"Andrew apa sudah siap semua?" Teriakku kepada Andrew seraya berkacak pinggang, terlihat dari kejauhan Andrew bersusah payah membawa koper yang isinya adalah berkas-berkas yang aku butuhkan nanti.
Ia membukakan pintu mobil, dengan anggunnya aku mendudukan diri di samping kemudi dan Andrew segera duduk di sampingku dan menyalakan mobil.
Seperti biasa, Andrew adalah orang yang sigap. Lihat saja keringat yang bercucuran di dahinya, membuatku hampir tak bisa menahan tawaku selama perjalanan.
Kami meninggalkan wilayah perkotaan, menuju tempat yang lebih banyak pepohonan dari pada gedung bertingkat tinggi. Jalan terlihat mulai sepi, aku mengernyitkan kening. Sama sekali tidak ada bangunan di sepanjang perjalanan.
Aku merasa seperti berada di texas...
Di musim panas seperti ini matahari sedang teriknya, aku membuka kancing atas kemejaku guna memberi sedikit angin di dalam tubuhku. Ku buka kacamata yang sedari tadi bertengger di hidung dan mengaitkannya di rambut, melihat ke arah luar jendela.
Mulai terlihat padang nan luas, kawasan pertanian mungkin. Beberapa tanaman bunga dan sayur berjejer rapi di sana.
Beberapa orang yang aku tebak adalah pegawai tengah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.
Sepertinya musim panen telah tiba, beberapa buah labu terlihat sangat berwarna orange.
Tak terasa bibirku tersenyum, pemandangan yang begitu asri di cuaca terik seperti ini membuatku nyaman. Sepertinya aku akan sering-sering berkunjung kemari.
Aku membuka kaca jendela, pegawai di sana sangat ramah menyapa orang baru sepertiku. Andrew sempat mengingatkan untuk tidak terlalu dekat dengan orang-orang pertanian, aku hanya membalasnya dengan hembusan nafas kasar. Mungkin Andrew terlalu banyak menonton film thriller, batinku.
Menurutku mereka sangat baik, tidak seperti orang-orang di kantor gedung bertingkat dengan jas rapih yang menjunjung tinggi keangkuhan dalam berbicara.
Kulihat pula anak-anak berlarian di sekitar kebun, dan kini aku dapat melihat dengan jelas hamparan kebun anggur yang sangat luas.
Aku membulatkan kedua mataku tak percaya, kebun yang luasnya tak terhingga itu seperti tidak berujung. Dengan anggur yang kunilai adalah anggur terbaik yang pernah kulihat.
Oh, aku tidak sabar menjalin kerjasama dengan sang pemiliknya. Aku akan memberikan harga berapa pun untuk anggur-anggur itu, apalagi setelah diolah menjadi minuman.
"Miss... kurasa kita telah sampai." ujar Andrew membuyarkan lamunanku.
Kedua mataku beralih ke depan, aku mengernyitkan kening bingung. Apa ini sebuah guyonan?
"Apa ini Andrew?" Tanyaku ketus.
"Ah, ya. Menurut peta ini adalah kantornya." ucap Andrew, aku melotot kepadanya.
Ia segera turun dari mobil guna menanyakan kebenarannya, yang benar saja. Pengusaha pertanian yang paling sukses tinggal di sebuah rumah kayu seperti itu?
Tak ada penjagaan dan terlihat sepi, aku sempat berpikir mungkin ini hanya tempat para pegawai beristirahat.
Beberapa menit...
Aku mulai gelisah, belum lagi cuaca panas yang membuat gerah tubuhku. Keringat sedari tadi membanjiri wajah dan leherku, rambutku ku biarkan tergerai. Sialnya aku memakai heels tinggi di tempat seperti ini.
Aku merutuk dalam hati, mengapa Andrew lama sekali? Aku ingin menelponnya tapi ketika menyadari bahwa ponselnya masih ada di sini aku mengurungkan niatku.
Aku menghela nafas kasar, tak sabar akhirnya aku keluar dari dalam mobil.
Terik panas matahari seakan membakar tubuhku saat ini, bodohnya aku memakai rok mini berwarna hitam hari ini.
Aku berkacak pinggang, melihat ke sekitar tak perduli rambutku berhamburan tertiup angin.
Aku mencari keberadaan Andrew di kerumunan pegawai yang sedang sibuk di kejauhan sana, namun tak kunjung kutemukan.
Aku melihat ke arah rumah yang ada di belakangku, rumah kayu yang sangat sederhana namun kurasa bernilai arsitektur yang sangat tinggi.
Terlihat rapi dari luar, luas dan memiliki tiga lantai. Bersih dan sepertinya juga sangat nyaman.
Ketika aku mengagumi rumah unik tersebut, tiba-tiba sebuah siluet hitam terlihat dari jendela lantai paling atas.
Tiba-tiba menghilang begitu saja.
Aku menyipitkan kedua mataku, apa ada penghuninya di dalam sana? Sementara semua orang tengah sibuk dengan pekerjaannya?
Aku berpikir sejenak, mungkinkah Andrew benar? Apakah ada pembunuh di lahan pertanian ini? Seperti texas chainsaw atau bahkan lebih buruk?
Tubuhku merinding seketika, aku berjalan tertatih dengan heelsku di atas tanah yang sangat subur ini.
Mencari keberadaan Andrew, aku terlihat seperti orang bodoh sekarang.
Orang-orang di sini pasti menertawakan penampilanku, aku seperti orang asing.
Ketika semua orang mengenakan sepatu bot dan celana jeans, aku malah mengenakan heels dan rok mini.
Harusnya aku bisa berpikir sebelum kemari, rutukku dalam hati.
Aku melewati lumbung padi, ternyata selain buah dan sayur pengusaha ini juga memproduksi padi dan gandum. Well, aku makin tidak sabar bertemu dengan pengusaha yang memiliki kegigihan tinggi dalam berusaha seperti ini, sangat jarang di era seperti ini orang masih memiliki ide untuk bercocok tanam.
Aku berjalan kaki sangat jauh dari tempat Andrew memakirkan mobil, tiba-tiba seorang wanita tua yang menanam sebuah benih menarik perhatianku.
Melihatnya sekaligus belajar bagaimana cara menanam dengan benar, terlihat sangat mudah sepertinya lain kali aku harus mencobanya.
"Mau mencobanya miss?" Tanyanya memandang ke arahku, aku terkekeh geli. Malu dengan pakaianku yang terlihat terbuka seperti ini, belum lagi dipergoki melihat kegiatannya.
"Ah, tidak terimakasih. Aku sedang mencari temanku, apa kau melihatnya?" Tanyaku sopan, ia menggeleng. Baiklah, di mana Andrew sekarang kalau begitu? Aku mulai panik.
"Apa tujuanmu kemari, miss? Tanyanya ramah.
Aku lalu menjelaskan tujuanku kemari, saat pemasukan perusahaan Daisy kian merosot. Mau tak mau aku harus mencari vendor yang lebih baik lagi, hingga kemarilah tujuanku, guna mendapat anggur dengan kualitas yang bagus. Dan sepertinya aku benar akan hal itu, lihat saja hamparan luas anggur di sana.
Wanita paruh baya itu sepertinya mengerti, dan sepertinya ia sangat menyetujui hal ini dan menyuport tuannya.
Eh, tunggu dulu...
"Apakah pemilik kebun ini adalah seorang pembunuh?" Pertanyaan gila mulai keluar dari mulutku, aku tahu aku bodoh akan hal ini. Sifatku yang tak bisa menghilang dari dulu, ketika aku takut wanita itu akan tersinggung dengan pertanyaanku. Ia malah tertawa panjang lebar, seraya menutup mulutnya.
Aku hanya bisa ikut tertawa dan berharap semoga hal buruk yang terlintas di benakku tidak benar-benar nyata, mungkin aku hanya perlu berpikir positif sebelum menilai orang lain dari tempat tinggalnya.
"Oh, orang kota selalu melebih-lebihkan..." katanya.
"...maafkan aku nona, tapi sepertinya tuan Anthonio bukanlah seorang pembunuh."
Aku terdiam bingung.
"Well, mungkin dia orang yang nona cari untuk berbisnis." ujar wanita tua itu seraya menunjuk rumah kayu tadi.
Aku membalikkan badan.
Melihatnya serasa duniaku akan runtuh, dia pria yang memakai kaos putih polos yang membentuk tubuh berototnya tengah berjalan dari rumah kayu tersebut menuju kemari.
Dia pria yang memakai celana jeans dan topi koboinya dengan senyumnya yang selalu memesona.