Mas Abraar nggak peka

1427 Words
Abraar baru saja keluar dari kantor dekan dan pemuda itu langsung di sambut dengan hal yang tidak biasa di depannya, seorang gadis berseragam SMA duduk di kursi yang ada di lorong lorong kampus itu. Ini bukan masa pendaftaran mahasiswa baru, jadi jelas saja siswi sekolah menengah atas itu tidak senang mengikuti masa orientasi di universitas swasta itu. Sebagai seorang pemuda yang begitu mengenal gadis itu, Abraar langsung melangkah mendekati sang gadis yang duduk dan mengobrol dengan seorang pemuda yang juga begitu dia kenal. "Nasya, kamu ngapain di sini?" tanya Abraar, pemuda itu menghentikan langkah tepat di depan Nasya dan temannya berdiri, gadis itu tersenyum lebar melihat pemuda yang sedari tadi di tunggunya. "Aku emang sengaja ke sini cari Mas Abraar," jawab Nasya membuat Abraar mengerutkan keningnya tidak mengerti, pemuda tengil yang duduk di sebelah Nasya dan mengobrol dengan Nasya langsung berdiri sambil merangkul bahu Abraar dengan begitu akrab. "Abraar, kenapa nggak pernah bilang kalau kamu punya ade sepupu cantik begini?" bisik teman dekat Abraar di kampus itu, Abraar menatap aneh sang teman. "Buat apa?" tanya Abraar cepat sambil melepaskan diri dari rangkulan temannya itu. "Ya ... kan bisa kali aku jadi ipar kamu," jawab pemuda itu sambil menaik turunkan satu alisnya. "Dih, sampai kiamat juga aku nggak bakalan mau punya ipar buaya darat kayak kamu!" sembur Abraar membuat Nasya yang mendengarnya tertawa geli. "Heh jangan kenceng kenceng kali!" protes teman Abraar itu sambil melirik malu pada Nasya, Abraar malah renyah menertawakannya. "Bodo!" sahut Abraar ringan. "Yuk, Sya," kata Abraar sambil mengulurkan tangannya untuk mengajak Nasya pergi dari tempat itu, Nasya masih tertawa kecil karena tingkah kedua pemuda itu saat meraih tangan Abraar dan bangun dari duduknya. "Bye Kak Dika, makasih ya udah nemenin aku," ujar Nasya sambil melambaikan tangan pada teman Abraar yang pernah Nasya lihat berkunjung ke rumah Abraar, gadis itu mengikuti langkah Abraar yang masih menggenggam tangannya meninggalkan Dika yang membalas lambaian tangan Nasya dengan wajah merana karena di tinggalkan. "Apapun yang Dika omongin jangan percaya, dia tukang ngibul," kata Abraar pada gadis yang berjalan di sebelahnya, tanpa Abraar sadari tangan gadis itu masih menempel hangat di tangannya. "Yah, aku sedih banget kalau gitu, soalnya tadi aku senang karena Kak Dika bilang aku cantik, ternyata dia cuma ngibul. Berarti aku nggak cantik ya, Mas?" tanya Nasya, Abraar tersenyum geli menatap Nasya dengan wajah polosnya. "Ya bukan gitu, kamu cantik banget tapi Dika muji muji kamu tuh karena ada maunya. dia tuh playboy, banyak ceweknya suka ngerayu dan ngegombal pokoknya kamu jangan sampai masuk dalam jebakannya dia!" terang Abraar, pemuda itu mengajak Nasya berjalan menuju taman yang ada di area kampus. taman rindang dengan beberapa pohon besar yang sudah berumur begitu tua mungkin lebih tua dari orang tua mereka. "Kalau Mas Abraar, tadi bilang aku cantik karena ada maunya juga?" tanya Nasya sambil menahan tawa meledek pemuda di sampingnya, Nasya mengulum senyum melihat perlahan bibir kemerahan Abraar perlahan tertarik ke kedua sisi pipi membentuk sebuah senyuman. "Ya enggak, Mas kan nggak suka ngegombal. Justru Mas yang mau tanya apa maunya kamu tiba tiba ada di sini?" Abraar mengajak Nasya untuk duduk di kursi panjang yang ada di pinggir taman, berteduh dari teriknya matahari di bawah bayangan pohon besar berdaun rindang. "Aku pengen makan bareng sama Mas Abraar, Mas pasti sibuk jadi belum sempet makan, kan," jawab Nasya dengan cekatan tangannya membuka tas punggungnya dan mengeluarkan kantung plastik dari dalam sana. "Kamu bawa apa?" tanya Abraar sambil tertawa kecil melihat Nasya sibuk mengeluarkan isi tasnya. "Bawa mie kado," jawab Nasya sambil memberikan sekotak mie dengan bungkus warna warni mirip sebuah kado di acara ulang tahun anak anak, Mie itu dia beli di sebuah outlet sebelum mendatangi kampus Abraar. Nasya juga membeli dua botol minuman isotonik untuk mereka. "Tapi mie nya udah dingin nggak apa apa kan," kata Nasya sambil membuka mie miliknya sama seperti yang sedang Abraar lakukan. "Enggak apa apa, dingin juga enak. apalagi di beliin, di anterin dan tinggal makan kayak gini," jawab Abraar sambil mengaduk mie goreng dengan aneka toping itu, "kamu pasti udah lama di sini ya?" "Iya, tadi aku nyari nyari Mas, aku tanya tanya terus aku ketemu Kak Dika dan di anterin ke ruang Dekan, eh. ternyata Mas Abraar lama di ruang Dekan nya," jawab Nasya sambil tertawa kecil, Abraar hanya tersenyum mendengarnya. "Maaf, ya, Mas jadi ngerepotin," sahut Abraar sebelum memakan mie nya lagi. "Enggak apa apa lah, kenapa harus minta maaf. Aku kan seneng ngelakuin ini karena aku Sayang sama Mas Abraar," jawab Nasya cepat bahkan terburu buru karena gadis itu merasa malu saat mengungkapkan perasaannya, Nasya menatap Abraar malu malu sedangkan pemuda di sampingnya hanya tersenyum di sela mengunyah makanannya. Tidak ada ekspresi istimewa yang Abraar tampakkan seolah dia tidak mendengar Nasya baru saja mengucapkan rasa sayangnya, padahal bagi Abraar rasa sayang yang Nasya ucapkan adalah hal yang menurutnya biasa. Abitha dan Bella juga biasa saling mengucapkan rasa sayang. Sayang sebagai saudara dan sayang sebagai sahabat, bukan sayang sebagai seorang perempuan pada seorang laki laki seperti yang Nasya maksudkan. "Sya, kamu mau kuliah di mana setelah lulus? di sini atau di universitas lain?" tanya Abraar antusias sedangkan Nasya memaksakan bibirnya untuk tersenyum, menutupi rasa kecewanya karena Abraar tidak peka dan malah mengalihkan pembicaraan ke hal lain. "Nggak tau, tapi kayaknya sih nggak di sini soalnya kan Mas Abraar udah selesai kuliahnya, kalau Mas Abraar masih di sini aku pasti kuliahnya di sini," jawab Nasya dengan senyum cerianya, Abraar terkekeh mendengar jawaban Nasya. "Ya masa kamu mutusin milih universitas dan fakultas karena Mas sih, kamu harus mutusin itu berdasarkan bidang minat dan cita cita kamu dong," kata Abraar sebelum menyuap Mie nya yang hanya tersisa sedikit di dalam box kadonya. "Ya kan bidang minat dan cita cita aku deket deket Mas Abraar terus," sahut Nasya sambil tertawa dengan harapan Abraar akan peka dengan perasaannya, Abraar hanya tertawa geli. "Serius deh, cita cita kamu itu apa?" tanya Abraar serius. "Mas Abraar mau kerja apa setelah selesai kuliah?" bukannya menjawab pertanyaan Abraar, Nasya malah balik bertanya sambil menatap Abraar penasaran. "Mas bantuin Papa ngurus perusahaan, Opah udah cerewet banget ngomongin soal itu bahkan sejak Mas masuk SD," jawab Abraar sambil tertawa, pemuda itu merasa tidak masalah dan sama sekali tidak keberatan untuk membantu mengurus perusahaan keluarga mereka itu karena memang dia juga suka dunia bisnis. "Owh, kalau gitu aku cita citanya jadi sekertaris Mas Abraar aja deh," kata Nasya ringan, Abraar hanya tersenyum geli sambil menggelengkan kepalanya. "Yah, abis, cepet banget," gumam Abraar saat melihat isi kotak mie nya tinggal lah suapan terakhir. "Mas suka? kalau gitu besok aku beliin lagi deh pulang sekolah," kata Nasya dengan penuh semangat. "Enggak usah, besok Mas enggak ke kampus kok," jawab Abraar karena semua urusannya di kampus sudah selesai, dia hanya tinggal menunggu sidang skripsinya saja. sesuai permintaan Bella pemuda itu menyelesaikan semua urusannya dengan cepat agar bisa segera terbang ke Jakarta. "Kalau gitu kita makan di outlet nya aja, aku pulang cepet kok besok. Mas jemput aku di sekolah ya," kata Nasya dengan penuh harap. "Boleh, ini kamu beli di mana? Mas pernah makan Mie kado yang outletnya di deket sini sama Bella," kata Abraar, senyum di wajah Nasya langsung memudar, "Bella juga suka tempatnya katanya asik, besok kita makan di sana aja." "Terserah Mas aja," jawab Nasya datar, gadis itu lalu mengambil bungkus Mie milik Abraar yang sudah kosong beserta miliknya lalu berjalan mendekati tong sampah dengan langkah kesal, gadis itu juga melempar box yang sudah dia remas dengan penuh emosi ke dalam tong sampah berwarna biru itu. Abraar yang sedang minum tidak memperhatikan tingkah gadis itu. Nasya kembali ke samping Abraar dengan wajah datar lalu mengambil ponselnya. "Mau nelpon siapa?" tanya Abraar melihat Nasya menempelkan ponselnya di telinga. "Temen. Mau minta jemput," sahut Nasya datar. "Kalau Mas udah selesai seharusnya kita bisa pulang bareng, tapi Mas masih harus minta tanda tangan dosen," kata Abraar mengingat tugas terakhirnya hari ini belum selesai, Nasya hanya diam mendengarnya. "Hallo, El, jadi? kamu jemput aku di kampus sekarang ya." Abraar mendengarkan Nasya menyebutkan nama universitasnya dan juga mendengarkan nama siapa yang Nasya sebut tadi. "Iya, aku tunggu," pungkas Nasya, gadis itu lalu memasukkan ponsel ke dalam tasnya. "Masih jalan sama El?" tanya Abraar sambil menatap wajah Nasya yang tiba tiba berubah. "Iya, Mas Abraar sibuk kan. enggak akan bisa anterin aku pulang," sahut Nasya agak ketus sambil menaruh tasnya di bahu. "Sya, hati hati ya," kata Abraar saat gadis itu hampir melangkah pergi, Nasya hanya berdeham untuk menjawab ucapan Abraar lalu melangkah kesal menjauh. "Lagi PMS kali ya, mood swing banget tadi ceria tiba tiba jutek gitu," gumam Abraar yang juga langsung meninggalkan tempat duduknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD