Memories-13 NOW

2109 Words
Jasmine masih terlelap saat Bayu tiba-tiba terjaga di pukul tiga dini hari. Beberapa hari ini Bayu mengalami susah tidur malam dan mudah terjaga di pagi hari. Saat ini saja dia terjaga hanya karena hal sepele. Di alam bawah sadarnya Jasmine tidak sengaja memeluk Bayu. Perbuatan Jasmine tersebut membuat Bayu risih dan akhirnya terbangun lalu tidak bisa tidur tidur lagi. Bayu kemudian memutuskan beranjak dari ranjang dan keluar dari kamar. Dia memutuskan tidur di kamar putri semata wayangnya. Bayu rela tidur di ranjang single khusus anak-anak dengan kaki ditekuk. Dia memeluk Lody dengan penuh kasih sayang, menghirup aroma khas anak kecil yang menguar dari tubuh putrinya itu. Nyaman dan menenangkan. Kesan itu yang selalu Bayu dapatkan ketika mendekap tubuh berisi Lody. "Ayah..." ucap Lody dengan suara serak khas anak kecil baru terjaga. "Psstt...ayo tidur lagi. Sekarang masih belum pagi," ujar Bayu berbisik, sembari membelai helaian rambut Lody. "Nanti beli es krim ya," ujar Lody dengan mata setengah terpejam. Bayu menahan senyum melihat ekspresi menggemaskan yang ditunjukkan oleh Lody. "Iya, nanti kita beli es krim sepulang Lody sekolah," jawabnya, menepuk pinggang Lody supaya putri kecilnya itu tertidur kembali. Dan benar saja, tidak sampai tepukan ke empat Lody sudah terlelap kembali. Meski susah terlelap kembali, Bayu memutuskan tetap berbaring di samping Lody. Namun tidak disangka-sangka matanya terasa berat. Tangannya yang sedang menepuk pinggang Lody berhenti dan dalam hitungan detik Bayu menyusul menjelajahi alam mimpi. "Ayaaahhh...banguuun!!!" pekik Lody membangunkan ayahnya yang tengah tidur terlelap dalam posisi tengkurap. Tanpa mengubah posisinya Bayu membuka mata secara perlahan ketika mendengar suara cempreng Lody berteriak di dekatnya. Dia masih terdiam sejenak sebelum memutuskan membuka mata sepenuhnya. Melihat Lody sedang tertawa lebar karena berhasil membuat ayahnya terjaga dengan satu kali percobaan membuat Bayu merasa menjadi pria paling beruntung telah dikaruniai anak perempuan ceria seperti Lody. Terlepas dari tingkah Lody yang terkadang membuatnya senewen karena terlewat penakut dan mudah menangis hanya untuk sebuah alasan sepele. Perasaan Lody memang terlalu sensitif, menurun dari ibunya.  "Ayo, bangun, Ayah! Ini sudah siang," ujar Lody, mengguncang tubuh Bayu. "Ayah masih ngantuk. Sepuluh menit lagi ya." Bayu kembali memejamkan mata.  Lody mengerucutkan bibir tipis yang diwarisi dari ayahnya. Tak kuasa melihat wajah Lody yang tampak semakin menggemaskan dengan bibir mengerucut seperti itu, Bayu berbalik dan memeluk tubuh Lody lalu menggelitik perut putrinya, hingga tawa tak henti-henti terdengar dari bibir Lody yang tadi mengerucut dan juga Bayu. Sudah puas membuat putrinya tertawa, Bayu menciumi wajah tembam Lody yang sangat menggemaskan. Penasaran dengan suara gaduh yang berasal dari arah kamar putrinya, Jasmine masuk dan ikut menyaksikan pemandangan paling indah tersebut. Dia ingin sekali ikut bergabung dalam momen tersebut. Namun Jasmine mengkhawatirkan hatinya. Bayu pasti akan membuat jarak di antara mereka dan itu sangat menyakitkan. Jasmine tidak ingin hatinya terus-terusan terluka menghadapi sikap Bayu yang tidak pernah ia tahu alasannya. Akhirnya dia hanya berpuas diri dengan memandangi pemandangan itu dari arah pintu kamar.  Yang dikhawatirkan oleh Jasmine terjadi. Lody menoleh ke arah pintu dan memekik hebat meminta pertolongan padanya karena Bayu kembali menggelitik tubuh Lody. Jasmina hanya tersenyum, dan hatinya seketika mencelos saat melihat Bayu menghentikan aksinya dan memilih beranjak dari ranjang. "Capek... Dah ya, Lody main sama Bunda aja. Ayah mau mandi dulu." Bayu benar-benar keluar dari kamar Lody, melewati Jasmine yang masih bertahan di pintu begitu saja. Lody hendak menyusul Bayu, tetapi ditahan oleh Jasmine yang mengingatkan gadis manis itu untuk segera mandi dan bersiap berangkat ke sekolah. Mau tidak mau Lody harus menurut. Meski dia protes seperti apa pun, kalau ibunya sudah bertitah tidak akan bisa diganggu gugat lagi. Sekitar pukul setengah tujuh pagi, Lody dan Bayu sudah siap di meja makan menikmati sarapan masing-masing. Lody dengan sereal cokelatnya dan Bayu dengan nasi dan telur mata sapi hasil buatannya sendiri. Bayu menyiapkan sendiri sarapannya karena melihat Jasmine masih berada di kamar mandi. Menghemat waktu dia melakukan pekerjaan dapur seorang diri termasuk menyiapkan sereal untuk Lody. "Hari ini A'a bisa tolong jemput Lody?" tanya Jasmine setelah ikut bergabung di meja makan. Dia menatap cemas menunggu jawaban dari Bayu. "Hari ini, kan, giliran kamu yang jemput Lody. Aku ada meeting sama atasan dan staf baru. Mungkin sore baru selesai." "Please, A'. Sekali ini aja, aku harus mendampingi atasanku dan staf kenegaraan kunjungan ke kantor walikota. Next time aku janji nggak akan gini lagi," ucap Jasmine penuh penyesalan. "Dari mulai Lody masuk playgroup sampai sekarang dia sudah SD juga kamu sering berjanji seperti itu, Jas.” “Tapi ini urgent banget, A’.” “Urusan apa yang nggak urgent buat kamu? Asal urusan pekerjaan selalu urgent bagi kamu.” “A’...” “Kamu sampaikan sama guru pembimbingnya Lody kalau jemputannya telat.” “Tapi A’a bisa, kan, jemput Lody?” “Aku usahakan. Tapi buat jaga-jaga kamu kabari aja guru pembimbingnya kalau jemputannya telat.” “Thankyou, ya, A’. Nanti aku sampaikan di group chat dan juga personal chat ke gurunya,” ujar Jasmine. Dia menoleh sekilas pada putrinya. Gadis kecil tengah sibuk melahap sereal tanpa pedulli perdebatan yang terjadi di antara kedua orang tuanya.  ***  Hari ini bahkan untuk beberapa hari ke depan Melody akan menghabiskan waktu di kafenya. Dia harus melakukan wawancara pada calon karyawan yang telah melamar kerja di Melody’s Coffee. Hingga waktu menunjukkan pukul sebelas siang Melody sudah mewawancarai tiga kandidat, tetapi tidak ada yang memenuhi ekspektasinya. Sebenarnya Melody orang yang simple. Prinsip kerjanya hanya satu, dia harus bekerja dengan orang yang cocok agar bisa mencapai semua harapan.  “Gimana, Tante? Ada yang cocok?” tanya Sagara, salah satu barista sekaligus orang kepercayaan Melody.  “Ada yang lain nggak?”  “Ada, tapi gue bikin jadwal panggilannya untuk besok. Gimana? Eh...tapi kalau Tante butuh cepat gue bisa menghubungi mereka.” “Dahlah, besok aja. Capek gue. Mana sebentar lagi waktunya jemput Levi.” Melody mematikan macbook dan membereskan berkas pelamar yang sudah ia wawancara selama tiga jam terakhir. Dia kemudian meriah tas beserta kunci mobil lalu berangkat untuk menjemput anak laki-lakinya pulang sekolah.  ***  Melody mengetuk-ngetukkan jari di atas roda kemudi sembari menikmati lagu pengiring kemacetan yang berhasil menjebaknya siang ini. Beruntung tadi dia memutuskan untuk mengakhiri waktu wawancara dengan calon pelamar kerja di kafenya. Dia masih memiliki waktu sekitar dua puluh menit sebelum sekolah Levi bubar. Dia tidak ingin terlambat semenit pun menjemput anak laki-laki itu.  Melody datang tepat waktu. Dia melangkah santai menuju gerbang penjemputan. Senyumnya terkembang saat melihat pintu gerbang baru saja terbuka, artinya sekolah baru dibubarkan beberapa detik yang lalu. Melody menunggu di salah satu kursi yang telah tersedia sementara orang tua atau para pengasuh sudah bergerombol di depan gerbang penjemputan. Untuk angkatan kelas di atas Levi dijemput di gerbang satu lagi dengan sistem penjemputan mobil melewati portal yang telah tersedia, dimana orang tua atau penjemput tidak boleh menunggu di depan pintu gerbang penjemputan.Para siswalah yang akan mengantri menunggu di belakang pintu gerbang penjemputan. Bila namanya dipanggil oleh petugas penjaga pintu gerbang penjemputan, maka siswa tersebut akan berlari menuju mobil yang menjemput.  Ketika pintu gerbang penjemputan sudah agak lengang Melody beranjak dari kursinya. Dia menyebutkan nama Levi pada petugas penjaga pintu gerbang. Dan tidak lama kemudian putranya itu datang sembari berlari kecil ke arah Melody.  “Mommy, i need help,” ucap Levi setelah melepas pelukannya di pinggang Melody.  “What’s wrong honey?” tanya Melody. Begitulah Melody, dia lebih bisa berlalu mesra pada putra semata wayangnya daripada dengan suaminya.  “Kasihan Lody. Hari ini penjemputnya telat lagi.” “Lody?” “Iya, teman baru aku. Kita boleh temani Lody sampai penjemputnya datang?” pinta Levi.  “Berapa lama? Kamu belum makan.” “Aku juga nggak tahu. Tapi aku masih belum terlalu lapar. Menu hari ini spagheti dan itu membuatku kenyang lebih lama.” “Sekarang mana Lody?” “Tuh…” jawab Levi sembari menunjuk ke arah anak perempuan sedang duduk sendiri di ayunan yang sengaja tidak digerakkan.  “Coba kita tanya dulu sama guru pembimbing kalian dan juga bapak penjaga. Boleh apa tidak menunggu di luar sekolah. Mommy nggak kuat kalau harus menunggu di sini,” ujar Melody, meraih tangan Levi dan menggandengnya menuju ke tempat orang-orang yang tadi disebutkan oleh Melody.  “Miss Nita, saya ibunya Levi. Barusan Levi bilang kalau temannya yang bernama Lody penjemputannya telat. Apa benar seperti itu?” tanya Melody pada seorang perempuan muda yang sedang berdiri tidak jauh dari posisi Lody sedang bercanda dengan Levi di ayunan.  “Benar, Bu. Tadi ibunya Lody sendiri yang menyampaikan kalau akan telat menjemput.” “Kira-kira berapa lama telatnya?” “Kami hanya memberi waktu sampai maksimal satu jam setelah jam pulang sekolah. Lebih dari itu terpaksa kami menitipkan Lody di daycare,” jawab Miss Nita sopan.  “Kalau saya menemani Lody tapi tidak di dalam sekolah apa boleh, Miss?” tawar Melody.  “Mau menunggu di mana, Bu? Peraturan sekolah, penjemput yang tidak terdaftar di daftar penjemput tidak boleh menunggu di jarak lebih dari satu kilometer dari gerbang penjemputan.”  “Iya, Miss. Saya juga paham soal itu. Saya mau menunggu di kedai es krim depan gerbang sekolah. Miss Nita tenang saja, mobil saya diparkir di parkiran depan. Dan ini kunci mobil saya sebagai jaminannya,” ujar Melody.  Miss Nita menatap dengan penuh rasa bersalah. Sebenarnya dia tidak enak bersikap seperti ini pada Melody. Apalagi dia cukup kenal dengan Melody karena Levi sudah bersekolah di tempat pendidikan ini sejak playgroup. Namun akhirnya Miss Nita menerima kontak mobil milik Melody dan membiarkan membawa Lody bersamanya.  ***  Sesampainya di kedai es krim yang dimaksudkan oleh Melody saat meminta izin pada Miss Nita, anak-anak yang dibawanya terlihat antusias berdiri di depan boks berisi es krim aneka rasa. Melody hanya menggeleng sembari menahan senyum melihat kelakukan menggemaskan Lody dan Levi. Putranya yang terbiasa bersikap skeptis pada orang lain terutama orang yang baru dikenal terlihat lebih ramah kali ini.  “Kamu mau pesan es krim rasa apa, Levi?” tanya Melody.  “Cokelat dan dipenuhi taburan cokelat di atasnya,” jawab Levi, sedangkan Lody hanya mengangguk malu-malu saat ditanya hal yang sama oleh Melody.  Setelah menyelesaikan pemesanan, Melody mengajak anak-anak itu duduk di sebuah kursi yang terletak di tengah-tengah kedai. Awalnya Melody hendak duduk menghadap ke pintu masuk, tetapi Levi bersikeras untuk duduk di tempat Melody dan memaksa Melody duduk membelakangi pintu kedai. Malas berdebat dengan anaknya terlebih di depan anak lain, Melody memilih mengikuti saja aturan tempat duduk yang diatur oleh Levi.  Melody memandangi dengan saksama anak perempuan yang telah diketahuinya merupakan anak perempuan dari laki-laki yang pernah bahkan masih bertahan menguasai singgasana hatinya. Melody menatap wajah Lody bukan hanya dengan netranya, tetapi juga dengan hatinya. Hidung mancung, bibir tidak terlalu tebal dan mata sayu milik Lody mengingatkan Melody pada pemilik wajah yang terus dia impikan kehadirannya selama beberapa tahun terakhir.  “Aunty Mel nggak es krim juga?” tanya Lody dengan suara imutnya.  Melody menggeleng diiringi senyum keibuan. “Enggak, sayang,” jawabnya penuh kelembutan.  “Mommy aku nggak suka cokelat,” sahut Levi, kemudian menyendokkan es krim ke mulutnya.  “Benar, Aunty? Ayahku juga nggak suka cokelat. Padahal, kan, cokelat enak ya?” timpal Lody.  Melody tertawa sumbang untuk menutupi hatinya yang mulai resah. Dia ingin menangis untuk melepas kerinduan pada orang yang begitu dicintainya. Satu hal yang kini diyakini oleh Melody, bahwa Bayu juga sama-sama tersiksa dan berjuang seperti dirinya. Entah itu berjuang untuk melupakan atau mempertahankan memori indah tentang romansa mereka di masa lalu tetap ada di hati dan pikiran masing-masing. Hanya Tuhan yang tahu.  Melody memalingkan wajah lalu menatap ke arah langit-langit untuk menahan air matanya agar tidak menetes di depan anak kecil yang tidak mengerti apa-apa. Saat Melody mengusap butiran bening yang sempat tertampung di kelopak mata dengan ujung jarinya, tiba-tiba Lody berseru riang.  “Ayah...itu ayahku datang…” Lody serta merta beranjak dari kursi dan berlarian menuju ke arah ayahnya yang sedang berjalan memasuki kedai es krim.  Ada gemuruh hebat dirasakan oleh Melody di dalam dadanya. Napas Melody tiba-tiba sesak dan tangannya sedikit bergetar saat dia merasa derap langkah Lody dan ayahnya semakin dekat ke arahnya.  “Ayah terlambat banget ya?” ujar suara berat yang masih terdengar sama dan tetap mampu membuat jantung Melody berdegup kencang, seperti sembilan tahun lalu.  “Aunty, aku mau memperkenalkan ayahku,” ucap Lody sembari menyentuh tangan Melody.  Untuk saat ini jangankan berdiri, bergeser sesenti dari tempat duduknya saja tak sanggup dilakukan oleh Melody. Dia bingung harus bersikap bagaimana saat ini. Semuanya tanpa persiapan dan di luar dugaan. Sama sekali tidak terpikirkan di benaknya bahwa yang akan menjemput Lody adalah ayahnya sendiri. Padahal seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya, Lody dijemput oleh pengasuh atau siapalah itu yang tidak dikenal oleh Melody. Pelan, Melody beranjak dari kursi, berbalik badan dan menghadap laki-laki yang diperkenalkan oleh Lody sebagai ayahnya.  ~~~  ^vee^ 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD