Memories-20 NOW

1773 Words
~NOW~ Jam dinding di kamar masih menunjukkan pukul lima pagi. Namun Jasmine terpaksa membangunkan Bayu untuk pamitan. Jasmine meletakkan telapak tangannya yang dingin di pipi Bayu, lantas mengusap pelan rahang suaminya. Benar saja tidak sampai hitungan menit suaminya itu sudah menggerakkan wajah. Semudah itu membangunkan seorang Bayu, pikir Jasmine. Ketika orang lain disentuh dengan lembut seperti tadi akan semakin nyenyak tidurnya, beda halnya dengan Bayu. Laki-laki itu akan terjaga dengan mudahnya.  “Kamu mau ke mana?” tanya Bayu setelah membuka lebar kedua mata dan menyandarkan punggung di kepala ranjang.  “Hari ini aku harus ikut atasan studi banding ke Manado. Dadakan ini, jadi aku nggak sempat cerita sama A’a,” jelas Jasmine.  “Berapa hari? Lody gimana?” tanya Bayu dengan suara serak khas orang bangun tidur.  “Cuma dua malam aja. Besok lusa udah balik ke Jakarta lagi. Aku sudah hubungi Mirna untuk jemput Lody seperti biasa pulang sekolah. Kalau berangkatnya bisa sama A’a, kan?” tanya Jasmine harap-harap cemas. Bayu mengangguk pelan. “Pulangnya biar aku yang jemput. Nanti aku langsung antar ke day care,” ujar Bayu.  “Hari ini Lody ada les tambahan.” “Di sekolahnya? Atau di rumah guru les?”  “Les private di rumah ini.” “Di rumah ini? Jam berapa? Kalau jam kerja mana bisa? Nggak ada yang dampingin nanti.” “Yang mengajar wali murid, A’. Aku kenal dan wali kelasnya juga kenal baik sama wali murid itu. Anaknya wali murid itu juga termasuk murid paling cerdas di kelas Lody. Jadi nggak perlu khawatir terjadi sesuatu yang buruk sama Lody saat nggak berada di bawah pengawasan orang tua ataupun guru.” “Nggak usah. Aku nggak suka ada orang asing masuk rumahku selagi aku nggak ada di rumah!” tegas Bayu.  “Tapi aku udah terlanjur janji.” “Batalkan!” jawab Bayu, beranjak dari ranjang.  “Ini demi Lody. Wali murid itu janji kalau Lody pasti bisa mengimbangi kemampuan murid yang lain di bawah pengasuhannya,” jelas Jasmine, berusaha mengejar Bayu yang hendak masuk kamar mandi.  “Kamu nggak dengar aku bilang apa? Kalau mau anak kamu secerdas murid-murid yang lain, luangkan sedikit waktu kamu untuk mendampingi Lody belajar,” jawab Bayu, menutup pintu kamar mandi dan menguncinya.  “Trus aku mesti gimana sekarang ini?” “Kalau kamu mau berangkat kerja, silakan! Biar keperluan Lody aku yang urus. Tapi untuk les private di rumah ini nggak usah. Kalau memang Lody membutuhkan les tambahan cari guru les yang profesional bila perlu yang bersertifikat dan memiliki tempat les khusus.” Ucapan Bayu sudah tidak bisa diganggu gugat. Jasmine memilih akan memikirkan pilihan kedua dari Bayu, daripada dia harus terlambat berangkat kerja pagi ini. Sejak tadi ponselnya tidak berhenti berdering. Pasti jemputan sudah datang, begitu yang dipikirkan oleh Jasmine. Menyambar tas jinjing dan blazernya, Jasmine berjalan tergesa keluar dari kamar. Tak lupa dia berpamitan pada Bayu yang masih berada di kamar mandi. Tanggapan Bayu seperti biasa datar dan hanya mengucap hati-hati di jalan tanpa perlu merepotkan diri keluar dari dalam kamar mandi, apalagi sampai mengantar istrinya hingga ke pintu, untuk memastikan dengan siapa dan menggunakan alat transportasi apa istrinya itu pergi dari rumah. *** Sekitar pukul setengah tujuh pagi Lody sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Seperti biasa dia mandi dan mengenakan seragamnya sendiri. Namun rambutnya terlihat masih berantakan. Seperti biasa Bayu yang bertugas merapikan dan menata rambut Lody. Sebuah ikatan kucir kuda sederhana. Jangan harap Lody akan memiliki tatanan rambut unik seperti teman sekolah perempuan yang lainnya. Kemampuan Jasmine menata rambut Lody pun hanya sebatas mengucir ekor kuda dan kepang dua ala telinga kelinci. Jadi Lody cukup berpuas diri tidak memiliki tatanan rambut seunik dan selucu teman-temannya.  “Kalau Bunda berangkat subuh berarti keluar kota ya, Yah?” tanya Lody setelah berada di dalam mobil sembari mengenakan seatbelt.  “Iya, Bunda ke Manado sampai besok lusa.” Kepala Lody hanya mengangguk paham tanpa dia repot-repot mencari tahu di mana dan tempat apa itu kota bernama Manado. Lody memang anak yang tidak terlalu ingin tahu terhadap sesuatu. Dia benar-benar mewarisi karakter Bayu. “Lody jadi mau ikut sentra apa?” tanya Bayu, berusaha menjalin komunikasi dengan putrinya di tengah jalanan ibukota yang mulai padat merayap.  “Sama Levi diajak masuk sentra seni dan ikut kelompok paduan suara. Tapi Lody takut nggak bisa, Yah.” “Kenapa Lody ngomong gitu? Memang sudah dicoba? Lody sukanya apa kalau Ayah boleh tahu?”  “Nggak tau, Yah.” “Apa di sentra seni itu hanya diajarin main musik sama nyanyi-nyanyi aja? Nggak ada seni yang lain seperti melukis, menari atau membaca puisi mungkin.” “Nggak tau.” Bayu menghela napas berat mendengar jawaban tidak bersemangat dari Lody. Dia pun tidak melanjutkan lagi obrolan seputar kegiatan sekolah yang kurang menarik minat anak perempuannya itu. Terbukti saat Bayu membahas hal-hal lain di luar sekolah, Lody berbicara lebih banyak ketimbang jawaban nggak tau seperti beberapa saat yang lalu.  ***  Sesampainya di parkiran sekolah Lody, Bayu sengaja ikut turun dan mengantar Lody hingga ke gerbang sekolah. Lody terlihat bahagia dan riang menyambut uluran tangan Bayu yang hendak menggandengnya. Lody berjalan sembari melompat riang. Ketika Bayu memintanya untuk jalan tenang, anak itu malah menyeringai dan mengayunkan tangan mungil yang tengah berada di dalam genggaman hangat ayahnya lebih kencang.  “Aunty Mel…” teriak Lody dengan suara cemprengnya. Dia melepas genggaman ayahnya lalu berlarian menuju ke arah Melody yang sedang berdiri, mengobrol dengan guru kelas yang membina sentra seni.  Lody menubruk tubuh Melody dan memeluk pinggang wanita itu dengan erat. “Kapan makan es krim bareng lagi?” tanya Lody setelah mengurai pelukannya.  Melody tertawa lalu memberi kode pada guru pembina sentra seni untuk memberinya waktu menjawab pertanyaan Lody.  “Nanti ya. Lody masuk kelas dulu. Udah ditungguin sama Miss tuh,” ujar Lody lembut.  Bayu masih melanjutkan langkahnya menuju ke arah Melody. Sesaat setelah Lody melewati gerbang sekolah barulah Melody sadar kalau yang mengantar Lody pagi ini ke sekolah adalah Bayu. Langkah Bayu semakin dekat, hal itu membuat Melody hampir melupakan segala hal yang hendak ia sampaikan pada guru pembina sentra seni. Konsentrasinya buyar seketika saat melihat kehadiran Bayu di sekitarnya.  Bel masuk berbunyi nyaring, pertanda para siswa harus segera berbaris untuk melakukan rutinitas pagi sebelum masuk kelas masing-masing dan juga saatnya gerbang sekolah ditutup. Guru pembina sentra seni terpaksa menghentikan obrolannya dengan Melody karena dia harus segera masuk ke dalam halaman sekolah sebelum pintu gerbang ditutup.  “Kamu pengen masuk untuk lihat kegiatan anak-anak di pagi hari?” tanya Melody saat melihat Bayu celangak celinguk di depan pintu gerbang yang tingginya melebih tinggi tubuhnya sudah tertutup rapat.  “Memang bisa?” tanya Bayu, mensejajarkan posisinya dengan Melody.  “BIsa, tapi lewat belakang gedung.” Bayu menahan senyumnya. “Kayak bolos sekolah aja lewat belakang gedung,” komentarnya.  Melody balas terkekeh komentar Bayu. “Orang tua rela melakukan apa pun demi melihat anak-anaknya. Meski kelihatan seperti siswa yang sedang bolos sekolah sekalipun.”  “Kayaknya kamu pengalaman?” “Banget. Dan aku nggak sendiri.” Kali ini Bayu benar-benar tersenyum. “Kamu melakukan itu demi anak atau hanya untuk memuaskan rasa ingin tahumu?”  “Dua-duanya. Waktu itu Levi cuma diam, sekalinya ngomong irit banget tiap ditanya soal sekolahnya. Aku kan penasaran, ya udah aku cari cara untuk melihat kegiatan sekolah Levi dari jarak lebih dekat tapi tanpa perlu takut ketahuan sama anaknya.” Bayu menatap dalam saat Melody bercerita. Selain sedang memahami maksud penjelasan Melody, dia juga sedang mencoba merekam setiap ekspresi dan suara yang ditampilkan oleh Melody. Tidak ada yang berubah meski waktu telah berlalu sembilan tahun. Ponsel di kantong celana bahannya bergetar. Bukannya meraih ponsel yang masih bergetar tersebut, dia justru  melirik ke arah jam tangannya. Sudah waktunya dia harus meluncur ke kantor. Padahal tadi niatnya hanya mengantar Lody sampai pintu gerbang lalu meninggalkan sekolah setelah memastikan Lody masuk ke dalam halaman sekolah. Namun ternyata waktu berkata lain, kehadiran Melody menahannya untuk tinggal lebih lama di depan pintu gerbang sekolah. Bahkan Bayu dan Melody tidak sadar kalau mereka berdua sudah menghabiskan waktu selama lebih dari lima belas menit hanya untuk mengobrol hal ringan dengan posisi saling berdiri.  “Kamu mau kerja?” tanya Melody hat-hati.  “Iya, aku harus ke kantor sekarang,” jawab Bayu.  Melody mengangguk paham. Dia merogoh tas selempangnya, mengeluarkan dompet serta sebuah kartu nama dari dalamnya. Kemudian menyodorkan kartu nama tersebut pada Bayu.  “Kartu nama siapa?” tanya Bayu setelah membaca nama yang tertera di kartu nama tersebut.   “Salah satu usahaku. Kerja sama dengan kakak iparku. Di situ ada nomer handphone aku,” jelas Melody, menunjuk kontak ponsel miliknya yang tertera di kartu nama. “Mamanya Dani?” terka Bayu.  “Oooh...Bukan. Tapi omong-omong kamu masih ingat Dani?” “Tentu saja,” jawab Bayu. Nggak ada satu hal pun yang bisa aku lupakan tentang kamu Melody, lanjut Bayu di dalam hatinya.  “Oh… ya tapi itu bukan mamanya Dani,” jawab Melody, dia kehabisan kata-kata untuk memberi penjelasan pada Bayu. Beruntung Bayu bukan tipikal orang yang selalu ingin tahu urusan orang lain. Dia hanya memberi respon sebuah anggukan lalu menyimpan kartu nama dari Melody di dalam kantong kemejanya.  “Aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Melody.  “Tanya apa?”  “Kenapa kamu memberi nama anakmu seperti namaku?”  Pertanyaan itu kontan membuat Bayu harus menatap Melody. Senyum khas Melody yang selalu ia rindukan sepanjang waktu selama sembilan tahun tiba-tiba terbit di depan mata Bayu, hingga membuat Bayu salah tingkah, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal seperti murid yang sudah tertangkap basah bolos sekolah.  “Aku mau ke parkiran sekarang. Takut semakin terlambat sampai kantor,” ujar Bayu, berpamitan pada Melody. Lebih tepatnya menghindari pertanyaan dan tatapan penuh intimidasi dari Melody.  “Kamu belum jawab pertanyaanku udah mau pergi aja. Begini cara seorang ayah dari satu orang anak menyelesaikan suatu masalah? Kamu juga masih punya hutang satu penjelesan sama aku, Bayu.” “Penjelasan soal apa?” Melody menata serius wajah Bayu. “Alasan kamu pindah ke Medan secara mendadak dan nggak pernah ngasih aku kabar selama bertahun-tahun.” Bayu menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskan secara kasar. “Nanti...suatu saat pasti akan aku ceritakan sama kamu.” “Berarti kita masih punya kesempatan bertemu lagi setelah ini?” “Maaf...aku sedang terburu-buru,” kilah Bayu, lagi. “Ya udah...Aku juga buru-buru,” jawab Melody kesal. Dia berjalan mendahului Bayu menuju ke tempat mobilnya diparkir. Bayu mempersilakan Melody masuk ke dalam mobilnya terlebih dulu. Melody yang masih kesal terhadap sikap Bayu tak mengucapkan sepatah katapun pada Bayu. Dia bahkan tidak menoleh untuk menyampaikan ucapan selamat jalan meski tahu Bayu masih menunggunya meninggalkan tempat parkir, sebelum akhirnya Bayu masuk ke mobilnya sendiri. ~~~ ^vee^ 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD