Ex-Boyfriend

1101 Words
Anthonio mengajakku berkeliling, kali pertama aku memasuki rumahnya lagi-lagi diriku merasa takjub. Aroma khas kayu jati, terlihat sederhana dari luar namun sangat modern dari dalam sini. Ruang tamu yang sangat luas dilengkapi dengan perabotan antik, dinding dan plafon seluruhnya terbuat dari kayu yang tidak diberi cat apapun, meninggalkan warna khas dari kayu tersebut yaitu cokelat tua. Membuat suasana di dalam rumah itu begitu gelap dan suram, hanya beberapa lampu yang ditempelkan tembok yang ada di lorong dan lampu nakas yang menerangi ruangan ini. Seketika kakiku berhenti tepat di sebuah lukisan tua yang terpajang satu-satunya di dinding ruang tamu itu, seorang anak laki-laki dengan ibunya. Aku mengernyit heran, apa di sini ada anak laki-laki? Batinku dalam hati. "Kau mau berdiri di sana menjadi patung?" Seruan Anthonio sedikit mengejutkanku, wajahku cemberut dan mengikutinya menyusuri lorong yang cukup panjang. Ia menjelaskan semuanya, terdapat banyak kamar kosong yang ada di lorong tersebut guna menyambut para tamu atau client. Tapi ia tidak mempersilakanku masuk ke salah satu kamar tersebut dan malah terus berjalan dan menaiki tangga yang ada di ujung lorong. Lagi-lagi, aku menemukan sebuah lukisan seorang wanita cantik dengan seorang anak lelaki yang ku taksir usianya sekitar 5 tahunan. Tapi aku tidak berhenti untuk menyimak lukisan itu karena takut tertinggal oleh Anthonio. Rumah ini begitu besar dan terdapat banyak kelokan, dan aku takut tersesat di dalam sini. Brak! "Aarghh!" Jantungku hampir saja keluar dari tempatnya, aku pikir aku menabrak sesuatu. "Verone, apa yang kau lakukan?" Bentaknya di depan wajahku, seketika nyaliku makin menciut apalagi setelah beberapa menit berada di dalam rumah suram ini. "Maaf...." ciutku, ia menghela nafas kasar. Mungkin merasa bersalah karena membentakku, lagi pula aku tidak sengaja menabraknya dari belakang, di sini sangat gelap dan kedua mataku tidak terbiasa dengan sesuatu yang gelap. Sepertinya aku membutuhkan kacamata... "Kemarilah!" Ucapnya lalu menarik tanganku. Menuntunku berjalan di dalam kegelapan, membuat wajahku kini menjadi semerah tomat. Ia mengelus jemariku seolah menenangkanku, jujur aku sangat malu saat ini. Jemari besarnya menutup semua tanganku, terasa keras dan kasar. Oh, Verone... apa yang kau bayangkan? Sepertinya aku harus menyingkirkan pikiran nakal ini selama berada di sini. Sepertinya kami telah berada di lantai dua, dan suasana masih sama. Hanya saja sedikit lebih terang karena terdapat banyak kaca jendela yang sepertinya tidak memiliki gorden penutup itu. Yeah, hanya itu yang membuat tempat ini terang. Ia berhenti tepat di sebuah pintu, mengambil kunci dari dalam sakunya dan membuka pintu. "Ini kamarmu..." ujarnya berbalik ke arahku dan mempersilakanku masuk. Aku mengintip ke dalam seraya menarik tanganku yang sedari tadi ia genggam. "Dan ini kamarku." tunjuknya, aku mengikuti arah telunjuknya dan aku mengernyitkan kening. Kamarnya tepat berada di depan kamarku, what the h*ll? "Mengapa kamarku tidak di bawah saja?" Protesku. "Apa kau mau tidur sendirian di sana?" Tanyanya, aku merinding mendengarnya. Tidur di kamar yang sama sekali tidak memiliki pengghuni. "Masuklah, kau pasti lelah." tawarnya, aku meliriknya tajam. "Kau tidak mau masuk dan menjelaskan isi kamarmu padaku?" Tanyaku memancing, guna memastikan ia benar-benar tidak menjebakku dengan menginap di sini. Ia menghela nafas kasar, aku harus mendongak guna melihat wajahnya yang sangat tampan itu. Ia mendekat ke arahku hingga aku harus mundur perlahan. "Percayalah Verone, kau pasti tidak ingin aku berada di dalam kamarmu..." ujarnya sembari menatapku dari atas sampai bawah. "...lagipula, aku tidak ingin memaksamu seperti dulu.. kau yang akan membukanya untukku." bisiknya di telingaku secara erotis, memberikan gelenyar aneh di seluruh tubuhku. Suara baritonnya, aroma maskulinnya, membuatku ingin memeluknya saja dengan jarak yang sangat dekat ini. Ia terkekeh lalu menjauh dariku, "ini hanya bisnis Verone, tidak usah diambil hati." ujarnya lalu meninggalkanku menuju kamarnya dan membanting pintu. Membuatku setengah kesal, namun juga membuat nafasku setengah memburu. Hampir saja aku menyerahkan diriku padanya lagi, sepertinya hatiku harus kuat menghadapinya, jika tidak, mungkin benar apa yang dikatakannya barusan. Aku yang akan membukakan untuknya... ... Aku memasuki kamarku, begitu terang dan sangat terbuka. Kaca jendela yang besar langsung mengarah pada kebun anggur yang luas di sana, membuat senyumku mengembang. Aku bisa melihat keindahan dari atas sini setiap hari, sepertinya aku mulai menyukai tempat ini. Kulihat ranjang dan gorden yang ada di kamar ini berwarna senada, merah jambu. Kedua lampu berada di atas nakas di kanan dan kiri ranjang. Terdapat dua pintu di sana, aku membuka satu pintu yang ternyata adalah sebuah walk-in-closet dengan segala perlengkapan mulai dari baju dan sepatu telah dipersiapkan oleh pria itu. Eh, tunggu dulu. Aku berjongkok seraya menatap sepatu bot yang ada di sana, berpikir sejenak. Semenjak kapan Anthonio tahu kedatanganku kemari? Hingga ia mempersiapkan semua ini. Atau memang ada seorang wanita dan anak laki-laki yang tinggal di sini. Seketika tubuhku merinding, pikiranku mulai horor. Aku segera menutup pintu tersebut dan beralih ke pintu lain. Yang ternyata adalah sebuah kamar mandi lengkap dengan bath-up dan shower serta closet. Terlihat sangat modern, aku pikir kamar mandinya masih memiliki khas gaya tradisional. "Hah...." Aku menghela nafas kasar, sepertinya tubuhku mulai pegal karena seharian ini berjalan kaki di bawah terik panas matahari. Aku memutar keran dan mengisi bath-up dengan taburan sabun lavender. Busanya menguar seiring aromanya yang khas dan begitu wangi, aku membuka seluruh pakaianku tanpa terkecuali. Tak menyisakan sehelai benang pun lalu memasuki bath-up dan merendamkan setengah badanku di sana. Ah.... sangat nikmat bisa memanjakan diri setelah seharian ini begitu lelah. Aku menyandarkan kepalaku di ujung bath-up seraya menutup kedua mataku, merasakan relaksasi yang diberikan oleh aroma Lavender yang menenangkan. Ku biarkan setengah rambutku basah karena tak kugelung, tinggal di sini ternyata tidak terlalu buruk. Meskipun tidak dapat mengakses dunia luar nyatanya aku masih bisa memanjakan diri dengan cara lain, dengan cara yang sangat tradisional dan terkesan lama. Membaca buku atau mungkin bercocok tanam di luar sana tidaklah buruk, ini hanya sebentar. Jika aku telah mengerti proses pada minuman anggur, aku akan pulang kembali ke kota dan usahaku akan berjalan lancar. Sangat simpel, dan aku berhasil memiliki semuanya. Aku dapat bernafas lega sekarang. Cukup lama aku berendam di sini, aku mulai mengantuk dan segera membersihkan diriku di bawah shower. Setelah itu, aku mengambil handuk dan melilitkannya di tubuhku. Keluar dari dalam kamar mandi guna mencari pakaian di dalam walk in closet. Tapi seketika diriku terkelonjak kaget ketika mendapati pintu terbuka dan menampilkan Anthonio. "s**t! Apa kau tidak bisa mengetuk terlebih dahulu?" Cecarku seraya memperbaiki lilitan handukku yang sialnya sangat minim ini. Ia hanya terkekeh di ambang pintu, "tenanglah Verone, aku hanya mengajakmu makan malam, kau pasti lapar..." "Tapi bisakah kau mengetuk, dasar m***m!" Makiku lagi padanya, tapi seperti biasanya, ia menganggapinya biasa saja. "Apa kau pikir setelah ini akan terjadi adegan panas? Sudah ku bilang aku tidak akan melakukannya, sebelum kau yang memulainya..." ujarnya lalu kembali menutup pintu. Aku mengernyit heran, apa maksudnya itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD