His Charm

1049 Words
"Apa yang kau tunggu Tuan Anthonio?" Tanya Andrew di sebelahku, Anthonio terlihat hanya mengelus dagunya sedari tadi seraya memegang pena. Dahiku berkerut bingung, ia hanya menatap kontrak yang aku tawarkan tanpa berniat menandatanginya. Perasaanku sempat was-was, takut ia tidak ingin berbisnis denganku dan mengurungkan niatnya untuk menyuplai anggur-anggurnya yang berharga itu. "Tuan Anthonio, apa ada masalah?" Tanyaku seraya berdeham, ia melirikku dengan tatapan tajamnya. Membuatku jadi salah tingkah dan memperbaiki cara dudukku, aku duduk dengan menyilangkan kedua kaki di hadapannya. Berusaha sesempurna mungkin di depan rekan bisnisku itu. "Tidak ada, hanya saja...." katanya menahan kalimatnya seraya memijit dahinya. "Andrew bisa kau tinggalkan kami berdua?" Tanyanya kepada Andrew, sontak aku sedikit terkejut. Andrew melirikku sekilas, aku mengangguk dan ia beranjak pergi sebelum pamit kepada kami. Well, kini hanya ada kami berdua. Dan lagi-lagi aku harus menahan sikapku yang terkadang terlalu berlebihan, tatapannya tajam kepadaku, seolah menelanjangiku ia melihat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dalam hati aku tahu tatapannya itu adalah tatapan nakal, aku tidak mengerti apa artinya itu. Tapi yang aku tahu, sepertinya ini tidak baik untuk nasibku kelak. "Kau mau berbicara denganku? Berbicaralah! Aku tidak punya banyak waktu." kataku ketus. Ia mendengus, "sayang sekali, aku menginginkan waktumu." aku mengernyit bingung. "Apa maksudmu?" "Well, yang aku tahu nona... kau sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam bidang ini." katanya seraya menaruh kembali kontrak tersebut. "Kau merendahkanku?!" Cecarku dan ia hanya terkekeh, sepertinya ia tengah bermain denganku. "Aku hanya ingin memastikan." "Apa itu?" Tanyaku. "Kau tinggal di sini beberapa minggu dan belajar mengolah anggur, lalu aku akan menandatangani kontrak itu." jelasnya, aku mengepalkan kedua tanganku. Berani-beraninya ia memerintahku seperti itu. "Kau tahu tuan? Pikiranmu sangat kekanak-kanakan sekali, hanya untuk sebuah bisnis!" Bentakku, aku menghembuskan nafas kesal. Berniat mengambil tasku dan meninggalkan tempat ini, sungguh ia membuat darahku mendidih hari ini. "Verone...." aku terdiam, ketika ia menyebut namaku dengan lembut. Tak seperti biasanya ia memanggilku dengan sangat formal dan menyebut nama belakangku, jemariku terasa panas, saat ia menggenggamnya. Saat aku memegang tasku ia menahannya, aku hanya bisa berdoa dalam hati agar tidak luluh kepadanya. "Aku akan menandatangani kontraknya, tapi sebagai bos seharusnya kau tahu produk yang akan kau pasarkan kelak. Dan sebaiknya kau mempelajarinya terlebih dahulu..." bujuknya dengan sangat lembut, aku tidak tahu ini tipu muslihatnya atau bukan, tapi aku berpikir perkataannya barusan sepertinya ada benarnya. "Kau tidak menjebakku bukan?" Tanyakku menilai wajahnya, tapi sepertinya reaksi pria itu sangat sulit ditebak, seperti biasa, datar... "Untuk apa? Jika aku ingin mungkin saat ini juga aku akan menelanjangimu." katanya membuat wajahku memerah. Aku menarik kembali tanganku, sambil berpikir dengan keras. Menatap wajah tampannya dengan seringai jahil, ia mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Aku kembali keposisi semula, berusaha bersikap profesional. Menjadi seorang atasan memang tidaklah mudah, sebuah keputusan sulit dan sialnya harus melibatkan masalah pria. Dan semoga saja Anthonio bersungguh-sungguh dengan perkataannya. "Apa untungnya bagiku jika aku menginap dan memperlajari kebunmu itu?" Tanyaku balik. "Well, dengan senang hati aku akan menawarkan harga murah... hanya untuk gadisku." rayunya seraya memainkan sebelah mataku kepadaku, sontak aku melototkan kedua mataku. Semoga saja rayuan mautnya itu tidak membuatku besar kepala. "Deal." Jawabku lantang, ia tersenyum seraya mengulurkan tangannya. Dengan berat hati aku menyalaminya. Dalam hati aku terus berdoa, It's just business.. It's just business.. ... Aku berjalan ke arah mobil dengan wajah cemberut, Anthonio terus memanggilku namun tidak aku tanggapi. "Andrew, aku ingin kau mengambil semua barang-barangku... mulai dari baju, topi dan semua peralatan make-upku." kataku setelah menghampiri Andrew. "Hey... tunggu dulu Young Lady, kau mau apa?" Aku menaikan kedua bola mataku, sekarang apa lagi? "Tentu saja mengambil barang-barangku." kataku sambil berbalik menghadapnya. "Tidak, itu tidak akan terjadi. Kau akan memakai pakaian khas tempat ini." "Apa??!!!" Teriakku. "Aku tidak mungkin bertahan di tempat panas ini sehari saja tanpa peralatanku!" Cecarku. "Kau tidak bisa membawa gaya kotamu di tempat ini, Young Lady. Kau harus beradaptasi di sini." "Persetan dengan perjanjianmu!" "Whoa! Listen Princess.... don't be mad! Aku berjanji ini hanya untuk sementara waktu." bujuknya, kini ia mulai menaikan suhu kepalaku menjadi sangat panas. Anthonio terus membujukku, kami berdua terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang berdebat dan diperhatikan oleh orang banyak. Berbeda argumen sementara ia terus mengotot agar aku tetap tinggal di sini, sementara aku menyalahkan dirinya karena dengan sengaja melakukan perjanjian bodoh ini. "Miss, sepertinya kalian harus berhenti bertengkar sebelum orang-orang menertawai kalian." bisik Andrew di telingaku, sontak saja aku terdiam. Melirik sedikit ke arah para pekerja itu menatap ke arah kami. Aku berdeham, membenarkan pakaianku menjaga wibawaku sebagai seorang bos. Sementara Anthonio hanya menaikan sebelah alisnya menatapku. Baiklah, kau menang kali ini. Aku menghela nafas kasar, Anthonio tersenyum penuh kemenangan seraya berbalik dan menuju rumahnya kembali. Sementara aku, harus berbicara dengan Andrew secara serius. Karena pastinya aku tidak akan berada dikantor untuk waktu yang cukup lama, dan guna menyiapkan alasan kepada Daisy ketika ia mencariku. Cukup lama aku berbicara dengan Andrew, dari kejauhan Anthonio nampak gelisah menunggu di teras rumahnya. "Apa yang harus ku katakan pada Daisy?" Tanya Andrew yang mulai panik, karena aku tahu ia juga takut pada wanita itu. Aku berpikir dengan keras seraya menggaruk tengkuk belakangku. "Ah, jika ia mencariku bilang padanya bahwa aku sedang sibuk mencari vendor baru hingga ke pelosok hutan hingga sulit dihubungi." "Miss, kau bercanda?" "...tidak Andrew, lakukan saja! Sebelum Daisy membunuh kita berdua jika semua ini terbongkar." cecarku. "Baiklah miss, semoga saja Daisy tidak tahu dan aku tidak akan dipecat." katanya pasrah, aku menghembuskan nafas kasar, please jangan berdoa seperti itu. "Oke, kau tahu jadwalku bukan? Aku ingin kau menangani semuanya dan jangan sampai ada masalah." "Tunggu dulu! Apa aku tidak dapat menghubungimu?" Tanyanya lagi. "Tentu saja, kau tidak tahu di sini sangat primitif? Aku bahkan tidak mendapatkan sinyal di sini." jawabku kesal, aku mengambil ponsel dari dalam sakuku dan menyerahkannya kepada Andrew. "Kau benar-benar tidak akan menggunakan ponsel?" "Tidak! Ini... bawa semuanya, aku bahkan tidak akan membutuhkan semua itu di sini." kataku menyerahkan tasku dan meninggalkan Andrew. "Tunggu Miss... kau akan membutuhkan ini." katanya menyusulku dan menyerahkan map berisikan kontrak tadi seraya mengidipkan kedua matanya. Apa maksudnya itu? Ia berlalu pergi sebelum berbisik goodluck kepadaku, dan akhirnya tinggalah aku sendiri. Aku kembali menatap rumah kayu itu, terdapat pemiliknya di depan rumah seraya berkacak pinggang menungguku. Oh... hari-hariku pasti akan sangat membosankan berada di tempat terpencil seperti ini. Belum lagi aku harus menghadapi pria yang kelihatannya sedang mengalami masa puber itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD