"Andra! Kamu sudah siap belum?" Agni masuk ke apartemennya.
"Aku sedikit bingung dengan pakaianku. Apa ini ok?" Andra keluar dari kamarnya mengenakan setelan jas formal.
Agni melongo.
Andra super tampan sekali!
Ia mengenakan setelan jas biru navy dari atas ke bawah. Rambutnya juga tersisir dengan rapi.
Agni kemudian melihat pakaian yang ia kenakan. Rok formal selutut dan kemeja tangan panjang dengan gaya semi formal. Tak hanya itu, Agni pun menambahkan rompi di luar kemejanya. Rambutnya terikat rapi dengan make up apa adanya.
"Ka-kamu tam-pan se-ka-li," Agni dengan gugup memujinya.
Jauh sekali dengan penampilanku.
"Apa iya?" Andra mengerutkan keningnya.
"Iya. Serius," Agni mengangguk.
"Tapi, apa artinya ini berlebihan?" Andra bertanya kembali.
"Aku tidak tahu. Aku malah jadi bingung. Apa aku yang terlalu biasa biasa?" Agni menatap dirinya sendiri.
"Ta-tapi kamu can-tik. Tidak biasa biasa," Andra menggigit bibirnya memperhatikan Agni.
"A-apa iya? A-aku cantik?" Agni merasa mukanya merah padam.
Andra mengangguk dan tersenyum.
Tiba tiba saja tersadar dengan ucapannya sendiri. Andra pun berubah malu.
"Ah, aku ganti pakaian dulu. Rasanya ini terlalu berlebihan," Andra kembali masuk ke kamarnya.
Agni hanya mengangguk, "I-iya."
Ah, mukaku merah kah?
Agni berlari ke kamar mandi dan bercermin.
Huuuuhhh..
Ia mengipas ngipas, berusaha meredakan rasa panas di tubuhnya.
Tak lama, Andra muncul di pintu kamar mandi.
"Bagaimana menurutmu?" Andra menunjukkan pakaian terbarunya.
Agni memperhatikan kalau Andra akhirnya mengenakan celana panjang berwarna abu gelap dengan sweatshirt warna biru dan kemeja tangan pendek. Andra ternyata tampan sekali saat berpenampilan rapi seperti ini.
Tidak ada lagi rambut acak acakan yang biasanya. Kacamatanya pun lepas dari wajahnya.
Agni tersenyum kagum. Andra memang memesona dengan penampilannya yang bersih dan kharismatik. Tak heran, mantan pacarnya dulu, Jayanti memang tertarik mendekatinya.
"Ok. Kamu keren! Rasa rasanya, cocok untuk ketemu seorang konglomerat. Sopan dan tidak berlebihan," Agni mencoba mengalihkan bayangannya dari pesona Andra.
"Kita pergi!" Agni mencoba cuek dan tidak terlalu memperhatikan Andra.
Andra pun mengikutinya.
Setibanya di lobi apartemen, Agni memesan taksi online. Mereka pun bergerak ke lokasi janjian di sebuah hotel.
Akhirnya, Rigel Andromeda dan Zeta Agnia akan segera bertemu dengan calon investor mereka, Altair Orion.
***
Jayanti sedang mengecek posisi duduk di acara resepsi nanti. Ia sudah mendapatkan konfirmasi kehadiran dari wedding organizer yang mengurus resepsi nanti. Namun matanya melihat kalau dari daftar kehadiran tersebut, ada nama Rigel Andromeda yang datang bersama plus one -nya.
Apa? Andra sudah memiliki pasangan? Si-siapa?
Entah kenapa, Jayanti merasa geram.
Ia tidak suka ada perempuan lain yang mengalihkan perhatian Andra darinya.
Siapa perempuan itu?
Jayanti melihat kalau di dalam daftar itu tidak menyebutkan nama pasangan Andra.
Hhh.. Bisa jadi Andra hanya sengaja membuatnya kesal.
Mana mungkin secepat ini Andra melupakannya?
Tidak mungkin!
Aku memang egois.
Andra, aku bisa bersama dengan yang lain, tapi tidak denganmu.
Aku tidak rela kalau kamu move on dariku.
Jayanti meremas kertas di tangannya.
Jauh di lubuk hatinya, sejujurnya, masih menyimpan rasa pada lelaki yang telah menjadi kekasihnya selama satu tahun kebelakang. Tapi, kebutuhan materi jauh lebih mendominasi daripada perasaannya.
Ia tak pernah membiarkan sisa rasa yang terpendam itu mengganggu hubungannya yang sekarang. Jayanti selalu meyakinkan dirinya kalau Bastian jauh lebih baik daripada Andra. Bastian memiliki kekayaan melimpah yang akan mampu memanjakan dan membahagiakannya. Sedangkan Andra bahkan menjual mobilnya untuk merintis usahanya itu.
Lelaki yang tidak memiliki apapun. Aku tidak akan bahagia bersamanya.
Namun, ketika membaca kalau Andra akan datang bersama plus one yang artinya sudah memiliki pasangan lain, ternyata berhasil membuatnya geram.
AKU. TIDAK. SUKA.
***
Andra dan Agni menunggu dengan gugup di sebuah kamar hotel. Mereka tahu ini tipe kamar president suite yang harga satu malamnya mungkin setara dengan sewa apartemen mereka selama satu tahun.
Baik Andra ataupun Agni baru pertama kali melihat kamar hotel semegah ini. Bahkan, keduanya baru sekali kalinya menjejakkan kaki memasuki kamar hotel dengan tipe president suite yang sangat mewah.
Agni berbisik, "Kenapa ya aku kok rasanya kampungan sekali? Ini kamar hotel mewah sekali. Aku jadi malu sendiri dengan pakaianku."
"Aku juga sama. Gugup sekali rasanya. Agni, tanganku berkeringat dingin. Aku tidak yakin bisa bicara," Andra ikut berbisik.
Agni bergerak menyentuh tangan Andra, "Tenang saja, ada aku. Kamu tidak sendiri. Tetap percaya diri."
Andra membalas sentuhan tangan Agni dan menggenggamnya dengan erat, "Kita berdoa."
Agni mengangguk. Mereka saling memejamkan mata dan berdoa. Berharap pertemuan ini berjalan lancara tanpa kendala apapun.
"Oh iya, pakaianmu tidak memalukan. Kamu cantik," Andra menatapnya.
"Thank you," Agni menunduk. Mencoba menyembunyikan wajahnya yang merah padam karena malu.
Selang sepuluh menit kemudian, seorang lelaki yang mungkin berusia sekitar empat puluh tahunan keluar.
"Maaf lama menunggu, perkenalkan saya Enif, asisten pribadi Bapak Altair Orion," sapanya.
"Sa-saya Rigel Andromeda," Andra memperkenalkan diri.
"Kalau sa-saya Zeta Agnia," Agni bicara perlahan saking gugupnya.
Enif tersenyum, "Jangan gugup, tenang saja. Saya informasikan kalau Bapak Altair sangat menyukai anak anak muda yang cerdas dan memiliki ide ide kreatif yang tajam. Dia tidak menakutkan."
"Ba-baiklah," Agni mencoba tenang.
Andra hanya tersenyum. Ucapan Bapak Enif membuatnya sedikit tenang.
"Ti-tidak ada hal yang tidak boleh kami lakukan?" Andra memastikan.
Enif tertawa, "Jadi diri sendiri. Tapi, tentu saja karena Bapak Altair lebih tua dari kalian, sopan santun yang baik akan menjadi nilai lebih."
Agni tergelak, "Tentu saja."
Tawa Agni membuat Andra ikut tersenyum lebar.
Ah, suasananya tidak setegang di awal tadi. Bapak Enif yang ramah membuatku merasa tenang.
Tak berapa lama, ponsel Bapak Enif berbunyi. Ia pun bergerak ke dalam sebuah ruangan dan mengangkatnya.
Setelahnya, ia kembali masuk ke ruang tengah tempat Andra dan Agni duduk menunggu.
"Bapak Altair sudah menuju ke sini," Enif menjelaskan.
Andra dan Agni saling menatap.
Tak sabar rasanya untuk bisa melihat sosok konglomerat ternama tersebut. Pertama kali dalam hidupnya. Bahkan ini lebih membahagiakan dari ketemu presiden.
Andra berulang kali menatap ke arah pintu kamar. Ia berharap, sosok Altair Orion masuk melalui pintu tersebut. Tak lama kemudian, pintu pun terbuka.
Baik Andra dan Agni menatap tak berkedip.
Sesosok lelaki penuh kharisma memasuki ruangan president suite tersebut. Lelaki dengan wajah dingin dan mata tajam. Ada aura segan yang membuat mereka tak ingin menyapa lebih dulu. Tubuhnya tinggi besar dengan rambut yang mulai memutih. Usianya mungkin sekitar tujuh puluh delapan tahun.
Tapi, ia terlihat jauh lebih muda dari usianya. Kulitnya bersih dan segar, menyisakan ketampanan masa muda yang jelas jelas bisa memesona mata wanita manapun yang melihatnya. Bahkan, di usia senjanya ini, pesona itu seperti tidak hilang.
Agni sedikit bingung harus bersikap seperti apa.
Bagaimana tanggapan Altair Orion pada mereka berdua?
Apa mereka terlihat rendah di matanya?
Keringat dingin seperti mengalir di sekujur tubuhnya.
Begitu grogi rasanya..
Namun, di luar dugaan, Altair Orion lebih dulu mengulurkan tangannya dan tersenyum, "Saya Alta."
Ekspresi dingin dan kesan segan pun menghilang, tergantikan keramahan dan kebaikan yang terpancar dari raut wajahnya.
Agni yang berada di posisi lebih dekat dengan Altair, langsung membalas uluran tangannya, "Bapak, perkenalkan nama saya Zeta Agnia. Satu kehormatan bisa mendapatkan kesempatan untuk bisa bertemu bapak."
Altair hanya tersenyum dengan ramah, "Sama sama mbak."
"Dan siapa lelaki tampan ini?" Altair menoleh ke arah Andra.
Andra dengan percaya diri mengulurkan tangannya, "Bapak, perkenalkan, saya Rigel Andromeda. Penanggung jawab atas projek yang kami ajukan."
"Terima kasih atas pujian bapak," Andra dengan malu malu mengucapkan terima kasih atas pujian Altair yang menyebutnya tampan.
Altair tersenyum lebar dengan mata berkaca kaca, "Tidak perlu berterima kasih. Kamu memang tampan. Seperti almarhum putra saya. Matamu dan suaramu sangat mirip."
Agni sedikit kaget melihat mata Bapak Alta seperti berkaca kaca. Tak hanya itu, nada suaranya seperti bergetar.
Apa penglihatanku ini benar? Atau salah?
Apa pendengaranku juga benar? Atau juga salah?
Ia menggosok matanya untuk meyakinkan dirinya.
Ya, mata Altair Orion seperti menunjukkan haru dan juga kesedihan.
Tapi, Agni tak berani berkata apapun. Ia hanya bisa diam.
Tiba tiba, Enif mendekat seperti hendak mencairkan suasana.
"Silahkan masuk ke ruangan sebelah kanan, ada meja rapat kecil supaya kita bisa mengobrol lebih nyaman," Enif mengantarkan Andra dan Agni memasuki sebuah ruangan.
"Di ruangan juga sudah ada snack dan minum. Silahkan mbak Agni dan mas Andra menikmatinya," Enif mempersilahkan mereka menikmati sajian yang ada di atas meja.
Agni sedikit melirik ke arah mereka tadi berada. Ia memperhatikan kalau Altair Orion hanya berdiri diam. Seperti termenung.
Ada apa?
Agni dan Andra pun duduk di ruang rapat kecil tersebut. Mereka tidak berkata kata, dan mengisi kekosongan dengan meminum air mineral yang tersaji.
Sedangkan Enif kembali ke arah Altair dan keduanya masuk ke sebuah ruangan lainnya. Entah apa yang mereka bicarakan.
"Bapak, tidak apa apa?" Enif memastikan kondisi Altair.
"Enif, saya tidak apa apa. Bahkan saya lebih dari baik baik saja," Altair bicara perlahan. Air mata mengalir di pipinya.
"Ke-kenapa pak?" Enif dengan hati hati bertanya.
"Lelaki tadi. Anak muda yang tampan itu. Saya sangat yakin, dia cucu saya yang hilang. Matanya, suaranya, gestur tubuhnya, semua seperti Riga. Mereka seperti pinang dibelah dua," Altair bergetar dan membiarkan air mata haru terus mengalir di pipinya.
"Rigel. Andromeda. Nama yang gagah. Cucuku..." Altair menggumam sambil menyentuh dadanya. Ia berusaha menahan luapan rasa gembira dan juga haru yang tak terkira.
Enif mendekat dan mengelus punggung atasannya yang sudah seperti orangtuanya itu. Ia ikut merasakan luapan emosi yang dirasakan Altair Orion.
Setelah lebih dari tiga puluh tahun, akhirnya, kakek dan cucu bertemu untuk pertama kalinya.