~NOW~
Bayu masuk ke dalam mobilnya. Dari kejauhan dia masih terus memandangi mobil Melody. Sebuah penyesalan menyesakkan terus merasuk ke relung hatinya. Salahnya dulu meninggalkan Melody begitu saja. Hanya karena egonya sebagai laki-laki terusik dia lantas mengambil keputusan konyol itu. Dia juga tidak ada perjuangan untuk mempertahankan sebuah rasa yang jelas-jelas masih tersimpan utuh di hatinya. Harapannya untuk menjadi pendamping yang baik bagi Melody harus kandas. Dia harus bisa melupakan mimpinya untuk membangun biduk rumah tangga yang bahagia bersama Melody.
Namun Bayu merasa usahanya untuk melupakan dan melepas Melody sepertinya harus sia-sia bila takdir berkata lain dengan mempertemukan mereka kembali dengan jalan seperti ini. Tidak hanya kebetulan semata. Semesta pasti sedang berkompromi dengan takdir dalam menguji keteguhan hati Bayu.
“Ayah? Ayo, pulang!” tepukan Lody di pundak Bayu membuat laki-laki tersadar dari lamunan semu.
“Iya, kita pulang sekarang,” jawab Bayu, berusaha mengembalikan konsentrasinya mengemudikan mobil.
“Bunda beneran nggak bisa jemput Lody ya, Yah?” tanya Lody setelah diam selama hampir setengah perjalanan mereka.
“Iya, Bunda kerja,” jawab Bayu tenang.
“Harusnya kan yang sibuk kerja Ayah. Levi juga gitu. Teman-teman Lody yang lain juga gitu,” gerutu Lody.
“Sama aja Lody. Mau jajan dulu apa langsung pulang nih?” tawar Bayu, berusaha meraih hati Lody yang sedang suntuk tanpa sebab itu.
“Mau langsung pulang aja. Lody ngantuk.”
“Yakin? Nggak pengen cokelat? Atau mau es krim lagi?”
“Ayah nggak buru-buru memangnya? Kalau Bunda biasanya abis jemput langsung antar Lody pulang karena buru-buru.”
“Nggak buru--buru. Lody pengen makan apa?”
“Mau burger.”
Bayu tertawa mendengar jawaban putri semata wayangnya itu. “Nggak ada cokelatnya itu,” jawab Bayu terkekeh geli.
“Lody juga tau, Ayah. Masa burger pakai cokelat? Mana enak.”
“Oke...let’s go!” jawab Bayu, mengarahkan mobil menuju gerai toko makanan siap saji yang menyajikan makanan yang diinginkan oleh Lody.
***
Di kafenya, Melody duduk seorang diri di salah satu sudut kafe. Dia melamun memikirkan pertemuan dengan Bayu yang terjadi di luar dugaan dan kuasanya. Melody menyentuh kedua pipinya, sedikit memberi cubitan dan kini dia sedikit meringis menahan sakit akibat perbuatannya sendiri. Melody tidak sedang bermimpi. Pertemuannya dengan Bayu beberapa menit yang lalu benar-benar terjadi di dunia nyata.
Melody meraih ponsel. Dia masuk ke dalam group chat berisikan contact person para wali murid yang tergabung dalam kelas yang sama dengan Levi. Dia mencari nama Bayu, berharap laki-laki itu mendaftarkan nomor ponselnya di dalam grup. Namun Melody tidak mendapatkan hasil dari pencarian nama Bayu. Rasa penasaran yang tidak bisa dikalahkan oleh apa pun saat ini membuat Melody rela mencari tahu melalui wali murid lain dan terakhir bertanya langsung pada wali kelas Levi.
Melody membaca hingga berulang kali deretan nama yang tampil di layar ponselnya. “Jasmine Florisa?” Sekali lagi Melody mengucapkan nama itu dengan lirih. Dia merasa seperti pernah mendengar nama itu, tapi Melody benar-benar lupa. Melody tidak terlalu memikirkan di mana dia pernah mendengar nama itu. Dia segera menyimpan nomor ponsel milik Jasmine Florisa ke daftar kontak di ponselnya. Melody menyimpan kembali ponsel ke dalam tasnya. Dia harus mempersiapkan diri untuk melakukan wawancara kerja dengan pelamar yang dijadwalkan akan datang satu jam lagi.
***
“Kamu sudah makan?” tanya Arkan sepulang dari kantor di jam yang tidak biasanya.
“Tadi udah makan sama Levi,” jawab Melody tanpa memindai pandangannya dari layar televisi di ruang tengah. Meski pandangannya ke televisi, pikiran Melody sedang tidak berada di tempatnya.
Akhirnya Arkan menikmati makan malamnya seorang diri, tanpa ditemani oleh Melody. Malas berdebat Arkan membiarkan saja istrinya dengan maunya itu. Setelah selesai makan barulah Arkan ikut bergabung di ruang tengah bersama Melody.
“Ngapain aja kamu hari ini? Kayaknya capek banget?” tanya Arkan.
Melody membenahi posisi duduknya saat menyadari Arkan sudah berada di sampingnya.
“Beraktivitas kayak biasanya aja.”
“Udah dapat karyawan baru untuk kafe?”
“Sudah. Besok mulai kerja.”
Arkan tidak bertanya apa-apa lagi. Dia ikut menonton acara televisi pilihan Melody.
“Levi minta mancing,” ungkap Melody tiba-tiba.
“Tumben?”
“Tadi ikut Saga ke toko alat olah raga, trus di sampingnya ada toko alat pancing gitu. Dia nggak mau pulang sebelum dibelikan alat pancing.”
“Trus akhirnya gimana?” tanya Arkan ikut penasaran.
“Terpaksa dibelikan sama Saga setelah ada adegan sinetron, Levi nangis bombay,” kata Melody sambil menggelang heran.
“Udah diganti itu duit buat beli alat pancingnya?”
“Saga nggak mau. Katanya hadiah buat Levi, malah pakai acara ngajakin Levi mancing bareng pula kan. Makin semangatlah itu anak. Sejak pulang dari kafe, mancing mulu yang jadi topik pembicaraan dia.”
“Apa perlu kita bikin jadwal liburan sekalian mancing bareng Levi ya? Udah lama banget kita nggak liburan bareng. Gimana?”
“Kalau aku terserah. Tapi risikonya kamu yang nanggung kalau sampai liburan itu nggak terealisasi. Tahu sendiri Levi kalau udah dijanjiin nagihnya ngalah-ngalahin debt collector.”
Arkan tertawa mendengar komentar Melody seolah membenarkan apa yang dikatakan oleh istrinya itu soal anak laki-laki mereka. Keduanya lalu sepakat akan mengajak Levi liburan di kolam pancing keluarga yang dulunya adalah milik Melody. Namun setahun belakangan kepemilikannya sudah dialihkan pada orang kepercayaan Melody.
***
Keesokan paginya saat menikmati sarapan bersama, Arkan menyampaikan soal rencana liburannya pada Levi. Anak laki-laki itu terlihat antusias mendengarkan apa yang disampaikan oleh ayahnya.
“Kapan kita pergi mancing, Pa?” tanya Levi ceria.
“Nanti hari Minggu. Sekarang Papa harus kerja dulu,” jawab Arkan penuh kepastian.
Sekarang hari apa, Mom?” tanya Levi pada Melody.
“Selasa,” jawab Melody.
“Yaaah...masih lama lagi,” seru Levi dengan raut wajah penuh kecewa, sembari menghitung jumlah hari setelah hari selasa hingga Minggu.
Melody memberikan lirikan maut pada Arkan, meminta Arkan mempertanggungjawabkan janjinya pada Levi. “Nggak lama kok. Sekarang kamu siap-siap, Mommy nggak mau kamu merengek di mobil cuma gara-gara takut telat masuk sekolah.”
Levi menunduk lesu. Pupus sudah harapannya memancing dalam waktu dekat, karena dia masih menunggu hingga beberapa hari ke depan untuk mewujudkan keinginannya itu. Anak laki-laki itu segera menghabiskan sarapannya dan berlarian menuju kamar untuk mengambil tas sekolahnya.
“Levi jadi masuk sentra apa?” tanya Arkan setelah hanya tinggal berdua dengan Melody di ruang makan.
“Tumben kamu pengen tahusoal sekolah Levi?”
“Mel! Jangan mulai, deh. Ini masih pagi.”
“Aku tetap memasukkan dia ke sentra seni.”
“Ya sudah kalau itu keputusan kamu,” jawab Arkan pasrah.
Melody mengikuti langkah Arkan menuju garasi dan menunggu suaminya sampai berangkat ke kantor. Melody masuk kembali ke dalam rumah setelah memastikan mobil Arkan menghilang dari pandangannya.
“Levi??? Ayo, buruan!” pekik Melody dari arah garasi. Kali ini giliran dia yang mengeluarkan mobil dari dalam garasi.
“Yes, Mom!” jawab Levi berlarian dari arah kamar menuju mobil yang sudah diparkir di depan pagar oleh Melody.
Melody memastikan isi tas Levi berisi buku-buku sesuai dengan mata pelajaran hari ini dan tidak membawa mainan jenis apa pun di dalam tasnya. Karena pernah beberapa waktu lalu Levi ketahuan membawa mainan robot-robotan dan disita oleh guru kelasnya. Alhasil Melody harus memenuhi panggilan wali kelas di ruang guru, disaksikan guru-guru lain untuk kesalahan Levi yang sebenarnya sepele. Namun kata wali kelasnya Levi melakukan kesalahan besar karena dianggap sudah belajar melanggar peraturan sejak dini. Melody hanya menggeleng heran mengingat ketatnya peraturan yang ada di sekolah Levi itu.
***
Bayu disibukkan oleh pekerjaan yang ditunda kemarin siang karena dia harus menggunakan waktu kerjanya untuk menjemput dan menemani Lody pulang dari sekolah. Sejak pagi dia berkutat di depan meja kerja dengan segala berkas yang sudah menumpuk di atasnya. Saat ini Bayu bekerja di sebuah perusahaan garmen Orland’s Fashion. Dia menjabat sebagai manajer keuangan.
Namun Bayu sama sekali tidak merasa menyesal telah membuang waktunya selama beberapa jam kemarin. Cara itu yang membuat dia bisa bertemu kembali dengan Melody. Pikirannya melayang pada setiap kenangan manis yang sudah ia lalui bersama Melody. Meski singkat tetapi meninggalkan kesan begitu mendalam, hingga dia rela melewati waktu ribuan hari dengan menanggung kerinduan pada Melody. Bayu sudah berusaha menghindari tetapi tetap saja bayangan akan Melody dan kenangan indah tentang mereka terus berputar di kepalanya. Meski posisinya kini sudah tidak memungkinkan untuk dirinya merajut kasih asmara lagi bersama Melody, ada keinginan kecil dalam lubuk hatinya yang terdalam untuk memperbaiki hubungan mereka yang dulu sempat terpisah begitu saja.
Tepat pukul sembilan pagi, seseorang mengetuk pintu ruangan Bayu untuk mengingatkan informasi jadwal meeting bersama presiden direktur hari ini. Sebenarnya Bayu lebih nyaman bekerja di bilik kerja seperti karyawan Orland’s Fashion yang lainnya. Namun bos besarnya sama sekali tidak mentolerir penolakan. Ruangan khusus untuk Bayu disediakan oleh Orland’s Group yang merupakan perusahaan utama dari Orland’s Fashion, sebagai tunjangan fasilitas bagi Bayu. Alasan utamanya supaya privasi dan kewibawaan Bayu terjaga sebagai manajer keuangan untuk wilayah dalam negeri. Termasuk mobil yang kini digunakan oleh Bayu sehari-harinya, yang juga didapatkan Bayu dari kantornya.
Bayu segera menuju lantai 23. Tempat ruangan presiden direktur Orland’s Group berada. Hari ini dia akan menyampaikan portofolio dan laporan laba rugi Orland’s Fashion di hadapan presiden direktur, direktur utama dan juga direktur keuangan Orland’s Fashion. Jantung Bayu berdetak lebih cepat dari biasanya. Sesekali dia mengatur pernapasan sebagai upaya untuk menenangkan detak jantungnya.
Selamat datang di ruangan Presdir! Gumam Bayu dalam hatinya ketika dia sudah berdiri di depan pintu baja yang menjulang tinggi di hadapannya.
“Selamat pagi, Pak Bayu.”
“Pagi,” jawab Bayu sambil menjabat tangan seorang perempuan yang ia ketahui bernama Sita dari id card yang dikalungkan di leher perempuan tersebut.
“Selamat datang, Pak. Perkenalkan saya Sita, Sekretaris utama Pak Jerome. Silakan masuk, Pak Jerome dan yang lainnya sudah menunggu Pak Bayu di dalam,” ujar Sita dengan sopan.
“Baiklah. Terima kasih, Sita,” jawab Bayu penuh wibawa.
Meski waktu terus bergulir, tapi karakter Bayu tidak berubah. Dia tetap Bayu yang tidak banyak bicara, menjunjung tinggi sebuah privasi dan malas berbasa-basi dengan banyak orang, kecuali pada dua perempuan bernama Melody dan tentu saja ibunya sendiri.
Bayu mengulas senyum tipis pada Sita setelah perempuan itu membukakan pintu ruang presiden direktur untuknya.
“Pak Bayu sudah sarapan? Mau kopi atau teh? Atau mungkin ada request minuman lain?”
Bayu melirik jam tangannya. Dia sudah sarapan di rumah dan sudah minum kopi juga di ruangannya. “Tidak perlu, terima kasih,” ujar Bayu kemudian melanjutkan langkah memasuki ruangan presiden direktur.
Ketika Bayu sudah berada di dalam ruangan dengan kesan mewah dan maskulin yang begitu kental, dia menyapa dan menyalami orang-orang yang sudah berada di dalam ruangan itu sebelum dirinya. Presiden Direktur mempersilakan Bayu duduk di salah satu sofa berbahan leather warna hitam nan mewah yang bersebelahan langsung dengan direktur keuangan Orland’s Fashion.
Mata Bayu terbuka lebar ketika membuka laptop dan disambut layar laptop yang menunjukkan fotonya dan Melody. Dia tadi lupa menutup foto yang sempat dibuka sebelum meninggalkan ruang kerjanya. Tuhan...Bagaimana dia bisa berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya, sementara wajah Melody terus menarik paksa pikiran Bayu untuk masuk ke lubang kenangan mereka berdua yang semakin terbuka lebar.
~~~
^vee^