Bagaimana rasanya bersandiwara selama hampir sepanjang hari? Rasanya begitu melelahkan. Tidak bisa melalukan hal yang kita inginkan dan harus melakukan hal yang sebenarnya belum tentu kita sukai. Melakukan sandiwara hampir satu minggu lamanya membuat Alvin dan Anika merasa lelah. Alvin berusaha mendekatkan dirinya pada Anika dan Anika berusaha terbiasa dengan banyaknya kontak fisik yang Alvin lakukan. Memang kontak fisik yang Alvin lakukan hanya sebatas mencium kening, pipi, memeluk pinggang atau merangkul Anika tapi Anika tidak pernah sedekat ini dengan pria manapun jadi Anika merasa aneh.
Seperti siang ini Anika datang ke kantor Alvin tentu bersama dengan Binar yang ingin mengunjungi kantor William. Keduanya membawa bekal makan siang yang akan mereka makan bersama diruang kerja William.
Anika menghampiri Alvin diruang kerjanya. Anika mendatangi meja Kevin, sekertaris Alvin. Anika pun menyapa Kevin dan menanyakan keberadaan Alvin dan benar Alvin berada diruangannya. Anika masuk kedalam dengan mengetuk pintu terlebih dahulu dan masuk kedalam ruang kerja Alvin.
Anika menatap kagum ruang kerja Alvin yang terlihat sangat minimalis namun terkesan maskulin. Anika pun menatap Alvin yang masih focus menekuni dokumen yang berada di meja kerjanya itu.
“Mas. Ayo makan diruangan Ayah,” Anika memanggil Alvin namun tidak ada jawaban. Alvin masih focus dengan dokumen dihadapannya. Anika yang takut mengganggu pekerjaan Alvin pun memilih menunggu di sofa yang letaknya tidak jauh dari meja kerja Alvin.
Setelah menunggu sekitar sepuluh menit lamanya, Alvin pun merenggangkan dasi yang terpasang dileher kerah kemejanya dan bangkit dari kursinya kemudian berjalan menuju pintu. “Ayo ke ruangan Ayah,”
Dasar manusia nyebelin!
Anika melongo melihat Alvin yang tidak menghampirinya. Anika menghela nafas lelah kemudian keluar mengikuti Alvin. Alvin pun menaiki lift bersama Anika menuju ruangan Ayahnya. Dari ujung matanya Alvin memperhatikan Anika yang terlihat lelah.
“Jangan terus mengikuti keinginan Bunda. Kalau kamu lelah coba jujur sama Bunda. Sesekali tolak ajakan Bunda tidak masalah,” ucap Alvin masih dengan wajah datarnya.
Anika menoleh ke arah Alvin. “Aku nggak enak nolaknya Mas. Bunda kelihatan antusias sekali,”
“Nanti saya bantu ngomong sama Bunda,”
“Tapi Mas nanti Bunda salah paham,”
“Saya akan cari waktu yang pas untuk ngomong sama Bunda. Kamu tenang saja,”
Anika mengangguk pasrah dan ketika lift terbuka, Alvin segera melingkarkan tangannya pada pinggang Anika dan merangkulnya. Anika yang masih belum biasa masih terkesiap kaget dan setelah itu keduanya pun keluar dari lift dan berjalan menuju ruangan William.
Alvin mendekatkan mulutnya ke telinga Anika dan berbisik. “Sudah hampir seminggu. Seharusnya kamu sudah tidak kaget lagi ketika saya merangkul kamu,” selesai mengatakan hal itu Alvin mencium sisi kepala Anika dengan sayang membuat jantung Anika berdebar tidak karuan.
“Kalian lama banget sih? Bunda sama Ayah uda nunggu dari tadi malah mesra-mesraan dulu,” ucap Binar yang baru keluar dari pantry sambil berkacak pinggang menatap putra sulung dan menantunya itu.
“Maaf Bun,” jawab Alvin singkat.
“Ayo cepat masuk. Ayah kalian sudah menunggu didalam,” ucap Binar sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah putra sulungnya itu.
Saat masuk ke dalam ruangan kerja William, Alvin dan Anika dikejutkan dengan keberadaan Devano dan Diandra yang juga berada di Gedung Hartasanjaya. Anika senang bukan main dan langsung menghambur ke pelukan Diandra.
“Kangen Mama,” ucap Anika sambil memeluk Diandra.
“Kan biasa sudah teleponan,” ucap Diandra sambil membalas pelukan Anika.
“Drama anak bungsu,” ucap Devano meledek Anika dan Diandra dan mendapat respon tawa dari semua orang.
Setelah perbincangan singkat mereka semua pun akhirnya makan bersama di ruangan William. Mereka semua makan dengan lahap dan sesekali mereka berbincang kecil. Selesai makan siang Alvin dan Anika saling bertatapan ketika Binar menyodorkan sebuah amplop. Anika menerima amplop itu dan membukanya.
“Tiket? Italia?”
Anika menatap Alvin bingung.
“Pergilah bulan madu. Kalau ngikutin jadwal Alvin, Bunda yakin kalian nggak akan pergi-pergi bulan madu,”
“Terima kasih Ayah, Bunda, Papa dan Mama,” ucap Anika sambil menatap orang tuanya satu per satu. Alvin dan Anika tersenyum namun dalam hati mereka panik. Anika melihat tanggal pesawat pergi dan tanggal pesawat pulang. Anika menghitung lama mereka akan pergi ke Italia. 3 Minggu. Anika langsung memberikan tiket itu pada Alvin.
Alvin menerima tiket yang Anika berikan dan melihat apa yang tadi Anika lihat. 3 Minggu bersama di Italia? Alvin benar-benar dalam masalah.
“Jangan pikirkan perusahaan. Ayah akan urus semua selama kamu pergi sama Anika,”
“Tapi jangan lupa, kalian pergi berdua pulang harus bawa personil baru,”
Anika mengerutkan alisnya. “Personil baru?”
“Cucu Mama,”
Anika tersedak ludahnya sendiri saat mengetahui maksud hati ke empat orang di hadapannya itu. Anika benar-benar dalam masalah.
Anika dan Alvin kini berada di dalam kamar mereka dan Anika sedang melamun memikirkan nasibnya selama tiga minggu di Italia bersama Alvin. Sehari bersama Alvin saja cukup membuat Anika mati kebosanan karena Alvin benar-benar tidak menyenangkan. Alvin selalu menjadi Alvin si datar yang miskin ekspresi lalu nanti Anika akan menghabiskan tiga minggu bersama Alvin. Habislah dirinya.
Alvin yang awalnya sedang membaca berita melalui ipadnya pun tidak sengaja melihat Anika melamun. Alvin berdecak karena sudah beberapa kali Alvin menemukan Anika melamun. “Jangan melamun. Kamu tidak tau apa yang orang lain lakukan saat kamu tidak sadar Anika,”
Anika terkesiap kaget. “Mas, bisa gak kita gak usah pergi ke Italia?”
Alvin menatap Anika dengan tatapan datarnya. “Memang kenapa?”
Anika pun spontan menjawab, “Tiga minggu sama kamu yang miskin ekspresi dan datar seperti ini pasti tidak menyenangkan,” Sadar akan apa yang sudah keluar dari mulutnya Anika pun menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan menatap Alvin dengan tatapan memohon ampun. Anika keceplosan.
Alvin menatap tajam Anika. “Seharusnya kamu bersyukur karena kamu bisa liburan gratis. Benar kata Bunda, kalau nunggu saya, kamu nggak akan pernah bisa pergi. Jadwal saya padat,”
Anika memutar bola matanya. Alvin memang menyebalkan. Bagaimana ia bisa tahan bersama dengan Alvin selama tiga minggu. Anika yakin ini akan menjadi perjalanannya ke luar negri pertama dengan orang yang menyebalkan dan membosankan.
Alvin memperhatikan Anika dari ujung matanya. Anika memang terlalu polos dan terlalu jujur. Respon Anika yang tidak pernah delay membuat Alvin terkadang kaget dengan reaksi yang Anika berikan.
“Mas, kalau aku mau cerai secepatnya boleh?” tanya Anika tiba-tiba.
Alvin mengerutkan alisnya dan menatap Anika. “Memangnya kamu sudah menemukan pria yang mencintai kamu dan siap bertanggung jawab atas kehidupan kamu?”
Anika menggelengkan kepalanya.
“Kalau belum ngapain terburu-buru. Lagi juga baru mau pergi bulan madu uda ngajakin cerai,”
“Pernikahan kita kan nggak sungguhan Mas,” ucap Anika sambil memutar bola matanya.
“Pernikahan kita sungguhan Anika, hanya kita yang gak sungguh-sugguh menjalaninya,” ucap Alvin sambil kembali focus menatap ipadnya.
Anika menghela nafas kemudian memainkan jari tangannya.
“Cepat tidur. Sudah malam. Besok siapkan barang-barang kamu untuk pergi. Barang-barang saya, Kevin yang akan siapkan. Jangan menyentuh apapun milik saya,”
Anika menatap Alvin horror. Yang mau nyiapin barang loe siapa Bambang?!
Anika pun memeriksa guling yang berada di tengah-tengah antara dirinya dengan Alvin. Setelah memastikan guling sudah berada ditempatnya Anika pun segera merebahkan tubuhnya dikasur dan menyelimuti tubuhnya hingga ke lehernya. Anika terus bergerak karena dirinya terlalu khawatir dengan rencana kepergian mereka ke italia.
“Jangan banyak bergerak! Cepat tidur,”
Anika memutar bola matanya malas. Ish! Mau tidur aja banyak complain!
Anika berusaha memejamkan matanya tapi matanya tidak mau terpejam. Tanpa sadar Anika terus menghela nafas dan semua helaan nafas Anika didengar jelas oleh Alvin.
Disisi Anika, Alvin merasa bersalah pada Anika. Selama pernikahan mereka, setiap helaan nafas Anika, setiap jejak air mata Anika, setiap tatapan terluka yang ia lihat membuat rasa bersalahnya semakin besar. Tapi Alvin pun tidak bisa berbuat apa-apa. Alvin tidak bisa memberikan pernikahan yang bahagia untuk Anika karena Alvin mencintai Mikhaela dan hanya Mikhaela yang ada dihatinya.
Alvin yang tadinya memejamkan matanya kini membuka kedua matanya dan menengok kearah Anika yang kini memunggunginya. Bahu Anika bergetar dan Alvin tidak bodoh untuk mengartikannya. Anika kembali menangis dalam diam.
Alvin bangkit dari tidurnya dan turun dari tempat tidur. Alvin berjalan menuju sisi tempat tidur Anika. Alvin berlutut mensejajarkan diri dengan Anika dan benar Anika sedang menangis. Ada rasa tidak nyaman kembali menyerang dirinya. Tanpa Alvin sadari tangannya menyentuh pipi Anika dan menghapus air mata Anika.
"Maaf kalo pernikahan ini cuma memberi rasa sakit buat kamu. Saya sendiri sama sakitnya dengan kamu. Saya minta maaf. Sampai kamu menemukan pria yang mencintai kamu dan kamu mencintai dia mari hidup dengan baik bersama. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk tidak menyakiti kamu," ucap Alvin dengan nada lembut.
Anika masih memejamkan matanya. Air matanya semakin deras keluar setelah mendengar ucapan Alvin. Anika hancur. Anika sangsi apa bisa menemukan pria yang mencintai dirinya padahal statusnya sudah menjadi istri orang. Anika pesimis.
Alvin menghela nafas dan berdiri keluar meninggalkan Anika seorang diri dikamar. Mendengar pintu tertutup Anika pun membuka matanya dan membiarkan air matanya mengalir bebas. Anika bangun dari tidurnya dan kembali menangis. Kali ini Anika tidak menahan suara tangisannya lagi. Anika sudah putus asa pada masa depannya, kehidupan pernikahannya, kehidupan percintaannya. Anika merasa dalam sebuah ruang gelap tanpa ada tangan yang membantunya keluar dari kegelapan itu.
Alvin sendiri terdiam di depan pintu kamarnya membeku mendengar suara tangis Anika yang terdengar memilukan hati. Beruntung kamar kedua orang tuanya berada dikamar bawah sehingga tidak akan mendengar tangisan pilu Anika. Alvin mengusap kasar wajahnya dengan kedua tangannya. Alvin sendiri bingung dengan pernikahannya. Alvin tau ia jahat menikah dengan Anika ketika hatinya selalu menjadi milik Mikhaela.
Alvin mengadahkan wajahnya menatap langit-langit. "Aku harus gimana Kay?" ucap Alvin dengan nada lirih.