rumah orang tua Adriana. Tanpa sengaja wanita itu mendengar obrolan Raihan di telepon genggam miliknya. "Kenapa? Awak tanya soalan tu? Why? Nak carikan saya sekretaris baru ke?" Mata Raihan tetap fokus menatap jalanan di depannya. Mengemudikan BMW selalu menyenangkan apalagi jika tidak sedang macet. Raihan ingin cepat-cepat sampai ke rumah mertuanya. Biasanya kalau mertuanya menelepon berarti ada sesuatu yang harus mereka lakukan. Raihan mendapat telepon agar mampir ke rumah mertuanya. "Ya. Kamu jadikan aku sekertaris saja, Mas." Wajah Adriana girang. Banyak sekali rencana terngiang di kepalanya. Benar-benar istri yang licik. "No. Saya tak harapkan sekretaris mata duit macam awak tu. Sekretaris pandai tu sepertinya cuma Ayuma sahaja. Diorang rapi punya kerja." Ayuma tidak pernah mengecewakan. Hanya saja, ia harus berhenti bekerja demi kebahagiaan keluarganya. Dia merelakan karirnya hanya untuk membahagiakan suaminya. "Kalau Ayuma sepandai itu. Kenapa tak kau nikahi saja perempuan itu?" ketus Adriana. Dia melipat tangan di bagian depan tubuhnya sambil memandang ke arah luar jendela mobil. Mengapa Raihan tidak bisa percaya padanya? "Ayuma tu dah punya suami. Tak baik awak suruh saya nikah dengan dia tu." Raihan mengambil napas lalu melanjutkan, "lagipun Ayuma tuh sedang hamil. Diorang cinta sangat dengan suami dia tu. Sampai pilih resign. Sangat berbeza dengan awak." "Memang dia berbeda dengan aku. Aku ini cantik, dan berasal dari keluarga kaya. Sedangkan Ayuma? Dia siapa? Dia hanya mantan sekretaris dari kampung." "Awak ni marah kenapa ke? Sedang dalam masa mens ke, tak?" Adriana tidak menggubris. Sekali lagi Raihan hanya bisa geleng kepala. Pria itu menyalakan radio. Lagu Olivia Rodriguez yang berjudul Deja Vu menggema di dalam mobil. Nyanyian itu cukup meredakan ketengangan antara dirinya dan Adriana. "By the way, Awak takde niat punya baby ke? Macam yang Alessandra cakap tu. Saya rasa kitorang mesti punya baby." Raihan membahas topik baru. Sudah tahu dia dan Adriana suka bertengkar setiap hari. Dia malah nekat membahas hal sensitif seperti itu. Memiliki anak adalah pembahasan paling akhir dalam kehidupan Adriana. Adriana menyambut perkataan suaminya dengan tatapan tajam. "Kamu sudah lupa dengan kontrak baru kita? Kita berdua akan mencari pasangan masing-masing kemudian bercerai." Raihan hanya menautkan alisnya. Bagaimana pun juga Raihan lah yang mengusulkan surat perjanjian itu. Pria itu merasa bahwa hubungan dirinya dengan Adriana tak akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu, ia berinisiatif agar keduanya mencari pasangan masing-masing. Memang Raihan belum menemukan calonnya. Namun, ia yakin akan menemukan pasangan selain Adriana sesegera mungkin. "Ngomong-ngomong, aku juga enggak mau rugi. Memiliki anak selalu merugikan pihak wanita. Laki-laki hanya menikmati hasil kerja keras wanita. Perempuan tidak akan setara dengan laki-laki. Karena derajat wanita lebih tinggi." Raihan tidak mempunyai topik untuk menyanggah kalimat istrinya. Pria itu tidak bisa banyak bicara ketika berhadapan dengan gadis feminis seperti Adriana. Walaupun tergila-gila akan harta, ternyata Adriana juga seorang pemikir feminis. "Yelah. Perempuan memang derajatnya lebih tinggi." "Bagus kalau kamu sadar." BMW milik Raihan melaju semakin kencang. Setelah melewati dua lampu merah, akhirnya mereka bisa sampai ke rumah orang tua Adriana. Raihan sudah menganggap mereka orang tua sendiri sehingga tak ada kegugupan sama sekali ketika bertemu mereka. "Akhirnya menantu mama yang ganteng mampir lagi." Atikah, mama Adriana menyambut menantunya dengan hangat. Dia memberikan pelukan selamat datang. Begitu pun dengan ayah Adriana, Herman. Mereka tampak begitu menyayangi Raihan. Keadaan itu membuat Adriana merasa iri hati. Kasih sayang orang tuanya pada Raihan terlalu besar padahal Raihan hanyalah suami pura-pura. "Tentu. Saya dan Adriana pastilah sering berkunjung. Biar mama dan papa pun tambah hepi." Ucapan menantunya membuat Atikah cengingiran. Dia menuntun menantunya masuk ke ruang makan. Kebetulan hari sudah malam. Kali ini mereka akan makan malam bersama. "Urusan kantor bagaimana, Ray? Apakah segalanya berjalan lancar?" Ayah mertua Raihan ikut menyapa. "Office, okey je. Ada sikit problem but semua dah dikerja. Papa tak usah cemaskan perkara kantor tu. Alhamdulillah masih bisa saya handle," jelas Raihan dengan gaya meyakinkan. "Baguslah. Kamu memang menantu favorit, Raihan. Kamu pekerja keras. Jagain anak om sampai akhir ya." Raihan melirik Adriana. Dia tidak yakin akan menjaga wanita itu sampai akhir sebab mereka sendiri belum akur dengan baik. Mereka tidak seromantis pasangan di dalam film. Raihan dan Adriana hanyalah dua orang yang sedang mencari definisi dari sebuah kata cinta. Memang, usia tidak menentukan seberapa paham seseorang akan hakikat dari percintaan. "Baiklah, Pa. Insya Allah akan saya jaga anak papa sampai Adriana meminta sendiri untuk berhenti dijagakan." Ini seperti janji. Namun, Raihan tetap memberikan keputusan pada istrinya. Jika Adriana yang melarang Raihan menjaganya maka yang perlu Raihan lakukan hanyalah berhenti melakukan itu. "Adriana tidak akan melarang kamu menjaganya. Dia tidak akan meminta kamu berhenti melakukan itu. Jelas Adriana sangat membutuhkan kamu, Ray." Herman memandangi putrinya yang menunjukkan wajah masam. Wanita itu benar-benar tidak mampu menyembunyikan perasaannya. "Betulkan, Adriana?" "Maaf, Pa. Aku mungkin tidak akan selalu mendukung keputusan Mas Raihan. Jika menurutku salah maka akan kutegur dirinya. Aku tidak bisa menebak seperti apa kehidupan kami di masa depan." Atikah menyela, "Apa-apaan kamu, Adriana. Ih, kok ngomongnya gitu. Nada bicara kamu itu menunjukkan kamu sedang tidak mempercayai suamimu. Jangan begitu ih. Dosa durhaka sama suami itu dosanya besar loh, Ana." "Mama apaan sih. Kok belain Mas Raihan melulu. Yang merupakan anak mama itu aku bukan Raihan." Adriana menyantap hidangan di depannya dengan raut muka dingin. Suasana ruang makan sedikit gaduh. Raihan berusaha memikirkan supaya suasana di ruang makan ini lebih sejahtera. Oleh karena itu, Raihan menyuarakan pendapatnya. "Tak baik dzu'uzon dengan orang tua, Ana. Kau boleh durhaka kepada saya jika mau. Tapi jangan durhaka kat mama dan papa ni. Tugas saya hari ini cuka membimbing awak." Nasihat Raihan membuat Adriana tak berkutik. Wanita itu mendadak lebih pendiam. Makan pun sangat sedikit. Raihan hanya berharap, setelah makan malam ini mereka bisa berbicara serius. "Papa dan mama ni selalu buat saya tersanjung. Baru datang, langsung dihidangkan makanan sedap. Makasih ya. Maaf dah repotkan." Raihan memulai obrolan baru. Tak baik jika mereka terus menerus berada dalam suasana ketegangan. "Jangan minta maaf, Nak. Enggak baik meminta maaf atas rezeki yang menghampiri," tegur Atikah. "Lagipula hidangan ini untuk membuat menantu kesayangan mama rajin mertuanya." Atikah sama.sekali tidak menyadari wajah putrinya sedari tadi cemberut layaknya anak SD yang belum mendapatkan es krim. "Tanpa dijamu pun, aku akan selalu mampir ke rumah papa dan mama." Mereka kembali melanjutkan makan dalam suasana sunyi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD