Perasaan istimewa?

1435 Words
"Sayang, sibuk banget sih?" tanya Laura, wanita itu berdiri sambil menyandarkan lengannya pada kusen pintu sebuah kamar, di dalam kamar itu Bella sedang sibuk memasang seprai di atas ranjang berukuran besar. Seprai itu berwarna biru laut, senada dengan bed cover yang juga akan di pasang. "Iya Mom, kan besok Kak Abraar dateng jadi kamar ini harus bersih dan rapi, masa ada tamu tapi kamar ini berantakan kan nggak enak," jawab Bella ringan, Laura tersenyum lalu berjalan mendekat pada sang putri yang sudah selesai dengan seprainya. "Kan kamu bisa minta tolong Mbak buat beresin kamar ini," kata Laura yang lalu berdiri di sebelah sang putri yang sudah memiliki tinggi tubuh melebihi tinggi tubuhnya. "Em ... iya juga sih, Mom, tapi nggak apa apa, deh, daripada aku nggak ada kegiatan juga," jawab Bella gadis itu tertawa kikuk, sebenernya bingung juga kenapa dia jadi begitu rajin ingin mengerjakan semuanya sendiri. "Ya udah kalau gitu setelah selesai beresin kamar ini, kamu siramin tanaman tuh daripada nggak ada kegiatan lagi," kata Laura, wanita itu mengulum senyumnya menatap ekspresi protes sang putri. "Mommy, nggak mau ah!" jawab Bella dengan gaya seorang yang sedang merajuk, Laura tertawa lalu duduk di tepi ranjang yang belum selesai Bella tata, baru seprai saja yang gadis itu pasang. "Emangnya. seistimewa itu ya Abraar buat kamu?" tanya Laura serius, Bella langsung menatap sang ibu aneh, kening mulusnya sedikit mengerut dengan mata jernih yang menyiratkan sebuah tanya. "Maksud Mommy apa? Emang Kak Abraar enggak istimewa buat Mommy, Daddy atau Langit?" tanya Bella sambil menatap sang ibu. Laura tersenyum lebar lalu meraih tangan sang putri yang sedang memegangi sarung bantal yang akan di pasangnya dan meminta gadis itu untuk duduk di sebelahnya. "Dia istimewa karena dia anak sahabat baik Mommy, saudari Mommy tapi ... emang dia nggak punya tempat yang lebih istimewa di hati kamu?" tanya Laura, Bella malah mengatupkan bibirnya sambil mengerjapkan kedua matanya seperti sedang memikirkan sesuatu. "Banyak orang yang bilang kalau seorang cewek dan cowok nggak mungkin bisa murni bersahabat," kata Bella, Laura mengangguk kepala karena dia juga sering mendengar ucapan itu. "Tapi ... rasanya aku sama Kak Abraar murni bersahabat," sambung Bella ringan. "Kamu yakin?" tanya Laura sambil menatap sang putri penuh selidik. "Iya, dari dulu aku tuh udah sayang sama Kak Abraar dan dari dulu ya sayangnya kayak gini nggak pernah berubah. sama kayak aku sayang sama Langit, Mom, enggak pernah berubah," jawab Bella yang begitu yakin dengan perasaannya. "Em ... Abraar udah punya pacar?" tanya Laura, Bella langsung menggelengkan kepalanya. "Kalau gitu, mumpung Abraar nanti tinggal di sini lama kamu cariin dia pacar, ya," kata Laura yang ingin mencari tahu tentang perasaan sang putri yang sebenarnya pada pemuda itu. "Cariin pacar, siapa? Lagian Kak Abraar kan di sini buat jadi tutor aku. kenapa malah aku harus cariin dia pacar," sahut Bella ringan, gadis itu mengambil bantal yang dia taruh di atas sofa lalu memasukkannya ke dalam sarung bantal yang sedari tadi dia pegang. "Ya kan sekalian, sekali dayung dua pulau terlampaui. Atau nanti biar Mommy aja deh yang cariin dia pacar, temen Mommy punya anak yang cantik dan baik," kata Laura sambil melirik wajah sang putri yang sedang begitu serius memasang sarung bantal. "Ya udah, terserah Mommy aja deh," jawab Bella, gadis itu tidak merasa kesal karena ide sang ibu tapi kesal membayangkan nantinya Abraar akan lebih banyak menghabiskan waktu untuk bersama gadis yang ibunya kenalan daripada menghabiskan waktu dengannya. Laura mengulum senyum melihat ekspresi kesal sang putri. "Ih Mama pindah dulu dong, aku mau pasang bed cover," usir Bella sambil mendorong gemas bahu dan ibu, Laura tertawa kecil karena perlakuan sang putri, "tuh kan jadi berantakan lagi!" "Ya ampun, berantakan apanya sih, kamu aja yang masangnya enggak kenceng!" jawab Laura tidak mau di salahkan, Bella cemberut sambil merapikan lagi seprai yang berkerut bekas ia dan ibunya duduki. "Ya udah, Mommy keluar deh, selamat beres beres entar kalau udah selesai jangan lupa siramin tanaman," kata Laura sambil berjalan keluar kamar. "Mommy ... aku nggak mau," jawab Bella sambil menjejakkan kakinya sebal, Laura menahan tawa. "Ya udah kalau gitu beresin kamar sendiri aja deh," ujar Laura yang sudah berada di ambang pintu. "Kamar aku udah rapi, aku udah minta tolong Mbak buat beresin." Sementara di Jakarta Bella sibuk menata kamar yang akan Abraar tempati, sebuah kamar tamu yang kosong berada di lantai dua rumah mewah milik Banyu dan Laura, Kamar yang berada satu lantai dengan kamar Bella dan langit sementara lantai tiga rumah itu di fungsikan sebagai ruang keluarga, ruang menonton dan roof top tempat mereka menikmati bintang bintang di malam hari, di Surabaya Abraar terlihat lebih santai. Pemuda itu menaiki sepeda motornya ke rumah Sang Tante untuk menjemput Nasya. "Hay, Braar, mau ngajak Nasya jalan?" tanya Ela yang sedang membantu sang putra mengerjakan tugas sekolahnya membuat replika rumah adat menggunakan stik es krim. "Iya, kok tante tau?" tanya Abraar yang lalu duduk di sofa ruang tamu itu. "Iya, Nasya udah siap siap dari tadi, dia bilang mau jalan sama kamu," jawab Ela tanpa mengalihkan pandangannya dari stik yang sedang ia olesi lem. "Nadif bikin apa?" tanya Abraar pada sepupu laki laki yang masih menjadi murid sekolah dasar itu. "Lagi bikin rumah joglo, Mas," jawab Nadif yang juga tampak serius mengerjakan tugasnya. "Mas, kita berangkat sekarang?" Tanta Nasya yang sudah siap berangkat, Abraar sudah mengiriminya pesan tadi mengajak gadis itu makan di outlet mie kado karena waktu itu mereka batal pergi bersama ternyata dosen Abraar memberinya beberapa tugas lagi. Nasya tersenyum gembira, berpegangan pada pinggang Abraar saat pemuda itu menjalankan sepeda motornya. "Mas, emang Abitha enggak di rumah?" tanya Nasya sambil mendekatkan kepalanya pada Abraar agar pemuda itu bisa mendengar pertanyaannya. "Ada, emang kenapa?" tanya Abraar sambil terus berkonsentrasi menjalankan sepeda motornya melintasi aspal yang begitu panas di bawah terik matahari menjelang waktu makan siang ini. "Enggak apa apa, Kok Mas Abraar ngajak perginya naik motor nggak ngajak Abitha sekalian," jawab Nasya gadis itu masih berpegangan pada pinggang Abraar, sedikit ingin memeluknya tadi dia ragu dan malu. "Enggak, Mas sengaja nggak ngajak dia, kan ini sebagai permintaan maaf Mas karena kemarin lusa udah batalin ajakan kamu," jawab Abraar, Nasya mengulum senyum karena rasa bahagianya sebab Abraar seperti sengaja ingin pergi berduaan dengannya saja, "Mas juga pengen ngasih tau kamu sesuatu nanti." Nasya sudah tidak lagi bisa menahan senyumnya, bibir berpoles lipbalm itu kini merekah sempringah membayangkan apa yang akan Abraar katakan padanya nanti, Nasya begitu berharap Abraar akan menyatakan perasaan suka padanya nanti di tempat itu. Dari kaya sepion Abraar bisa melihat senyum Nasya dan ikut tersenyum juga karenanya. Mereka tiba di tempat tujuan, outlet yang menjual berbagai menu bakmi kekinian itu ternyata begitu ramai di akhir pekan dan waktu makan siang ini. Mereka kebagian tempat duduk di lantai dua, usai melakukan pesanan mereka naik untuk mencari tempat duduk mereka. Ternyata meja mereka berada di balkon dengan dua kursi saling berhadapan, keduanya melihat ke sekeliling sambil menunggu makanan mereka datang. "Kamu sering ke sini?" tanya Abraar pada Nasya untuk mengisi waktu sembari menunggu pesanan mereka di antar. "Lumayan. aku biasa ke sini sama temen temen sekolah aku tapi nggak pernah di atas selalu dapet meja di bawah," jawab Nasya gadis itu seolah tidak pernah berkedip saat menatap wajah tampan Abraar. "Oh, kalau waktu itu Mas juga makan di atas sama Bella tapi di dalem," kata Abraar tanpa di tanya, Bella hanya membulatkan bibirnya berusaha tidak tampak sebal karena lagi lagi Abraar selalu teringat Bella walaupun mereka sedang bersama. "Mas, abis ini kita nonton yuk," ajak Nasya untuk mengalihkan pembicaraan karena dia tidak suka membicarakan Bella. Yang Nasya ingin saat dia sedang berdua dengan Abraar, pemuda itu tidak mengingat gadis lain meskipun itu Bella. "Emang ada film bagus?" tanya Abraar, pembicaraan mereka sedikit tertunda karena seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka. "Ya enggak tau, kita cari aja filmnya di sana. Tapi kalau nontonnya sama Mas Abraar sih kayaknya semua film bakal bagus," jawab Nasya sebelum memakan Mie nya mengunakan sepasang sumpit berwarna hitam, Abraar tertawa mendengar apa yang Nasya katakan. "Boleh deh," jawab Abraar ringan, Nasya tersenyum bahagia. "Oh iya, tadi waktu di jalan Mas bilang mau ngasih tau aku sesuatu? Apa?" tanya Nasya memancing karena Abraar tidak juga menyatakan perasaannya. "Oh ... itu. Sebenernya Mas ngajak kamu makan juga sebagai salam perpisahan sementara, Mas mau pamit," kata Abraar sambil tertawa kecil merasa kata katanya berlebihan. "Mas mau ke mana?" tanya Nasya santai sebelum menyuap makanannya karena Nasya pikir Abraar hanya akan pergi naik gunung bersama teman teman pecinta alamnya seperti biasanya, paling sekitar empat sampai lima hari. "Mas mau ke Jakarta, Mas mau jadi tutornya Bella, Mas bakal tinggal di rumahnya buat sementara," ucap Abraar dengan begitu ringan. "Hah? uhuk ... uhuk ... uhuk."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD