Bunga tidak ingin berlama-lama di dalam Rumah sakit, jadi pagi ini dia sudah meminta perawat membantunya berkemas. Afrain yang baru tiba disana terkejut karena Bunga sudah terlihat akan pergi.
"Hei apa kau sudah baikan?" Bunga diam tidak mau menjawab. Tapi Afrain tidak menyerah.
"Suster tinggalkan kami, sepertinya calon istriku merajuk." Bunga menatap sengit Afrain yang ingin tertawa melihat ekspresi lucu Bunga baginya.
Dia mengamati Bunga dari hujung rambut sampai hujung kaki, Bunga sangat manis dan juga semua yang ada pada Bunga tampak pas bagi Afrain.
Dia mendekat pada Bunga dan memeluk wanita itu lembut. Bunga ingin menolak namun dia juga merasa sangat nyaman.
"Apa kau tidak lelah terus menolak dan membenci ku ? Padahal aku tidak melakukan kesalahan patal apapun padamu , selain aku mencintaimu."
Bunga menarik napasnya dalam, apa yang dikatakan Afrain benar, namun rasa takutnya membuat dia harus melakukan hal ini.
"Apa kau tidak ingin melihat keseriusanku padamu?" Bunga mengadahkan kepalanya menatap wajah Afrain yang juga menatap bola matanya. "Mau ya jadi pacar ku?"
"Tapi saya tidak lagi ingin pacaran."
"Kalau begitu kita menikah, seperti orang bilang cinta kelak akan tumbuh saat kita menikah." Bunga melepaskan pelukan mereka namun Afrain meraih kedua bahu wanita itu untuk menatapnya.
"Ikuti saja kata saya. Kamu berpikir apa lagi ! saya kaya, tampan, mapan, dan dari keluarga baik-baik. Complete right? so come'on say yes !."
Bunga tidak mengerti sama sekali jalan pikiran Afrain, apa dia pikir menikah semudah itu.
"Bunga ? Aku barusan melamar kamu !"
Bunga diam dia menepis tangan Afrain dari pundaknya. Namun Afrain berlutut dan mengeluarkan sebuah cincin yang sangat indah.
"Please say yes," ucapnya dengan senyuman yang sangat menggoda iman Bunga saat ini.
Ada pria tampan, gagah, berlutut dan melamarnya. Dan kapan pria ini membelikannya cincin ? Sebuah ide muncul di otak cerdas Bunga.
Dia tersenyum licik membuat Afrain heran.
"Saya akan menerima lamaran anda jika cincin ini pas di jari manis saya. Bagaimana ?" Afrain tersenyum lebar dengan tawaran itu.
Dia berdiri dan memakaikan cincin bermata kan berlian itu di jari manis Bunga dan hasilnya memuaskan. Cincin tersebut pas !
Afrain mengecup kedua pipi Bunga yang terdiam melihat cincin indah itu.
Bagaimana mungkin ?
Adam saja tidak tepat memilihkan cincin untuknya. Karena jari Bunga termasuk jari yang berukuran mungil.
"Ayo sayang aku antar pulang." Afrain sangat girang, dia bahkan berulang kali menahan tawa melihat wajah masam Bunga.
****
Bagaikan anak anjing yang diusir tuan rumahnya, Afrain pun melakukan hal yang sama. Dia berdiri sambil terus mengetuk pintu rumah Bunga.
Bunga tidak mengijinkannya ikut masuk kedalam rumah.
Bunga sendiri gelisah karena sudah empat jam Afrain masih belum juga pergi.
Tak lama dia mengintip ternyata Afrain sudah tidak ada. Menghirup napas lega, Bunga menuju dapurnya.
Hari ini dia tidak akan membuka toko dulu karena masih belum sepenuhnya sehat.
Bunga memasak mie instan untuk mengisi perutnya di sore hari itu, dan dia tersenyum bahagia saat mie nya sudah siap untuk dia santap.
Baru saja garpu akan mendarat di mulutnya ketukan pintu kembali didengar Bunga juga deringan bel rumahnya. Dengan penasaran dia melihat dari jendela siapa yang kira-kira datang. Apakah Afrain lagi ?
Betapa Bunga terkejut sudah ada Claire dan beberapa orang lainnya dari keluarga Afrain berada di teras rumahnya.
Dengan menelan ludah berat Bunga membuka pintu rumah.
"Hai Bunga," Claire menyapa Bunga hangat lalu memeluk wanita itu dan masuk.
Dibelakangnya menyusul Zia aunty Afrain dan juga Akira serta suaminya.
"Hai Bunga, aku kebetulan sedang disini jadi Afrain ikut meminta ku melamar mu sekarang juga. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba begini tapi aku terus terang sangat bahagia. Ya kan Aunty?"
"Ya, kami semua bahagia. Apalagi pilihan Afrain adalah kamu Bunga. Dari awal saya sudah sangat menyukaimu." Bunga menelam ludahnya berat saat sorot mata Claire penuh harapan. Lalu Claire menangkap basah cincin yang ada di jari manis Bunga. Dia tersenyum lagi dengan hangat.
Jantung Bunga berdegup kencang saat ini, dan perutnya mulas. Saat suara Afrain dia dengar dia merasa asap keluar dari kepala dan telinganya. Afrain benar-benar mengambil kesempatan.
Namun melihat setiap anggota keluarga menatapnya hangat dan bahagia dia jadi tidak bisa mengeluarkan protes akan hal ini.
Bunga menarik napasnya dan mencoba tersenyum saat Afrain mengecup keningnya lagi.
"Jadi kapan kalian akan menikah ?" Asal suara itu bukan dari Claire, melainkan dari Papa Afrain. Pria itu datang sedikit lebih lama.
"Bunga selamat bergabung di keluarga kami." Afrain mendorong tubuh Papa-nya saat Roland ingin memeluk Bunga.
"Kau begitu posesif son."
Mereka semua tertawa dan Bunga mendapatkan pelukan hangat dari Roland. Bunga ingin tertawa melihat wajah masam Afrain karena Roland mengambil alih Bunga ikut bersamanya untuk duduk di sofa ruang tengah rumah mungilnya itu.
"Aku tahu kau belum yakin untuk menikah dengan putra ku yang bodoh itu ! Kami tidak masalah. Katakan saja jika kalian, atau terutama kau sudah siap. Maka kami akan secepatnya menikahkan kalian."
"Pa , aku ingin secepatnya menikah dengan Bunga."
"Tapi aku tidak !" Bunga keceplosan dan dia menutup mulutnya.
"Ah, maaf. Maksudnya saya perlu waktu. Ini terlalu tiba-tiba." Dia tersenyum penuh penyesalan. Afrain masih berdiri disebelah Akira dan Azka.
Claire mengambil tempat di sebelah Bunga, dia menggenggam tangan Bunga.
"Baiklah kami mengerti. Tapi jangan sungkan jika ingin menghubungi ku atau meminta bantuan pada kami. Karena kau adalah bagian dari keluarga ini sekarang. Kau mengerti Bunga ?"
Bunga mengangguk, dia merasa sangat tersanjung. Senyum Bunga menular pada Afrain yang tadi berwajah masam.
"Afrain kami akan pulang, dan akan kembali setelah Bunga setuju untuk menikah," ucap Roland diikuti yang lainnya keluar dari rumah Bunga.
Mobil-mobil mewah yang terparkir itu pergi meninggalkan Bunga dan Afrain yang saling berpandangan.
Bunga menyerah, dia membiarkan Afrain mengikutinya masuk kedalam rumah.
"Hon," panggil Afrain dan Bunga tidak menjawab.
"Bunga," panggilnya lagi dengan nada lembut.
"Hem," jawab Bunga.
"Tatap aku atau aku cium." Bunga berdecak dan membalik tubuhnya menghadap Afrain.
"Saya tidak suka anda berbuat sesuka hati seperti ini. Saya ini manusia, saya punya perasaan. Anda tidak bisa memaksa kemauan anda pada saya !" Bunga mengucapkannya dengan satu tarikan napas.
Perlahan Afrain mendekat dan meyatukan kening mereka. Dia dapat mendengar jelas tarikan napas yang memburu dari Bunga.
"Kalau begitu coba terima aku, maka kau tidak akan merasa terpaksa."
Tbc....