Sepanjang makan malam, Nicholas berpikir keras. Bisa-bisanya Anita dengan detail mengatur kalender untuk memantau masa subur Sofia. Kalau benar prediksi kalender itu tepat, dan benar Sofia langsung hamil begitu Nicholas becocok tanam malam ini. Maka pupus sudah harapan Nicholas bisa menggauli sekretarisnya itu sepuas hati. Sofia mungkin akan menolak disentuh bila dokter telah menyatakan dirinya positif hamil. Nicholas merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel pintarnya untuk browsing bagaimana cara mencegah kehamilan secara alami. Nicholas tidak mau Sofia segera hamil, minimal Sofia hamil dua atau tiga bulan setelah kontrak ini berjalan. Dengan begitu Nicholas tak akan merasa terlalu dirugikan.
"Pak Nicho tidak makan?" tegur Sofia. Seharusnya Sofia yang gugup dan tak bisa menelan makanan. Namun sejak tadi gelagat aneh justru ditunjukan Nicholas, Sofia jadi bertanya-tanya, apa yang salah dengan bosnya.
"Sebentar, ada urusan kerjaan," kilah Nicholas yang kemudian meletakkan ponselnya di meja.
Sop buntut yang dihidangkan di tengah meja sudah tak mengepulkan uap lagi. Nasi di hadapan Nicholas juga sudah dingin. Ia makin hilang nafsu menyantapnya. "Kalau kamu sudah selesai makan, kita balik aja yuk."
"Lho, Pak Nicho nggak makan. Pak Nicho lagi sakit?"
Nicholas menggeleng. "Bukannya kamu udah oke panggil saya Mas? Kok sekarang Pak lagi?" protes Nicholas sebelum menenggak air mineral di dalam botol kecil.
"Maaf." Sofia meringis. "Saya kebiasaan panggil, Pak. Dan lebih nyaman panggil Pak."
"Ya udahlah, sesuka kamu aja. Tapi saya juga boleh pake lo-gue ke kamu, ya." Nicholas tak banyak menuntut, sebab pikirannya sedang bekerja keras.
"Silakan, Pak."
Sofia akan laporan ke Anita kalau malam ini mereka menunda bercinta. Sementara Nicholas tidak ingin Sofia cepat hamil. Dari semua info yang dibaca di internet, Nicholas hanya menemukan satu cara untuk menunda kehamilan Sofia. Yakni memberinya pil KB darurat.
"Udah selesai makannya?" tegur Nicholas ke Sofia yang tengah mengelap bibir dengan tisu kering.
Sofia mengangguk dan berdiri. "Mau balik sekarang, Pak?"
"Yuk, lo duluan deh. Gue mau beli sesuatu di apotek depan."
Sofia menurut dan meninggalkan Nicholas tanpa merasa curiga sedikitpun. Setiba di apartemen, Sofia merapikan barang-barangnya. Memindahkan beberapa potong lipatan baju dari ransel ke lemari. Jantungnya terus bergemuruh. Perasaan tak tenang memicu bulir-bulir keringat di keningnya. Sofia tak sanggup membayangkan malam ini kegadisannya harus diserahkan ke pria b*****h seperti Nicholas.
Bunyi ketukan sepatu pantofel samar-samar hinggap di telinga Sofia. Ia yakin itu Nicholas. Sofia hendak keluar kamar untuk memeriksa. Namun Nicholas lebih dulu masuk ke kamar mereka. Tampak Nicholas kembali dengan wajah kusut.
"Gue mandi dulu deh, Sof," pamit Nicholas sembari meletakkan ponsel, dompet, dan kunci mobil di atas nakas kamar.
Sofia mengangguk. "Silakan, Pak."
Gadis itu kini duduk di pinggiran ranjang sambil jemarinya sibuk memilin kelim blouse biru langit yang dipakainya. Sesekali Sofia menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan. Getar ponsel Nicholas menarik perhatian Sofia. Di layar bagian atas ada pesan yang menyembul dari Andi, supir Nicholas.
Andi:
Mon maap, susah bgt nyari pil KB darurat, lima apotek udh sy datengi, gada yg punya pak
Pesan dari Andi untuk Nicholas membuat mata Sofia memicing. Ia penasaran kenapa Nicho mencari pil kontrasepsi darurat? Untuk dirinya kah? Tapi kenapa? Bukankah Nicholas ingin ia hamil?
Tak habis pikir, Sofia terus resah. Langkahnya mengukur lantai kayu dengan cara mondar-mandir ke kiri dan ke kanan.
Jika Pak Nicho ingin membeli pil KB untukku, berarti dia nggak mau aku hamil? Tapi kenapa? Batin Sofia terus bertanya-tanya.
Nicholas keluar kamar mandi dengan kaos oblong dan celana pendek. Rambutnya yang basah membuat pria itu terlihat begitu segar.
"There is something wrong?" tegur Nicholas melihat Sofia mondar-mandir dengan wajah cemas.
Sofia menggeleng. "Tidak, Pak. Sa-saya hanya merasa gugup."
Seulas senyum terbujur di bibir Nicholas. Ia berjalan ke luar, menuju dapur mengambil gelas. Membuka lemari es untuk menuang air dingin ke gelas. Dibawanya gelas itu kembali ke dalam kamar untuk diberikan ke Sofia. "It's okay. Kalau lo gugup, gue nggak akan maksa. Gue tunggu sampai lo siap. Just take your time."
"Terus, kalau nanti Bu Anita tanya, saya harus jawab bagaimana?" Sofia merasa aneh Nicholas melepaskan dirinya begitu saja. Padahal, sepengetahuan Sofia, Nicholas merupakan tipe pemburu. Bosnya itu tidak mungkin melepas mangsa, apalagi jika sudah di depan mata. Tak cuma dalam urusan bisnis, urusan wanita juga demikian. Buktinya Nicholas berhasil mengejar Sofia hingga mau menerima kontrak ini.
"Lo bilang aja nggak enak badan. Lagi pula ini hari pertama lo pindah ke sini, lo butuh adaptasi." Nicholas menjawab santai sambil memeriksa ponselnya. "Kita masih punya banyak hari, nggak perlu terburu-buru."
Ucapan terakhir Nicholas memberi petunjuk sangat jelas pada Sofia. Nicholas dengan mudah melepas Sofia karena malam ini masa subur sang sekretaris. Nicholas tak mau Sofia cepat hamil karena takut kehilangan kesempatan menggaulinya. Mata Sofia memejam untuk sesaat.
Aku harus melakukannya malam ini.... Jika malam ini berhasil, aku tak perlu melakukannya lagi lain kali. Aku tak akan membiarkan Nicholas mendapatkan tubuhku berkali- kali dan sesuka hatinya. Pikir Sofia yang sudah bulat tekad.
"Pak, kita harus melakukannya malam ini. Sesuai interuksi Bu Anita."
Nicholas tak menjawab, matanya menatap lurus netra cokelat gelap milik Sofia. Rupanya Sofia tak mudah diatur-atur. Nicholas harus memutar otak.
"Gue capek, Sof. And you know what? Kalo gue capek, titid gue nggak bisa bangun. Terus gimana kita bisa maen?" bohong Nicholas sambil membuang muka. Ia tak berani kontak mata dengan Sofia. "Gue tahu malam ini masa subur lo, tapi biar lo cepet hamil kan harus lihat kondisi stamina gue juga, fit apa enggak?"
Tak Nicholas sangka, begitu kepalanya menoleh ke arah Sofia kembali. Si sekretaris tengah sibuk melucuti pakaiannya satu per satu. "E-eh, lo mau ngapain?" Kini giliran Nicholas yang dilanda kecemasan.
"Mau membuktikan, apakah punya Pak Nicho benar-benar tidak bisa bangun karena kelelahan."
"Wah, tapi jangan main kotor gini dong, Sof." Nicholas tak menyangka Sofia akan senberani ini.
Blouse telah tanggal, celana jins sudah melorot. Tersisa pakaian dalam warna krem yang senada dengan warna kulit Sofia yang terang. Bukit kenyal Sofia kelihatan lebih besar dari biasanya.
Sofia mendekati Nicholas. "Jadi menurut Pak Nicho, saya sedang main kotor?"
"Bu-bukan gitu, maksud gue...." Nicholas tak melanjutkan perkataannya karena perhatian Nicholas tersedot penuh ke aksi Sofia yang melepas seluruh sisa pakaiannya. "Sof, please, can you just stop it?"
Sofia menaikkan celana Nicholas dari lutut ke pangkal paha paling atas sebelum duduk di pangkuan sang bos tanpa sehelai kain. Pant*t sekalnya di atas kulit paha Nicholas. Buah sintalnya menggantung indah dengan pucuk mancung di depan muka Nicholas. Bagaimana pria berdarah panas ini bisa menahan gairah? Sedangkan aroma Sofia saja lebih dari mampu merangs*ng rasa laparnya untuk bercinta.
Tangan Sofia tanpa permisi meraba batang Nicholas yang diam-diam berdenyut dan membengkak maksimal.
"Sudah bangun, Pak," kata Sofia dengan binar mata memancarkan kelegaan.
Sial*an, gimana junior gue nggak bangun kalo lo kayak gini?
***