Satu bulan berlalu tanpa Anika dan Alvin sadari. Keduanya tinggal di rumah di Ariya Residences salah satu perumahan elit milik Hartasanjaya Grup. Keduanya tinggal di sebuah rumah berukuran 8 x 20 meter persegi dengan empat kamar tidur. Rumah yang cukup besar untuk Anika dan Alvin tempati. Anika dan Alvin tinggal bersama dengan seorang pembantu yang Alvin pekerjakan untuk mengurus rumah mereka.
Alvin dan Anika tidur terpisah dimana Anika lebih memilih tidur dilantai satu sementara Alvin menempati kamar utama dilantai dua. Tentu hal ini hanya diketahui Anika, Alvin dan Bibi yang sudah disumpah untuk menjaga kerahasiaan dirumah ini.
Jangan bayangkan kehidupan pernikahan penuh cinta karena itu tidak akan pernah terjadi dalam pernikahan Anika dan Alvin. Kehidupan rumah tangga Anika dan Alvin berjalan datar. Alvin dan Anika bertemu hanya pada saat di pagi hari ketika keduanya hendak pergi dari rumah. Alvin hendak pergi ke kantornya sementara Anika hendak pergi ke kampusnya untuk bertemu dengan dosen pembimbing skripsinya.
Jangan harapkan rumah tangga yang mesra penuh kebahagiaan pada rumah tangga yang dijalani Anika dan Alvin. Selama sebulan ini keduanya benar-benar hanya seperti hidup bersama dalam sebuah rumah. Mereka hanya berbicara seperlunya dan tidak mencampuri urusan masing-masing.
Seperti pagi ini keduanya duduk dimeja makan dan sibuk dengan urusan mereka masing-masing sementara Bibi mempersiapkan sarapan mereka. Alvin sibuk dengan tablet yang ada ditangannya sementara Anika sibuk dengan HPnya.
Anika tersenyum sambil menatap HPnya sesekali terdengar suara tawa kecil Anika yang kali ini menarik perhatian Alvin pagi itu.
“Ehemmm,” Alvin berdeham mencoba menarik perhatian Anika namun Anika masih focus pada kegiatannya.
“Kamu lagi apa?” tanya Alvin penasaran.
Anika yang mendengar pertanyaan Alvin pun segera mengalihkan pandangannya dari HPnya dan menjawab “Ini lagi bales pesan Mas Dion,”
Alvin mengerutkan alisnya, “Dion?”
“Iya Mas Dion, temen Mas kan masa lupa,”
Alvin sedikit terkejut tidak menyangka Dion benar-benar melakukan apa yang sudah ia katakan waktu itu. Alvin pun kembali menatap tabletnya namun pikirannya berkelana. Setelah percakapan singkat mereka pun Bibi menghidangkan sarapan mereka. Keduanya segera memakan sarapan mereka dan memulai aktivitas mereka masing-masing.
Bagi Anika, menjadi istri Alvin memiliki keuntungan selain ia bebas dari jam malam kini Anika memiliki kendaraan sendiri bahkan mengendarai mobil miliknya sendiri. Anika bebas pergi bersama teman-temannya bahkan Anika memiliki uang saku dari Alvin yang bisa ia pergunakan untuk keperluan sehari-harinya.
Alvin yang memang sudah resmi menjabat sebagai CEO Hartasanjaya Group mulai sibuk dengan kegiatan kantornya. Sehari-hari Alvin bisa mengikuti beberapa meeting dan mungkin pergi keluar untuk menemui beberapa klien atau investor. Alvin yang memang sudah terbiasa dengan dunia kerja tidak kaget lagi dengan hal ini.
Alvin yang baru selesai meeting dengan jajaran pemegang saham Hartasanjaya Group pun pergi makan siang dengan sang ayah yang juga ikut dalam meeting tersebut. Keduanya kini berada di salah satu restoran terkenal di Jakarta yang letaknya tidak jauh dari kantor mereka.
“Vin, Anika apa kabar?” tanya William sambil menatap putra sulungnya itu.
“Baik Yah,”
“Kamu sama Anika nggak mau bulan madu? Ajak Anika bulan madu, kamu jangan terlalu sibuk dengan urusan kantor. Ayah bisa urus selama kamu nggak ada,”
“Bukan nggak pergi Yah. Kami sudah memutuskan nanti perginya setelah skripsi Anika selesai,”
William mengangguk mendengar jawaban Alvin sementara Alvin sendiri sedikit takut Ayahnya curiga dan mencium sesuatu dari pernikahannya dengan Anika.
“Skripsi Anika sudah sampai mana?”
“Minggu depan sidang Yah, Alvin yakin Anika bisa lulus dengan baik. Lalu setelah itu tinggal menunggu wisuda,”
“Kalau gitu Ayah, Bunda dan kedua mertuamu yang akan membelikan tiket bulan madu untuk kalian. Kami sudah berembuk dan sepakat akan memberikan hadiah bulan madu untuk kalian,”
Holyshit!
“Nggak perlu repot-repot Yah, Alvin dan Anika berterima kasih tapi Alvin dan Anika sudah punya tujuan bulan madu kami sendiri,”
“Kami sudah tau. Pasti rencana bulan madu kalian ke Bali atau keliling Eropa, cuma dua tempat itu yang Anika mau kunjungi,”
Bali? Eropa? God?!
Melihat keterdiaman Alvin, William pun terkekeh. “Ayah tau dari mertua kamu, dari dulu Anika hanya mau pergi ke Bali karena Anika suka ke Ubud sedangkan keluar negri Anika hanya mau ke Eropa karena Anika suka musim salju disana dan makanan disana cocok bagi Anika,” cerita William panjang lebar.
Alvin hanya tersenyum tipis. Terlalu beresiko baginya kalau sampai Alvin salah bicara jadi Alvin hanya berpura-pura diam sambil tersenyum tipis. Beruntung tidak lama kemudian pelayan datang mengantarkan pesanan mereka. Alvin dan William pun makan sesekali berbincang mengenai perkembangan perusahaan.
Baru selesai meletakan sendok garpu yang ada ditanganya HP Alvin bergetar dan memunculkan nama Anika disana. Alvin mengerutkan alisnya bingung karena selama menikah ini pertama kalinya Anika menghubunginya ke no HPnya.
“Halo sayang?” ucap Alvin dengan nada datar seperti biasanya.
“Bunda sama Ayah mau nginep dirumah selama rumah Ayah kamu direnovasi?! Gimana ini?!” ucap Anika dengan nada panik disebrang sana.
“Oh ya udah, Ayah sama Bunda kapan pindah?”
“Besok Mas?! BESOK?!”
“Bisa, Ya sudah nanti Mas bawain pesanan kamu. See you,” ucap Alvin lalu mematikan telepon Anika.
“Anika pasti sudah dikasih tau sama Bunda kamu,”
Alvin menatap Ayahnya dengan tatapan seperti biasa datar. “Rumah mau direnovasi Yah?”
“Iya, Ayah lupa bilang kamu. Kamar utama dan ruang kerja Ayah mau dipindah ke bawah karena Ayah capek naik turun tangga jadi biar dilantai satu aja. Dilantai dua kamar kamu dan adek-adekmu terus Ayah mau siapin ruang bermain buat anak kamu nanti,”
Alvin menelan ludahnya sendiri dan bergidik ngeri mendengar kalimat terakhir ayahnya. Anak? Buatnya aja nggak pernah gimana mau jadi anaknya.
“Oh, kapan renovasinya dimula Yah?”
“Lusa, Ayah tinggal di rumah kamu sama Bunda boleh kan?”
“Ya boleh. Banyak kamar kosong kok Yah. Nanti Alvin minta tolong Bibi dibersihin dulu,”
“Terima kasih Nak,”
Alvin menghela nafas tanpa disadari William. Selama William dan Binar berada dirumahnya maka ia dan Anika harus bekerja sama menampilkan pasangan bahagia. Alvin harus secepatnya membahas ini dengan Anika.
Selesai makan siang Alvin segera menghubungi Anika dan membuat janji untuk bertemu dirumah mereka. Alvin pun pulang ke rumah mereka dan menunggu kepulangan Anika di ruang kerjanya. Setelah menunggu beberapa saat Anika pun sampai dirumah dan bergegas masuk ke ruang kerja Alvin. Keduanya pun duduk di sofa yang berada diruang kerja Alvin.
“Mas, bagaimana ini? Kalau Ayah sama Bunda kamu nginep disini mereka bisa tau kalau kita tidur terpisah selama ini,” ucap Anika panik.
Alvin menghela nafas. Alvin tidak pernah menyangka kalau kedua orang tuanya akan merenovasi rumah mereka dan memilih tinggal dirumahnya sementara waktu. “Nggak usah panik. Selama Ayah sama Bunda disini, kamu tidur dikamar aku. Kita tidur sekamar. Kamu bisa tidur dikasur dan aku akan tidur disofa. Aku udah minta Aldi untuk cari sofa yang nyaman untuk ganti sofa yang ada dikamarku supaya aku bisa tidur dengan nyaman disana. Habis ini aku akan minta Bibi pindahin barang-barang kamu ke kamarku, kamar kamu harus kosong karena Ayah dan Bunda akan menempati kamar itu sementara waktu,”
Anika menatap horror Alvin. Tidur sekamar katanya? Geser kali otaknya nih orang?!
“Mas, kita nggak mungkin tidur satu kamar-“
“Hanya tidur diruangan yang sama, itu juga beda tempat tidur. Jangan terlalu mendramatisir dan mempersulit. Ini sudah membuatku pusing,”
Alvin si manusia miskin ekspresi itu mengucapkan semua isi hatinya dari awal hingga akhir dengan ekspresi datar, suara datar dan sesekali terdengar ketus. Itulah Alvino Hartasanjaya si manusia miskin ekspresi.
Sementara itu Anika memandang kesal Alvin. Anika kesal karena semuanya kini semakin rumit tapi Anika hanya bisa mengikuti apa kata Alvin dan sore itu juga Anika membantu Bibi membereskan barang-barangnya dan memindahkannya ke kamar Alvin.
Anika mulai memindahkan barang-barangnya ke kamar Alvin yang tidak lain adalah kamar utama dirumah ini. Ini pertama kalinya Anika masuk ke kamar Alvin dan kamar ini benar-benar sangat luas dan mewah. Anika mengitarkan pandangannya dan jatuh cinta pada pemandangan taman belakang rumah mereka yang jelas terlihat dari sini.
Kemudian Anika berjalan menuju walk in closet dikamar Alvin. Anika mendengus. Alvin membuat walk in closet sebesar ini tapi tidak diisi semua buat apa dibuat sebesar ini. Anika pun mulai merapihkan barang-barangnya yang sudah dibawa naik oleh Bibi.
Anika merapihkan barang-barangnya dengan cepat sebelum Alvin kembali ke kamarnya untuk istirahat. Pasti canggung berada dalam satu kamar yang sama dengan manusia kaku dan miskin ekspresi seperti Alvin. Berada satu ruangan bersama Alvin selalu berhasil membuat Anika kesal dan rasanya Anika ingin mengajari bagaimana cara berekspresi pada Alvin.
Anika selesai merapihkan barang-barangnya dan hendak keluar dari kamar Alvin namun satu bingkai foto dengan ukuran sedang menyita perhatiannya dan membuat Anika membeku sesaat. Foto Alvin bersama seorang wanita. Keduanya tampak begitu bahagia. Senyum Alvin yang begitu lebar menatap kamera. Senyum yang tidak pernah diberikan untuknya dan tidak akan pernah akan diberikan untuk Anika. Alvin merangkul mesra wanita itu dan tanpa sadar air mata Anika menetes.
Anika menatap foto wanita itu lekat-lekat. Dia milikmu. Kamu tidak ada pun hatinya masih untuk kamu. Aku disini yang terjebak dalam pernikahan dengan dia yang masih sangat mencintai kamu. Sampai pernikahan ini selesai bantu aku agar aku bisa menjaga hatiku sendiri.
Anika menghapus air matanya yang mengalir dipipinya dan keluar dari kamar Alvin. Anika menuruni tangga berpapasan dengan Alvin. Anika hanya diam tanpa berniat menyapa. Satu foto berhasil menghancurkan mood Anika. Baru beberapa langkah Anika berhenti dan membalikan tubuhnya menghadap Alvin.
"Mas,"
Alvin berhenti dan membalikan tubuhnya menatap Anika. Alvin kaget melihat ada jejak air mata di wajah Anika.
"Aku harap foto dikamarmu bisa kamu simpan dulu selama Ayah dan Bunda kamu tinggal disini. Aku hanya berjaga-jaga. Kalau sampai mereka masuk ke kamar kamu, aku nggak mau mereka kaget melihatnya dan akhirnya apa yang aku lakukan selama ini menjadi sia-sia," ucap Anika dengan nada datar.
Alvin terdiam dan ada rasa tidak nyaman melihat kondisi Anika seperti ini. Alvin merasa bersalah menyeret Anika dalam pernikahan ini. Disisi lain Anika menangisi nasibnya masa depannya hancur tidak seperti rencananya dan kini Anika harus menerima kenyataan pernikahannya tidak seperti yang ia harapkan.
Apa lagi yang bisa Anika lakukan selain menerima takdir rasanya sudah tidak ada. Anika sudah hancur tepat dihari kedua orang tuanya membenarkan mengenai perjodohannya dengan Alvin. Anika sudah hancur menjadi debu.