Memories-12 NOW

1567 Words
~NOW~ Arkan tidak membiarkan dirinya santai meski hari sudah menunjukkan pukul satu siang. Sejak pagi dia berkutat dengan segala keperluan dokumen pengesahan untuk proses pembagian saham. Akhirnya persoalan pembagian saham antara Luthfi Khawas dan Rhiana Pramudya bisa diselesaikan hari ini. Pesawat telepon di atas mejanya berdering nyaring. Dari lampu yang berkedip panggilan tersebut berasal dari nomor ekstensi sekretaris founder Khawas Group. Arkan segera menerima panggilan telepon tersebut. "Ya Gina?" sapa Arkan. "Ditanya Pak Luthfi, dokumennya sudah siap? Kalau sudah siap meetingnya bisa dimulai sekarang." "Lima menit lagi. Mau saya periksa dulu. Nanti saya kabari kamu. Thanks, Gina." "Sama-sama, Pak." Sebagai kepala departemen legal di perusahaan Khawas Group, Arkan dipercaya untuk mengurusi berbagai persoalan di Khawas Group yang berhubungan dengan legalitas. Dia mencintai pekerjaannya sebagaimana dia mencintai Melody. Dia merasa berkat Melody juga akhirnya bisa merasakan pekerjaan yang baik dengan berbagai fasilitas yang dia dapatkan dari Khawas Group. Hal itu yang membuat Arkan berusaha bekerja semaksimal mungkin agar tidak membuat Melody malu karena telah memilihnya menjadi pendamping hidup. Arkan sadar meski telah memiliki anak, sampai detik ini Melody belum bisa membuka pintu hati sepenuhnya untuk cinta Arkan. Dia merasa Melody masih membatasi diri untuk bisa menerima Arkan di dalam hatinya. Namun Arkan tidak pernah berkecil hati soal itu, karena dia yakin suatu hari kelak Melody akan mencintainya sebagaimana dia juga mencintai Melody dengan tulus. Terlepas dari dia tahu juga kalau Melody hanya menjadikan pernikahan mereka sebagai bentuk pelarian dari cintanya pada laki-laki lain. Hingga usia pernikahan Arkan dan Melody sudah melewati waktu delapan tahun lamanya, Arkan tidak pernah tahu siapa laki-laki yang masih berkuasa penuh di singgasana hati Melody hingga detik ini. Dari ruangannya Arkan bergegas menuju ruang meeting. Langkahnya semakin panjang setelah menghubungi sekretaris Luthfi Khawas dan mendapat kabar bahwa atasan sekaligus kakak iparnya itu sudah menunggu di ruang meeting. Selalu tepat waktu, begitu gumam Arkan mengingat salah satu tabiat baik kakak ipar yang begitu dikaguminya. Di dalam ruang meeting sudah menunggu beberapa pejabat tertinggi Khawas Group dan pemegang saham yang siap mendegarkan pengumuman penting siang ini. Arkan duduk di samping Gina, sekretaris Luthfi Khawas setelah menyerahkan dokumen yang dibutuhkan pada Luthfi. "Perkenalkan saya Hanif, lawyer yang dipercaya Ibu Rhiana untuk mengawal proses pembagian saham Khawas Group," ujar seorang laki-laki berusia sekitar lima puluhan yang memperkenalkan dirinya sebagai pengacara dari Rhiana Pramudya. Luthfi menoleh pada Arkan lantas mengangguk seraya menyerahkan kembali dokumen yang tadi diterima dari Gina. Setelah merasa semua orang yang berkepentingan sudah hadir di ruang meeting Luthfi berbisik pada Arkan. "Melody mana?" tanyanya dengan suara lirih. Arkan hanya menggeleng lemah sedangkan Luthfi hanya mendesah pasrah mendengar adik perempuannya yang tidak hadir dalam acara penting seperti ini. "Melody mempercayakan semua hasil meeting ini sama Bang Luthfi," balas Arkan dengan suara lirih yang hanya bisa didengar oleh dua orang itu saja. "Ya sudah saya mulai rapat ini," ujar Luthfi melangkah tenang menuju podium untuk membuka rapat terbuka pemegang saham sekaligus mengumumkan pelepasan saham milik Rhiana Pramudya dari Khawas Group. Rapat berlangsung sekitar dua jam lamanya. Lagi-lagi rapat menemui jalan buntu. Rhiana Pramudya tidak menerima dengan hasil pembagian saham yang telah disahkan oleh Luthfi Khawas. Bahkan dia meninggalkan ruang rapat sebelum rapat resmi diakhiri. Setelah mendapat persetujuan dari Luthfi, dengan langkah tergesa Arkan menyusul Rhiana. Dilihatnya wanita itu hendak masuk ke dalam lift. Beruntung Arkan berhasil menahan lift dan ikut masuk ke dalam kubik raksasa itu bersama Rhiana. "Kak Ana kenapa bersikap kekanakan seperti ini?" tanya Arkan setelah lift bergerak turun ke lantai dasar. "Seharusnya saya yang tanya sama kamu, Arkan. Kamu sengaja ingin memancing saya?" "Kak Ana jangan salah sangka dulu. Itu angka yang sudah disepakati oleh Bang Luthfi. Bahkan Bang Luthfi melebihkan dari angka yang aku sodorkan sebelumnya." "Dan ekspektasi saya nominalnya melebihi itu. Kamu itu sebenarnya memihak saya atau kakak iparmu, huh?" tantang Rhiana. "Aku tidak memihak siapa-siapa, Kak. Aku bekerja sesuai job desk yang diberikan perusahaan kepadaku," jawab Arkan hati-hati, khawatir kata-katanya menyinggung perasaan Rhiana. "Saya juga tahu soal itu. Tapi kamu sudah berjanji akan membantu untuk mendapatkan hak saya. Lagipula semua saham milik saya itu akan saya serahkan sepenuhnya untuk Dani, bukan untuk saya sendiri." "Aku paham niat Kak Ana.  Aku sudah berusaha membantu semaksimal mungkin." "Semaksimal mungkin kamu bilang? Satu hal yang harus kamu ingat tidak ada kata maksimal dalam kamus hidup saya menyangkut bantuan kamu Arkan. Tanpa saya kamu tidak akan pernah bisa merasakan yang namanya kuliah di luar negeri tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun, mengenal Melody dan ada di posisimu seperti sekarang ini. Sampai di sini kamu paham, kan, Arkana Ghautama? Kenapa saya bilang tidak ada kata maksimal menyangkut bantuan yang kamu berikan untuk saya." Rhiana meninggalkan Arkan begitu saja. Arkan masih terpaku di tempatnya berdiri saat ini. Bahkan meski mobil milik Rhiana sudah melaju meninggalkan basemen, Arkan tidak berniat untuk bergeser dari tempatnya berdiri barang sesenti pun. Ucapan dari Rhiana memukul telak tepat di jantung hatinya. Teguran dari penjaga keamanan membuat Arkan tersadar dan dia memutar tubuh meninggalkan basemen. Arkan berjalan lesu menuju lift vip. Ucapan terakhir Rhiana bahkan masih terus terngiang di telinganya sepanjang langkah dia kembali ke ruang meeting. *** Arkan pulang terlambat malam ini. Dia harus mengurus legalitas hasil pembagian saham tadi siang. Arkan sudah mengabari pada Melody sebelumnya soal keterlambatan malam ini. Arkan masuk rumah dengan menggunakan kunci serep yang selalu dibawanya. Saat dia masuk rumah, suasana di dalamnya sudah sepi dan hanya menyisakan lampu tidur yang ada di samping televisi sebagai penerang bagian dalam rumah. Saat melangkah memasuki rumah, Arkan meraih gelas berisi air putih yang telah disediakan oleh Melody di atas meja makan. Kemudian Arkan membuka tudung saji, sudah tersedia beberapa menu masakan. Sayang sekali perutnya sudah terlalu penuh karena tadi abang iparnya sudah menjamu Arkan di sebuah restoran yang terletak tak jauh dari kantor. Arkan mengendap perlahan memasuki kamarnya. Dilihatnya Melody sedang tertidur pulas menghadap pintu kamar. Malam ini Arkan ingin menatap puas wajah istrinya tanpa penolakan seperti biasanya dari Melody. Memandangi wajah Melody saat terlelap menjadi hibernasi tersendiri bagi tubuh Arkan yang sudah berada di titik terlelah. Setelah duduk di tepian ranjang, Arkan mencium kening Melody. Ditatapnya wajah terlelap itu lekat-lekat. Disentuhnya secara perlahan setiap inci wajah Melody, hidung mancung, bibir penuh dan bulu mata lentik. Arkan masih termenung menatap wajah Melody yang tidak sama sekali terganggu oleh sentuhannya tadi. Arkan benar-benar jatuh cinta pada Melody tetapi dia tidak pernah tahu secara pasti tentang perasaan istrinya itu padanya. Meski hidup berumah tangga sudah lama tidak pernah ada satu kata cinta pun terucap dari bibir Melody yang ditujukan untuk Arkan. Padahal Melody begitu mudahnya mengucapkan kata sayang pada Levi, buah hati mereka. Namun bukan berarti Melody menjadi istri pembangkangg. Dia justru menjadi istri paling sempurna di mata Arkan. Segala kebutuhan Arkan terpenuhi dengan baik, bahkan Melody rela meninggalkan kariernya demi bisa menjadi ibu dan istri yang terbaik untuk suami dan anaknya. Setelah puas menatap Melody yang sedang terlelap, Arkan beranjak berdiri dari tepian ranjang. Dia menuju kamar mandi, mencuci muka dan mengganti pakaian kerjanya dengan piyama yang telah disiapkan oleh Melody di ujung ranjang. Dia segera menyusul Melody ke peraduan. Aroma sitrus khas parfum milik Melody mengundangnya untuk semakin dekat pada tubuh Melody. Beusaha menepis keraguan dalam hatinya, Arkan mendekatkan diri untuk memeluk Melody. Merasa ada sesutu yang membebani pinggangnya, Melody bergerak dan mengubah posisi tidurnya menjadi memunggungi Arkan. Sebuah helaan napas kasar dikeluarkan oleh Arkan. Sikap Melody memang selalu seperti ini selama delapan tahun berumah tangga. Wanita itu selalu bersikap dingin menghadapi suaminya di ranjang. "Melody..." bisik Arkan lembut. Kebutuhannya akan menyentuh Melody sudah tidak bisa terelakkan lagi. Melody menggeliat dalam tidurnya. Dia ingin berpura-pura tidur, tapi tangan Arkan sudah menelusup di balik pakaian tidur yang dikenakannya, sembari memberikan kecupann-kecupann penuh hasratt. Jantung Melody mulai berdebar kencang. Meski sentuhan Arkan ini bukan untuk yang pertama kalinya, tetap saja rasa canggung masih terus menyelinap masuk di relung hati Melody. Perlahan Melody membalikkan tubuh menghadap Arkan. Dilihat suaminya itu kini tengah menatap sayu padanya.  "Kamu udah pulang?" tanya Melody dengan suara serak khas orang bangun tidur. "Aku mau kamu," bisik Arkan dengan suara parau, menyatukan keningnya dengan kening Melody. Dengan mata mengantuk Melody menerima dengan pasrah semua perlakuan mesra Arkan untuknya. Sepertinya lebih baik begini. Dia lebih suka melayani suaminya untuk urusan ranjang dalam keadaan setengah sadar. Karena bila kesadarannya sudah kembali seutuhnya, maka yang ada Melody akan menolak Arkan dengan berbagai macam cara, seperti yang sudah-sudah. Saat Melody hendak melepas pakaian tidurnya, Arkan melarangnya. Dia ingin melakukannya sendiri. Dia ingin menyentuh setiap inci tubuh Melody malam ini. Tangan Arkan bergerilya di sekujur tubuh Melody, mencumbunyaa dan menyentuhh setiap titik sensitif dari tubuh Melody. Demi memuaskan hasratt suaminya, Melody tidak menolak, lebih tepatnya terpaksa tidak menolak dan mengikuti semua permainan ranjang yang diberikan Arkan padanya. Saat Arkan hendak mencapai klimakss, dia bertanya pada Melody, "kamu sudah keluar?" tanyanya sembari mengusap kening Melody yang nampak berpeluh, bukan peluh karena dia ikut beraktivitas di ranjang, tetapi karena memang hawa kamar yang terasa hangat. Arkan lupa mendinginkan suhu pendingin ruangan sebelum memulai aksinya menyentuh Melody. Melody mengangguk ringan. Lagi-lagi dia membohongi Arkan. Selalu begitu hanya demi menyenangkan perasaan suaminya. Arkan menciumii bibir Melody dengan penuh hasratt ketika meraih kepuasannyaa. "I love you, Melody," ucap Arkan, kemudian dia ambruk di samping Melody.  Tak satu katapun terucap dari bibir Melody untuk membalas kata cinta yang diucapkan oleh Arkan. Dia meraih kotak tisu di atas nakas samping ranjang untuk membersihkan miliknya dan bergegas menuju kamar mandi untuk membasuh tubuh dari sisa percintaann mereka berdua. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD