BAB 5

1649 Words
"Sekarang, apa yang harus saya lakukan pak?" tanya Enif. "Cari cara agar saya bisa melakukan tes DNA. Ini untuk memastikan semuanya. Konsultasikan dengan dokter mengenai tes DNA yang menggunakan sample kakek dan cucu, bukan ayah dan anak," bisik Altair. "Meski saya yakin kalau lelaki tampan itu adalah cucuku," Altair menoleh ke arah ruang rapat kecil. Dari kejauhan ia melihat Rigel Andromeda, cucunya yang begitu mirip dengan anaknya. Altair tersenyum, "Enif, bahkan caranya berbicara mirip sekali dengan Riga. Ini seperti Riga hidup kembali di sisiku." Enif yang tidak terlalu mengingat Auriga Orion, hanya bisa tersenyum. Dulu, ayahnya yang bernama Ursa, adalah asisten pribadi Altair Orion. Namun, sepeninggal sang ayah, ia meneruskan kesetiaannya pada Altair Orion. Keluarga mereka telah turun temurun bekerja pada Keluarga Orion. Saat Auriga Orion masih hidup, Enif samar samar mengingatnya karena Auriga lebih sering berada di luar negeri, baik itu untuk sekolah ataupun menjalankan bisnis Orion Group. Selain itu, ada selisih usia yang cukup berjarak. Auriga Orion lebih tua lima tahun daripadanya. "Bapak, apa mau menemui mereka sekarang?" Enif bertanya pada Altair. "Sebentar," Altair menenangkan diri dan mencoba mengendalikan rasa bahagianya. Akhirnya, dia mengangguk, "Kita temui mereka sekarang." Altair pun melangkah menuju ruang rapat, "Bagaimana anak muda? Sudah siap untuk membicarakan projek ini?" "Siap pak," Andra menjawab dengan tegas. Agni ikut mengangguk. Ia pun menyambungkan file yang akan mereka presentasikan pada layar televisi yang ada di hadapannya. Andra membuka presentasi tersebut dan menjelaskan mengenai AI Chat yang sudah ia buat dan kembangkan. Altair Orion menyimak dengan seksama. Agni diam diam memperhatikan kalau Altair Orion dengan serius mendengarkan semua penjelasan Andra tanpa memotongnya. Lelaki ini tidak bersikap merendahkan ataupun menganggap mereka tidak tahu apa apa. Seketika, rasa kagum muncul. Agni mengagumi sifat rendah hati lelaki setengah baya itu. Saat tengah memperhatikan Altair Orion secara diam diam, tiba tiba saja Agni tersadar kalau tatapan mata dan senyumnya seperti mirip seseorang. Siapa ya? Agni mengerutkan keningnya. Ia tak sanggup berkonsentrasi mendengarkan ucapan Andra yang sedang melakukan presentasi. Pikirannya melayang kemana mana. Matanya bergantian menatap Altair dan Andra. Agni langsung merasakan jantungnya seperti berhenti berdetak. Mata dan senyum Altair Orion begitu mirip Andra!!! Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin? Semakin memperhatikan, semakin Agni merasakan kalau kemiripan mereka tak terelakkan. "Rekan saya Agni akan membantu saya menguji coba prototype aplikasi ini," Andra menatap ke arah Agni. Agni dengan cepat tersadar dan menghubungkan ponselnya ke layar televisi, lalu menjelaskan langkah langkah cara menggunakan AI Chat tersebut. "Misal, untuk anak muda yang ingin memulai sebuah bisnis restoran, dan tidak tahu modal awal yang harus dipersiapkan. Dia cukup mengetik : Berapa modal yang harus saya persiapkan untuk bisnis restoran? Nantinya, secara otomatis aplikasi akan menghitung kebutuhan untuk itu dan poin poin biaya apa saja," jelas Agni. Ia mempraktekkannya dengan melakukannya di ponselnya. Dalam sekejap, perhitungan biaya untuk sebuah bisnis restoran pun keluar. "AI Chat ini seperti konsultan untuk segala hal. Nantinya akan kita bagi bagi per kategori. Ada untuk masalah bisnis, kesehatan, hiburan, pendidikan, ataupun urusan pribadi, dan masih banyak lagi," jelas Agni lagi. "Bahkan kedepannya, tidak hanya untuk chat, tapi bisa untuk aktivasi dengan cara scanning. Misalnya, saya terluka dan berdarah, cukup scan ponsel pada luka tersebut, nantinya AI Chat akan memberikan keterangan apa yang terjadi pada luka tersebut dan bagaimana cara mengobatinya," Andra menambahkan. "Teknologi yang tak terbatas," Andra tersenyum. "Saya berharap kedepannya, hal ini juga bisa mendongkrak teknologi yang digunakan dalam Alpha Phone atau Alphone. Misal, ada masalah dengan ponsel, teknologi ini akan mampu mendeteksi sendiri permasalahan yang terjadi pada ponsel." "Demikian persentasi dari kami. Terima kasih banyak atas kesempatan ini," Andra mengakhiri presentasi tersebut. Altair mengangguk dan tersenyum senang, "Saya sangat menghargai ide ini. Kalian anak muda yang cerdas dan kreatif. Untuk selanjutnya, Enif akan menghubungi kalian kembali. Saya pikir, ini bukan pertemuan pertama. Akan ada pertemuan lainnya." Agni dan Andra saling bertatapan. Mereka senang! Apa ini artinya, mereka mendapatkan investor? "Sekarang, saya undang kalian untuk makan siang terlebih dahulu. Jadi jangan dulu pulang dan berpamitan," Altair menunggu persetujuan mereka. "I-ini kehormatan bagi kami," Agni dengan cepat meresponnya karena ia melihat kalau Andra terlalu kaget untuk bicara. "Tentu saja kami akan menerima undangan bapak dengan senang hati," Agni mengangguk dan di bawah meja ia menendang Andra. Andra langsung tersadar, "Te-terima kasih banyak pak Alta atas undangannya." Altair tertawa, "Jangan gugup. Saya tidak akan menerkam kalian." Agni dan Andra akhirnya ikut tertawa. "Bapak, maafkan kami. Tapi, bapak menjadi investor pertama yang bersedia menemui dan mendengarkan ide ini. Jadi, kami sangat gugup sekali," Agni berterus terang apa adanya. Ia tidak mau Altair Orion berpikiran kalau mereka banyak diam karena tidak sopan. "Kenapa bisa? Apa yang kalian miliki merupakan ide yang luar biasa," Altair keheranan sendiri. "Mungkin banyak yang skeptis kalau ini bisa dijalankan," Andra mencoba bicara. Altair tersenyum, "Ini jalannya. Tidak perlu kalian pikirkan lagi." Ia lalu menatap Enif sebagai kode untuk memesan makan siang. Enif pun keluar dari ruangan rapat. "Kita makan siang di ruang makan kamar ini saja. Saya tidak terlalu menyukai keramaian. Kalian tidak keberatan?" Altair bertanya. "Tentu saja tidak pak," Agni menjawabnya. "Baiklah. Kita ke ruang makan," Altair berdiri dan melangkah ke ruang makan. Agni mengerutkan keningnya. Ini kamar president suite yang luar biasa. Ada ruang rapat, ruang tamu, ruang makan. Belum lagi secara sekilas ia melihat kalau ada dua ruangan untuk kamar tidur. Berapa harga ruangan ini per malamnya? Ckckck.. Agni tak sanggup menutupi kekagumannya. Saat memasuki ruangan makan yang berkapasitas enam orang tersebut, Agni melihat kalau ruangan itu berhiaskan lampu gantung hias yang mewah dan indah. Luar biasa dunia orang kaya ini... Agni dan Andra pun duduk bersebelahan. Altair tersenyum menatap mereka, "Berapa usia kalian?" Andra menjawabnya, "Saya tiga puluh satu tahun." "Kalau saya dua puluh delapan mau jalan dua puluh sembilan," jelas Agni. "Kalian masih muda sekali. Tahun ini saya tujuh puluh delapan tahun," jelas Altair. "Sudah menikah?" Altair mulai menunjukkan ketertarikan secara pribadi. "Ka-kami belum menikah," Jawab Agni gugup. "Oh, kalian memiliki hubungan khusus?" Altair menggodanya. "AH! TI-TIDAK," Andra dan Agni menjawab bersamaan dengan panik. Altair hanya tertawa, "Kalian pasangan yang serasi. Tidak masalah baik itu ada hubungan atau tidak." Agni dan Andra hanya menunduk malu. "Istri saya meninggal sekitar tiga puluh lima tahun lalu. Saya dan almarhum istri saya mengarungi bahtera rumah tangga selama dua puluh tahun. Saya menikah di usia relatif muda, dua puluh tiga tahun dan istri saya dua puluh tahun. Hal yang biasa untuk generasi saya," Altair bercerita. "Beda dengan generasi Z sekarang yang lebih memilih single life. Saya dengar juga mengenai pemikiran YOLO, you only live once. Jadi, mungkin pernikahan muda tidak terlalu menarik bagi mereka. Saya sebagai orangtua, memang kolot kalau soal pernikahan. Kesetiaan dan komitmen penting bagi saya," Altair melanjutkan ceritanya. Andra hanya menunduk. Ia juga merasakan hal yang sama. Kesetiaan dan komitmen begitu penting baginya. Bayangan Jayanti kembali dalam pikirannya. Jauh di lubuk hati yang terdalam, ia tahu kalau Jayanti sudah mengkhianatinya. Yang awalnya ia pikir hanya soal materi, tapi kini Andra meyakini kalau perpisahan mereka terjadi karena Jayanti sudah memiliki lelaki lain. Bagaimana mungkin tiga bulan dekat dan langsung menikah? Mereka pasti sudah dekat dari sebelumnya. Andra menarik nafas panjang. Ia kembali mengingat awal pertemuannya di sebuah event. Saat itu Jayanti sedang menjadi model sebuah produk. Saat acara tersebut, tak sengaja ia melihat kalau ada seorang lelaki hidung belang mengganggunya. Andra pun menyelamatkannya dari si pengganggu. Mereka bertukar nomor telepon dan Jayanti pun mulai menghubunginya. Sejak itulah kedekatannya dimulai. Sebetulnya dari awal hubungan, Andra sudah merasakan kekecewaan Jayanti. Ia hidup di apartemen biasa biasa saja. Bahkan mobil miliknya ia jual untuk modal awal usahanya. Jayanti sering berkeluh kesah soal itu. Satu tahun mereka dekat dan sekitar lima bulan resmi berpacaran. Selama itu pula, hubungan mereka memang banyak bergejolak soal materi. Ia tidak bisa memberikan apa yang Jayanti mau. Belum lagi saat kencan yang selalu berujung ribut. Jayanti menginginkan untuk makan di restoran mahal sedangkan ia lebih suka berdiam diri di apartemen. Andra memang tidak menyukai tempat yang ramai. Tabungannya semakin menipis hanya untuk memenuhi gaya hidup kekasihnya itu. Selain itu, Jayanti juga selalu memaksanya untuk membeli barang barang konsumtif untuk penampilannya. Seperti pakaian, jam tangan dan masih banyak lagi. Aku juga salah. Terlalu mau disetir saat itu. Aku buta oleh cinta. Setelah dipikir lagi, aku dan Jayanti memang berbeda. Gaya hidup mereka tidak sejalan. Ah sudahlah... Aku harus melupakannya. Toh Jayanti juga akan menikah dan menjadi istri orang lain. *** Bel apartemennya berbunyi. Cempaka bergegas membukanya setelah mengetahui siapa yang datang. Sosok Bastian melangkah masuk. Ia pun menutup pintunya. "Apa yang kamu lakukan? Ini bahkan belum siang?" Cempaka hanya tersenyum. "Aku menginginkanmu!" Bastian menarik tubuh Cempaka mendekat. Ia menatapnya. Cempaka mengenakan sebuah silk robe. Bastian tertarik mengintip apa yang ada di baliknya. Ia pun menyingkapkan sebagian dari robe itu. Bagian kiri tubuh Cempaka pun tersingkap. "Kamu belum berpakaian?" Bastian langsung terpancing melihat bukit besar yang terlihat polos tanpa penutup itu. "Aku baru saja selesai mandi dan mau bersiap siap," Cempaka kembali menutup tubuhnya dengan gerakan menggoda. Ia melepaskan diri dari pelukan Bastian. Ia pun berbalik dan melangkah masuk ke kamar tidurnya. Bastian dengan cepat bergerak ke arah Cempaka dan menarik silk robe yang ia kenakan hingga terlepas. Cempaka dengan cueknya terus melangkah masuk ke dalam kamar tidurnya. "Ah, jangan dulu bersiap siap," Bastian menarik tubuh Cempaka dan membalikkannya. Ia menekan Cempaka ke arah tembok. Dengan cepat Bastian melepaskan celananya dan membiarkan sesuatu di bawah sana berdiri dengan tegak. "Kamu lihat milikku dengan mudahnya mengeras," Bastian mendesah di telinga Cempaka. "Lakukan Bas," Cempaka memejamkan matanya. Ia pun menghentakkan tubuhnya dengan membabi buta. Kedua buahdada Cempaka bergoyang dengan cepat. Pemandangan yang membuatnya semakin b*******h. Ia meremas kedua bukit kembar itu dengan keras, hingga membuat Cempaka melenguh dan mengerang. "Terus Bas.. Oh," Cempaka merintih. Hingga akhirnya, Bastian mulai menegang, tubuhnya kaku. Tak lama, pelepasan itu terjadi.. "Ah!" Bastian mendesah, "Kamu memang luar biasa." Cempaka menatapnya dengan menggoda, "Nikmati tubuhku selagi bisa. Setelah menikah, kamu tidak akan sebebas ini." "Ah, kalau perlu, aku bisa membatalkan pernikahanku. Bagaimana menurutmu," Bastian menatapnya serius.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD