Sejak malam di mana secara tidak langsung Bayu menyampaikan rencana jangka panjangnya, dia sudah tidak pernah lagi membahas soal rumah tangga dan rencana pernikahan lagi dengan Melody. Sikap Bayu tiba-tiba datar, dia berubah 180 derajat dari Bayu yang Melody kenal selama beberapa bulan terakhir. Membuat Melody jadi ingin mempertanyakan kembali tentang hubungan mereka. Sayangnya Bayu sulit sekali ditemui. Laki-laki itu seolah larut dalam pekerjaannya. Tentu saja Melody percaya karena dia bisa memantau soal aktivitas pekerjaan Bayu dari Teguh. Dan Melody pun yakin kalau Bayu memang sedang mencoba menghindar darinya tapi tak berniat berpaling pada perempuan lain.
Sekalinya bertemu pun pertemuan itu terasa hambar. Percakapan mereka mulai terasa dingin dan seolah mulai tercipta tembok besar bernama jarak. Pertemuan mereka juga seperti terkesan hanya sebuah formalitas kalau keduanya masih terikat dalam hubungan kasih asmara. Melody sedih dan ingin meminta pada Bayu bertanya pada hati kecilnya apakah masih menginginkan hubungan mereka ini atau sudah mulai lelah mempertahankan hubungan yang terus mengambang selama hampir satu bulan lamanya.
Ketika sikap dingin Bayu sudah melewati batas kesabaran Melody, tak ada waktu lagi bagi perempuan itu menunda untuk mengutarakan isi hatinya. Melody mengajak Bayu menghabiskan quality time berdua di kos Bayu saja untuk berbicara dari hati ke hati apa yang mereka berdua rasakan dan inginkan dari hubungan ini.
“Kamu sendiri maunya apa?” tanya Bayu datar, nyaris tidak ada ekspresi di wajah Bayu, setelah Melody menyampaikan uneg-uneg yang dia rasakan selama hampir dua bulan terakhir.
“Aku mau kita kayak biasanya. Jangan diemin aku kayak gini, A'.”"Aku nggak diemin kamu. Aku sibuk kerja, Mel."
“Iya aku tahu kamu sibuk. Tapi kamu nggak tahu rasanya jadi aku, didiemin tanpa alasan sama kamu itu, menyakitkan!"
"Mau tahu alasannya? Sekarang coba kamu tanya sama hati kecilmu, gimana rasanya ketika kamu menyampaikan rencana jangka panjang sebuah hubungan dengan orang yang kamu cintai dan berharap bisa meraih kesuksesan terhadap rencana indah itu, tetapi tanggapan orang yang kamu cintai itu hanya biasa saja. Sakit nggak?”“Aku bukan menanggapi biasa saja. Aku cuma masih kaget. Aku juga nggak pernah bilang menolak rencana itu.”
.”Tapi sikap kamu itu sudah menunjukkan penolakan, Mel. Bukan cuma sekali, loh, kamu menunjukkan sikap seperti itu.”
“Salah, kalau asumsi A’a seperti itu.”
“Jangan salahkan aku kalau berasumsi seperti itu, tapi pertanyakan ke hati kecilmu. Gimana rasanya kalau kamu ada di posisi aku? Aku ini bukan sekedar sedang ngasih kamu janji manis sebuah kebahagiaan pernikahan yang utuh, tapi benar-benar tindakan. Aku tulus sama kamu, Melody.” Napas Bayu mulai terlihat naik turun mengendalikan perubahan emosi yang ada di dalam jiwanya. Egonya sebagai laki-laki sedang diuji saat ini.
“Aku bukan nggak mau menikah dengan A’a. Aku hanya butuh waktu untuk memikirkan kembali soal pernikahan tapi bukan karena aku sudah nggak cinta. Please... bedakan soal dua hal itu. Aku punya dua alasan untuk saat ini, pertama kakak perempuanku baru menikah. Kedua, aku masih pengen kerja, mengejar karier dan membuktikan pada abangku kalau aku bisa sukses meski tanpa campur tangan dari dia, A’,” kata-kata yang diucapkan oleh Melody di akhir kalimatnya terdengar seperti orang yang sudah frustrasi saat menjelaskan sesuatu hal.
“Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk memikirkan kembali rencana jangka panjang hubungan kita, Mel?”
“Sekitar satu atau dua tahun lagi. Setidaknya aku ingin menikah di usia matang, 25 tahun," jawab Melody tidak sanggup menahan kesedihannya lagi.
“Ya sudah kalau itu mau kamu,” jawab Bayu datar. Raut wajahnya kembali tanpa ekspresi, seolah raut wajah sedih Melody tidak ada arti baginya saat ini.
TIdak ada penyelesaian yang baik malam ini. Misalnya sebuah pernyataan hubungan mereka akan terus atau berakhir sampai di sini.
***
Bayu masih merasa sakit hati dan terus memendam kesakitannya itu seorang diri. Bahkan ketika Bayu menerima tawaran promosi jabatan, dia sama sekali tidak membicarakan soal kebahagiaan itu pada Melody.
“Lo jadi promosi, Bay?” tanya Teguh saat berkunjung ke kos Bayu.
“Masih bingung.”
"Jabatan, sih, oke. Area Credit Manager. Tapi untuk wilayah area Medan. Jauh pisan, Kang,” komentar Teguh.
“Makanya aku bilang masih bingung.”
“Siapa yang bikin lo bingung? Melody? Nyokap?”
“Dua-duanya. Kalau nyokap udah tahu dan nyerahin semua keputusan ke gue.”
“Melody? Gimana tanggapan dia?”
Bayu terdiam saat ditanya seperti itu oleh Teguh. Kepalanya tertunduk dalam ke arah jemari tangan yang sedang memutar batang rokok dengan tatapan kosong. Dia belum menyampaikan hal ini pada Melody. Dan sepertinya Melody juga belum mendengar perihal promosi jabatan itu dari atasannya, yang juga merupakan atasan Bayu di tingkat regional.
“Gue belum bilang apa-apa sama Melody.”
“Lo lagi ada masalah sama dia?”
“Ya... gitulah.”
Teguh mengerti tipikal seperti apa temannya ini. Meski dirayu seperti apa pun, Bayu tidak akan membuka persoalan pribadi di depan temannya sekalipun itu teman baiknya. Namun Teguh yakin suatu kemelut sedang dihadapi oleh Bayu dalam hubungan asmaranya dengan Melody.
***
Tiga bulan telah berlalu, Bayu memutuskan untuk menerima tawaran promosi jabatan itu. Tekadnya sudah bulat ingin memantaskan diri menjadi pendamping hidup yang baik untuk Melody dan yang tepat di mata keluarga Melody. Sayangnya cara Bayu pergi sama sekali tidak pantas dan menyakitkan. Dia pindah dari Bandung ke Medan tanpa membicarakan soal itu dengan Melody. Bahkan Bayu tidak menghubungi Melody sama sekali sejak mulai mengantor di kantor area Medan. Melody mendengar soal kepindahan dan kepergian Bayu dari Teguh.
Seiring berjalannya waktu hubungan keduanya semakin tidak sejalan hingga akhirnya perpisahan pun terjadi begitu saja tanpa ada kata berpisah bahkan membawa sejuta luka dan kesakitan yang belum sempat terungkap.
Tidak ada kata perpisahan yang menyenangkan. Bayu dan Melody menjalani hidup dengan menanggung kerinduan di hati masing-masing. Ditambah lagi Bayu berjuang keras menyesuaikan diri dengan kehidupan yang terasa begitu asing di tempat baru tanpa Melody. Dengan biaya hidup seadanya, karena Bayu sudah terlanjur membeli rumah di Bandung dengan pinjaman lunak khusus karyawan. Bayu tidak ingin terlalu lama menanggung hutang, jadilah dia mengambil waktu jangka pendek untuk pinjamannya. Sehingga potongan yang harus diterima setiap bulannya cukup besar, hampir separuh gajinya. Uang jasa produksi yang diterimanya pun sudah dipertaruhkan oleh Bayu untuk menambah uang pembelian rumah. Seperti rencana yang diutarakan pada Melody waktu itu. Harapan untuk menjalani kehidupan pernikahan yang bahagia bersama Melody masih ada, bahkan terus dibawanya meski harus terpisah oleh jarak dan waktu dengan kekasihnya itu.
Bayu menyembunyikan kondisi kehidupannya dari siapapun termasuk Melody. Dia tidak ingin Melody tahu kehidupan seperti apa yang tengah ia jalani saat ini. Sedangkan Melody harus menjalani hari-hari tanpa Bayu yang semakin terasa berat. Tidak ada lagi semangat dalam hidupnya. Dia pun memutuskan kembali ke Jakarta karena merasa tidak punya alasan bertahan lebih lama lagi di Bandung. Melody merasa Bayu sama sekali tidak ada usaha untuk memperbaiki apalagi memperjuangkan hubungan mereka.
***
Tahun telah berganti tetapi Bayu dan Melody sudah tidak pernah saling menghubungi lagi dan menganggap hubungan mereka telah benar-benar usai. Merasa sudah tidak diinginkan lagi oleh Bayu, akhirnya Melody memutuskan menikah dengan Arkan, laki-laki yang disarankan oleh kakak iparnya sebagai laki-laki yang pantas untuk menjadi pendamping hidupnya. Namun tidak ada pesta pernikahan seperti yang terjadi pada saat pernikahan Symphony, karena memang Melody yang menginginkan hal itu. Sempat terjadi perdebatan besar dengan kakak iparnya. Namun keputusan Melody sudah bulat. Dia bahkan mengancam tidak akan ada pernikahan dengan siapapun kalau Ana memaksa ingin membuat pesta pernikahan mewah untuk Melody dan Arkan.
“Apa yang membuat kamu mengambil keputusan mau menikah dengan Arkan?” tanya Luthfi, mendatangi kamar Melody setelah mendengar keputusan adik perempuannya.
“Nggak ada alasan.”
“Kenapa bisa begitu, Melo?”
Melody tersenyum getir. “Bang Luthfi yang sudah mengajarkan sama aku, kalau menikah bukan hanya perkara cinta. Bang Luthfi dan Kak Ana juga terlihat menyukai Arkan, itu saja sudah cukup kujadikan alasan mau menikah dengan dia,” ujarnya meraih salah satu tangan Luthfi, berusaha meyakinkan abangnya itu melalui sebuah genggaman hangat.
“Are you happy? Percuma kamu menuruti kebahagiaan orang lain kalau kamunya nggak bahagia, Melo,” nasihat Luthfi pada Melody.
“Aku bakal coba hidup bahagia dengan orang yang disukai oleh keluargaku. Seperti yang abang lakukan dulu.”
Luthfi mengusap kasar wajahnya dengan tangannya yang bebas dari genggaman Melody. “Pikirkan sekali lagi, Melo. Kamu nggak mau menghabiskan sisa hidupmu dengan orang yang salah, bukan?”
“Arkan bukan orang yang salah, Bang. Hanya saja dia datang di waktu yang tidak tepat.”
“Apa ada laki-laki lain yang menjadi pilihan hati kamu sendiri saat ini?” tebak Luthfi.
Melody menggeleng lemah, kepalanya tertunduk dalam, lalu tiba-tiba dia menengadahkan kepalanya untuk menahan supaya air mata itu tidak tumpah di hadapan abangnya.
“Bicara, Melo! Jangan diam saja. Abang tidak bisa mencari solusinya, kalau kamu hanya diam. Atau ada campur tangan orang lain dalam pengambilan keputusanmu menikah dengan Arkan?”
“Nggak ada, Bang. Semuanya murni keputusanku.”
~~~
^vee^