Mengenang masa kecil

1326 Words
"Biarpun cantik kalau cemberut gitu juga jelek kali, Bell," kata Abraar pada gadis yang berjalan di sebelahnya, gadis itu berjalan sambil mendekap jaket yang tidak ia kenakan. Mendengar apa yang Abraar katakan gadis itu menatapnya dengan bibir yang tetap merengut. "Aku masih pengen di sini, aku bilang sama Mommy buat pindahin kuliah aku ke sini ya, satu kampus sama Kakak," jawab Bella membuat Abraar tertawa geli, mereka berjalan di bandara sekarang karena Bella harus segera pulang dan seperti biasa gadis itu setengah hati melakukannya. "Kamu tuh terlalu sayang sama Kakak atau gimana, sih?" kata Abraar sambil tertawa kecil. "Abis nggak ada yang bisa bikin aku semangat ke kampus," keluh Bella, Abraar hanya menggelengkan kepalanya. "Emang yang bikin kamu semangat tuh apa? Hadiah dari Mommy sama Daddy kalau kamu lulus kuliah nggak cukup bikin kamu semangat?" tanya Abraar sambil menatap gadis itu, Bella malah meninggalkannya untuk duduk di kursi tunggu menunggu pengumuman dari bandara memintanya untuk memasuki pesawat. Abraar mengikuti gadis itu lalu duduk di sebelahnya. "Hadiah tuh nggak bikin aku semangat, Kak, aku ngerasa udah cukup punya semuanya," jawab Bella, memang benar gadis itu lahir dan tumbuh dalam keluarga yang memiliki segalanya hingga dia tidak pernah merasa kekurangan suatu apapun. "Terus? kayaknya kakak tau apa yang kamu butuhin, deh, Bell. Kamu tuh butuh cowok, coba deh kamu buka hati kamu buat seorang cowok, siapa, gitu," kata Abraar, Bella malah berdecak kesal mendengarnya. "Males ah, buang buang waktu aja. mendingan aku ngabisin waktu di Dojang," jawab Bella menyebut nama tempat pelatihan taekwondo tempatnya menghabiskan waktu selain di rumah dan di kampusnya. "Iya, Saboeum-min," kata Abraar dengan menyebut panggilan untuk pelatih taekwondo yang di sandang Bella, gadis itu hanya mengulum senyum menatap wajah Abraar, "kayaknya Kakak butuh kamu buat jadi bodyguard dari cewek cewek yang suka ganjen deh." "Idih, nggak kebalik? ada juga aku yang harusnya minta di jagain Kakak," kata Bella sambil tertawa. "Kan kamu lebih jago dari Kakak, buktinya sekarang kamu masih di Dojang sebagai pengajar kakak udah lama banget nggak nginjekin kaki di Dojang," kata Abraar, mereka memang sama sama mengikuti pelajaran bela diri itu sejak kecil tapi sepertinya Bella lebih mencintai cabang bela diri itu ketimbang Abraar. "Iya, itu karena Kakak lebih seneng nginjekin kaki di depan cewek cewek cantik san sibuk tebar pesona," kata Bella meledek sahabatnya itu. "Enak aja, Kakak enggak pernah tebar pesona, ya. tapi karena kakak emang mempesona jadi bukan salah kakak kalau mereka terpesona," jawab Abraar dengan pongahnya, Bella hanya mencibirkan bibirnya. "Kakak tau nggak kenapa aku secinta itu sama taekwondo?" tanya Bella dengan pandangan menerawang, Abraar menatapnya dengan serius. "Emm ... kayaknya kita emang belum pernah bicarain soal ini, makanya kakak belum tau, coba kamu ceritain biar kakak tau," kata Abraar, pemuda itu memang tidak pernah gagal membuat Bella selalu merasa di perhatikan. Abraar memang selalu bisa menjadi teman bicara yang baik, seorang pendengar dan penghibur yang baik itulah yang membuat Bella begitu suka berbagi cerita apapun pada pemuda itu. Bahkan tidak jarang Bella menelepon Abraar di tengah malam hanya untuk menceritakan mimpi buruk yang membuat gadis itu terbangun dari tidurnya. "Mommy memperkenalkan aku sama taekwondo sejak aku kecil, sejak aku pulang dari Turki," kata Bella mengawali cerita, Abraar hanya diam sambil tersenyum manis mengingat kepergian Bella ke Turki yang menurut semua keluarga adalah sebuah kematian. Itu bukanlah kenangan manis bagi semua keluarga, itu adalah kenangan menyakitkan tetapi karena berakhir dengan sebuah hal yang sangat baik maka kenangan itu adalah sebuah pengalaman yang indah. "Mommy bilang aku harus jadi orang yang kuat, jadi orang yang tangguh walau pun aku perempuan makanya aku senang waktu masuk Dojang di Jakarta sebagai seorang murid junior karena aku punya banyak temen di sana. Tapi yang paling aku senang adalah karena setiap akhir pekan aku ngajak Mommy ke sini, itu juga jadwal latihan Kakak di Dojang jadi aku ikut latihan lagi. Jadi seminggu full aku latihan, gimana aku nggak cinta banget coba sama taekwondo," sambung Bella sambil tertawa kecil. "Emang kamu enggak ngerasa bosen gitu? Kakak aja yang latihannya cuma Sabtu Minggu dulu sering ngambek gara gara di paksa Mama buat latihan," kata Abraar, kedua orang itu malah jadi mengenang masa kecil mereka. "Iya, aku bosen latihan terus, tapi latihan sama Kak Abraar justru jadi obat buat kebosenan aku, makanya aku jadi cinta sama taekwondo. Kenangan kenangan saat latihan sama kakak dulu selalu jadi kenangan yang bikin aku bahagia dan selalu semangat ke Dojang baik waktu aku sebagai murid atau waktu aku udah jadi pengajar," jawab Bella dengan penuh semangat, Abraar tertawa kecil mendengarnya. "Padahal Kakak males banget dulu latihan, setiap kamu dateng kakak pengennya cuma maen tapi kamu malah lebih semangat ngajak Kakak ke Dojang akhirnya mau nggak mau kakak latihan," kata Abraar mengenang harinya yang cukup menyebalkan, Bella jadi tertawa mendengarnya. "Keadaannya jadi terbalik sekarang, dulu kamu yang bikin Kakak terpaksa latihan padahal Kakak males dan sekarang malah kamu yang males malesan kuliah," kata Abraar untuk meledek Bella, gadis itu merengut karena rasa malasnya. "Berarti artinya sekarang tugas Kakak buat bikin kamu semangat kuliah, gimana kalau Kakak jadi tutor kamu dan spesial antar jemput kamu ke kampus?" sambung Abraar dengan santainya, seketika wajah Bella berbinar mendengar apa yang Abraar katakan. "Beneran Kak? terus kuliah Kakak gimana?" tanya Bella, gadis yang sedari tadi terlihat anteng karena sedang mengenang masa lalu berubah heboh hingga beberapa orang yang duduk di sekitarnya menatap mereka. "Kakak kan tinggal nunggu sidang skripsi terus udah, tapi itu juga kalau di ijinin sama Papa dan Daddy," jawab Abraar, Bella masih tersenyum lebar mendengar jawaban Abraar, gadis itu yakin kalau orang tua mereka akan mengijinkan Abraar tinggal di Jakarta sementara, tidak ada alasan untuk menolak sebuah hal baik bukan? "Aku yakin mereka pasti ngijinin, aku juga pasti lebih semangat kalau Kakak yang jadi tutor aku," Kata Bella, Abraar hanya mengulum senyum melihat gadis di sebelahnya malah terlihat lebih bersemangat. "Tapi kalau Kakak jadi tutor kamu, bayarannya nggak murah, Mabella Aileen," jawab Abraar sambil mengulum senyum. "Emang Kakak mau apa? aku yakin kakak nggak mau uang aku, apalagi yang Daddy," sahut Bella santai. "Em ... Kakak mau apa, ya? Nanti aja deh Kakak pikirin. sekarang kakak mau mikirin gimana caranya minta ijin sama Papa dan Daddy dulu," kata Abraar, Bella malah tertawa geli. "Kakak, mau minta ijin jadi tutor aja mikirnya udah kayak mau minta ijin ngelamar anak orang!" kata Bella sambil tertawa geli, Abraar hanya tersenyum lebar. Saat itu terdengar panggilan untuk penumpang pesawat yang akan membawa Bella kembali ke kotanya. "Aku pulang dulu, ya, Kak. Pokonya kakak harus nyusul, Kakak udah janji!" kata Bella sembari bangun dari duduknya, Abraar pun ikut bangun dari kursinya. "Dih, siapa yang Janji? Kakak belum ngucapin kata janji tadi," sahut Abraar sambil mengulum senyum karena tahu Bella pasti merajuk karena ledekannya itu. "Aaahhh ... pokonya iya, kakak harus dateng buat jadi tutor aku," kata Bella dengan manjanya, gadis itu menjejakkan kaki khas seorang bocah yang sedang merajuk. Abraar sudah hapal betul dengan sifat manja gadis itu, itulah sebabnya dirinya tidak akan menjanjikan sesuatu sebelum dia memikirkannya masak masak. Abraar sebenarnya sudah memikirkan hal itu sebelum mengatakannya pada Bella. "Iya nanti Kakak pikirin lagi," sahut Abraar sambil menahan senyumnya. "Jangan kelamaan mikir ntar keburu aku ketinggalan pesawat," kata Bella, Abraar malah tertawa mendengarnya. "Ya udah makanya sana buruan nanti ketinggalan," kata Abraar sambil mengambil jaket yang sedari tadi hanya Bella peluk dari tangan gadis itu lalu bersiap memakaikannya pada gadis itu. Bella sedikit terkejut tapi menurut memasukkan tangannya ke lengan jaket yang Abraar pegang. "Harus kamu pake jaketnya, nggak ada kakak yang jagain kamu jangan pake baju yang terbuka," kata Abraar lembut, padahal baju yang Bella pakai tidak terlalu terbuka hanya atasan berbahan sifon silk tanpa lengan hanya saja memiliki potongan rendah di bagian punggung berpadu dengan celana jeans panjang. Bella tersenyum bahkan membiarkan Abraar sampai menaikan resleting jaketnya dengan penuh perhatian. "Makasih, Kak, aku tunggu di Jakarta," kata Bella, gadis itu memeluk Abraar dengan erat lalu mencium pipinya. Abraar hanya tersenyum lalu melambaikan tangan, pemuda itu baru pergi setelah Bella tidak nampak di pandangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD