Bab 6

1062 Words
Teras remang-remang kediaman Sofia menyambut mobil SUV hitam milik Nicholas. Halaman kecil yang di kelilingi pagar bambu malam itu agak becek karena sore tadi Kota Batu sempat diguyur hujan. Nicholas menuntun Anita agar tak tereleset, terlebih istrinya tengah mengenakan sepatu hak setinggi sepuluh senti malam ini. "Mau gue gendong aja nggak?" tawar Nicholas sambil membungkukkan badannya di hadapan Anita. "Jangan lebay deh, Nicho!" Melihat keromantisan Nicholas pada Anita, Sofia yakin jika Nicholas tak hidung belang, rumah tangga dua orang bosnya itu bisa sangat harmonis. "Maaf, rumah saya kumuh sekali, Pak, Bu." Anita memicingkan matanya. "Remember, don't call me...." "Oh, iya, maksud saya Mbak, Mas." "Jangan khawatir, Sof. Sekumuh-kumuhnya rumah kamu, masih lebih kumuh otak Nicholas." Tangan Nicholas mengepal. "B*ngs*d bener mulut lo, Nit!" Anita terkekeh mendengar makian kesal sang suami. "Kita lagi di rumah orang, nggak boleh ngomong kasar, Nicho." Baru akan Nicholas menjawab, pintu rumah Sofia sudah terbuka. Wanita paruh baya membuka pintu di tangannya ada bayi mungil terlelap dalam gendongan. "Selamat malam, Bu," sapa Anita membungkukkan tubuh sambil menyalami ibu Sofia. Begitupun Nicholas, ia melakukan hal yang sama. Sofia segera memperkenalkan bos-bosnya ke Arumi, ibunya. "Ma, ini Pak Nicho, dan ini Bu Anita. Mereka pemilik PT Bunomo." "Berarti mereka bos kamu dong, Sof?" Arumi membelalakkan mata sipitnya. "Monggo-monggo, silakan masuk, silakan duduk dulu, saya buatkan minum." Anita, Nicholas masuk ke ruang tamu berukuran 3x2 meter persegi. Ruang tamu yang tidak lebih luas dari kamar mandi di rumah Anita itu tampak hangat dengan pohon natal kecil. Sofia menerima Queensha selagi ibunya ke dapur. "Jangan repot-repot, Bu," kata Anita ketika Arum menyajikan secangkir teh. "Ndak repot Bu, cuma teh. Maaf ndak bisa nyuguhin apa-apa." Nicholas mengambil cangkir di hadapannya, menyesap cairan hangat itu lamat-lamat. "Santai saja, Bu, kami datang bukan untuk dijamu. Kami hanya ingin meminta izin pada Ibu untuk mengirim Sofia dinas ke Singapura." "Ke Singapura? Berapa lama?" Kali ini Anita yang menjawab. "Kurang lebih satu tahun. Sofia harus mempelajari proyek-proyek pembangunan kondominium milik patner kami di sana, untuk nantinya di aplikasikan ke proyek-proyek Bunomo grup di Indonesia." "Maaf, tapi tidak adakah orang lain yang bisa dikirim selain putri saya?" Arum tampak berat melepas putrinya. "Putri sulung saya dan suaminya baru saja meninggal. Mereka meninggalkan cucu saya yang masih bayi. Sofia terpaksa menjadi ibu s**u untuk cucu saya, karena ia tidak bisa diberi s**u formula. Jadi kalau Sofia pergi, kasian Queesha." "Sofia sudah menjelaskan pada saya tentang Queensha. Makanya kami berencana--" "Ya itu Bu, kalau siang Queensha minum ASI yang Sofia perah atau yang saya dapat dari bank ASI. Tapi kalau malam, bayi ini sepenuhnya menyusu ke Sofia. Dia tidur dengan Sofia, makanya Queesha menganggal Sofia seperti ibunya sendiri." "Ma, jangan potong ucapan Bu Anita," pinta Sofia sambil mengelus pundak ibunya. "Beri saya waktu untuk menjelaskan ya, Bu. Mulai besok akan ada perawat yang ke sini untuk membantu ibu mengasuh Queensha. Perawat itu juga akan memberi ASI ekslusif untuk cucu ibu sampai Sofia kembali dari tugas. Kami yang membayar gaji perawat. Jadi ibu bisa lebih tenang." Anita menjelaskan dengan hati-hati. Sofia menambahkan, "Selain itu gaji aku dinaikkan berkali lipat, Ma. Selama tugas ini, aku digaji seratus juta per bulan. Izinin aku pergi ya, Ma. Biar aku bisa kumpulin uang untuk Mama buka usaha. " "Se-seratus juta? Per bulan?" Mata Arumi ijo seketika. "Baiklah, monggo kalau mau bawa Sofia ke Singapore. Kapan Sofia rencana berangkat?" "Bagaimana kalau lusa?" Anita pikir lebih cepat lebih baik. Ia tak mau mengulur waktu lagi, takutnya Sofia atau ibunya tiba-tiba berubah pikiran karena hal-ha tak terduga. "Besok juga boleh kalau Sofia siap." Nicholas yang tak sabar ikut memberi penawaran. Sofia tercengang sejenak. "Apa tidak terlalu cepat, Pak, Bu?" "Ih, cepat juga ndak apa-apa, Nduk. Namanya juga kerjaan, kamu harus siap kapan saja." Arum mendukung penuh Sofia berangkat secepatnya. "Benar sekali, Bu," sambut Anita hangat. "Baiklah, kalau begitu lusa saja." "Bagus. Kalau bagitu kami pamit dulu." Anita dan Nicholas pun pergi meninggalkan rumah Sofia setelah mencapai kesepakatan. ** Satu unit apartment dibeli Anita untuk tempat tinggal sementara Sofia. Semua berjalan sesuai skenario yang Anita susun. Sofia ia jemput pukul 16.30 WIB dan langsung diantar ke apartmen. "Kamu harus install aplikasi kalender ovulasi ini di hape kamu biar tahu kapan masa subur." Anita membantu Sofia menginstal aplikasi ke gawai gadis itu. "Kapan terakhir kamu mens, Sof." Sofia mengingat-ingat sejenak sebelum menjawab. "Tanggal 18 apa 19, Mbak. Kalau tidak salah." "Berapa hari mensnya?" "Lima hari, Mbak." "Berarti start from 13 or 14?" "Iya, Mbak." "Wow." Mata Anita terbelalak. "Hari ini masuk masa subur kamu, Sof. Tonight!" "Hah malam ini Mbak?" Sofia bingung. "Maksudnya?" "Saya tahu permintaan saya mungkin membuat kamu merasa terbebani, tapi hari ini adalah siklus hari ke dua belas. Jika kamu dan Nicho berhubungan malam ini, potensi hamilnya lebih besar." Entah kenapa detak jantung Sofia mendadak berpacu cepat tak beraturan. Kegugupan kini menyelimuti benak Sofia. "Sofia, are you still here?" "I-iya, Mbak." "Habis ini saya pergi, kita ketemu lagi minggu depan. Saya tinggalkan foto copy KTP dan kartu kredit. Kalau kamu ke dokter atau ke rumah sakit, kamu harus pakai identitas saya. Biar keluarga saya tidak bisa lacak permainan kita." "Siap, Mbak." Sofia mengantarkan Anita sampai ke pintu. Lalu kembali masuk kembali dengan lemas. Benarkah ia sanggup menjalani pekerjaan ini? Sofia bertanya-tanya, setan apa yang merasuki dirinya hingga ia begitu gegabah mengambil pekerjaan konyol ini. Sofia sudah mendengar dari Andi, asisten pribadi Nicholas, tentang hobi bosnya main perempuan. Sebagai perempuan berhati lembut dan menjunjung tinggi nilai kesetiaan, Sofia jijik dengan pria yang begitu mudah selingkuh. Memandang Nicholas seperti memandang ayahnya, tukang selingkuh yang biad*b dan jahan*am. Membayangkan malam ini ia harus menyerahkan tubuhnya pada Nicholas, bulu kuduk Sofia meremang. Hatinya berat menerima. Namun ia tak bisa membantah perintah Anita bukan? Jika bukan karena menghormati Anita dan butuh uang, Sofia sudah pasti akan menolak hamil anak Nicholas. Bunyi bip-bip seseorang menekan kata sandi pintu apartemen membuyarkan lamunan Sofia. Beberapa detik setelah itu masuklah Nicholas dengan koper birunya. "Hai, Sof. Lo udah makan?" sapa Nicholas ramah. Sofia tersenyum tipis sambil menggeleng. "Pak Nicho mau saya buatkan makan malam?" "Nggak usah, kita makan di luar aja, gimana?" Dengan berat hati Sofia mengangguk. "Bo-boleh, Pak, eh Mas." "Oh ya, Anita telepon gue. Dia bilang lo lagi subur malam ini. Apa lo siap kalau kita.... " Senyum Nicholas menguarkan seringaian berbahaya. Ketampanan pria ini memang sulit di tolak, apalagi aroma maskulinnya. Sofia menghela napas panjang. "Ss-siap, Mas." "Well, glad to hear that." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD