Bab 6. Aku Mau Dia

1122 Words
Kepergian Agha menyisakan perih di hati Fara. Dia buru-buru sekali seolah Nesa jauh lebih penting dibanding istrinya. Cemburu sudah cukup mengiris hati. Bohong jika tak ada cinta di hati Fara, walaupun luka terus menggerus tetapi nama Agha masih tertanam lekat dalam sanubari. "Sia-sia aku mencintaimu selama ini, Mas," gumam Fara kembali larut dalam penyesalan. "Non," panggil bik Sumi mengejutkan. "Ya, Bik?" balas Fara cepat. "Den Agha-nya sudah pulang?" "Sudah, Bik." "Ini teh-nya bagaimana?" bik Sumi menatap teh hangat di tangannya yang masih mengepul. "Buat Bibi saja," jawab Fara enteng. "Aku mau lihat bunda dulu," lanjutnya. "Baik, Non." Fara melangkah pelan menapakkan kakinya di kamar sang Bunda yang masih terjaga. Paruh baya itu melambai Fara dengan senyum merekah. "Mana suami kamu? Sudah kamu buatkan minuman belum? Atau mungkin dia lapar?" tanya Hanah memberondong. "Melayani suami itu pahalanya besar, Nak," lanjutnya. Tetiba sudut netra Fara menghangat. Andai saja sang ibu tahu kebenarannya. Apa dia akan tetap bersikap baik pada Agha. Sejak dulu ibunya sangat baik pada siapapun hingga kebaikan itu disalahgunakan oleh suaminya sendiri. "Mas Agha sudah pulang, Bun," jawab Fara terdengar datar. "Lho, kok cepet. Kenapa? Kamu suruh pulang ya?" selidik Hanah dengan mata menyipit. "Ada pekerjaan kantor yang tidak bisa ditinggal, Bun. Barusan ditelfon temannya," jawab Fara lagi-lagi beralasan. "Penghianat itu lebih mementingkan pacar barunya, Bun," batin Fara menahan. "Oh, ya sudah, tapi kalian baik-baik saja, kan?" tambah Hanah memastikan. "Kami baik-baik saja. Bunda tidak usah khawatir, mas Agha selalu menjaga Fara dengan baik," sahut Fara tersenyum tipis. Ada nyeri dalam dadanya yang tidak bisa dia jelaskan. Wanita mana yang rela berbagi suami dengan wanita lain yang jauh lebih muda darinya. Agha sudah berhasil memporak-porandakan hati Fara. Hingga kini dia masih tidak percaya sang suami bisa melakukan tindakan tercela itu. "Alhamdulillah, kami tidak pernah salah memilihkan jodoh untukmu, Nak," balas Hanah sembari memejamkan mata. Fara mengusap lembut kening sang ibu dan menciumnya sekilas sebelum dia meninggalkannya untuk istirahat. Menutup pintu perlahan, Fara beranjak ke kamarnya yang berdampingan dengan kamar Hanah. Matanya menerawang ke luar jendela. Menghirup segarnya bunga melati yang mekar mewangi. Teringat akan masa kejayaannya tiga tahun yang lalu. Saat dirinya masih menjadi model fashion show busana muslimah. Orang tua-nya tidak pernah membatasi Fara untuk berkarir di luar dengan syarat dia tidak boleh melepas hijabnya. Itulah yang membuat Fara memilih menjadi model catwalk dengan pakaian tertutup. Sejak bertemu dengan Agha, dia jatuh cinta dan menikah dengan pria sederhana itu, Fara diminta untuk menanggalkan karirnya dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Bodohnya dia saat itu menuruti perintah suami yang kini bermain api dibelakangnya. "Aku harus kembali. Aku buktikan jika aku bisa tanpamu, Mas," gumam Fara tersenyum masam. Dia meraih ponselnya dan mendapati lowongan pekerjaan yang baru saja dikirim Nina untuknya. Menjadi editing majalah fashion. Tidak masalah, apapun akan dia lakukan. Lagi pula Fara tidak bisa come back langsung menjadi model tanpa proses. Agensi mana yang akan percaya tanpa pencapaian yang gemilang. Dia mengirimkan lamaran pekerjaan melalui email pada HRD Gautama Models Management. Tak hanya sebagai agensi model, Gautama Models juga melayani jasa fashion show. Agensi ini menyediakan model lokal untuk klien seperti majalah, creative agency, merek fashion dan desainer. Bisa terbilang perusahaan agensi model terbesar di kota Malang. Peluang yang bagus bagi Fara jika dia bisa menjadi salah satu bagian di perusahaan itu. Send. Lamaran pekerjaan terkirim. Tekad Fara sudah bulat, dia akan kembali bekerja tanpa ijin dari Agha. Ini sebagai wujud balas dendamnya karena telah dibohongi. *** Felix sedang fokus dengan berkas setumpuk yang tebalnya tak kira-kira. Dia harus menyeleksi beberapa model yang lolos dalam audisi Minggu kemarin di agency miliknya yang baru saja digelar. "Sayang, ayo dong! Kapan kamu selesainya. Dari tadi ngurusin dokumen mulu. Aku sudah dandan cantik gini masak dianggurin sih," rengek seorang wanita bertubuh tinggi jenjang khas postur seorang model. Pria itu tampak mendesah pelan. Menatap sang wanita dengan tatapan nanar dan mengerling malas. "Sabar lah, Stef. Aku sedang dikejar deadline untuk fashion show Minggu depan. Aku harus memilih seorang Muse yang cocok untuk peragaan busana," jawab dia dengan muka sangar. "Apa? Untuk peragaan? Kenapa kau tidak pilih aku, Felix?" sela Stefani dengan nada melengking tinggi. "Memangnya kamu mau? Klien kita kali ini meminta clothing untuk busana tertutup, bukan pakaian terbuka yang sering kali kamu gunakan," jelas Felix mencubit dagu runcing Stefany. Gadis itu langsung tersenyum malu-malu. Wajahnya bersemu seketika. Felix memang sangat tahu kelemahannya. Stefany lemah akan rayuan pria. "Ah, kamu ini," balas Stefany menyentuh jambang tipis milik Felix yang sangat mempesona. "Tapi janji ya, lain kali kalau ada peragaan clothing lagi, kamu harus ajak aku juga," imbuhnya manja. "Janji, Sayang. Apa sih yang enggak buat kamu. Sekarang, kamu keluar dulu gih, aku butuh waktu untuk konsentrasi," bujuk Felix mengusir secara halus. "Ya deh, ya deh." Stefany pun melengos pergi dengan kecewa. Walaupun begitu hatinya tetap saja berbunga, karena Felix sudah menyanjungnya. Apapun akan pria itu lakukan demi Stefany Angelica. Siapa yang tak kenal dia? seantero perusahaan tahu bahwa Stefany adalah model papan atas sekaligus pacar dari Felix, CEO dari Gautama group yang terkenal playboy. Tak diragukan lagi sepak terjangnya di dunia modeling. Stefany kerap didapuk sebagai Muse oleh beberapa desainer untuk mengenakan busana buatan mereka. Selain wajahnya yang sangat cantik, Stefany juga memiliki body goals yang membuat para wanita iri. Namun dia kerap kali menyusahkan Felix karena merasa di atas angin. Suara ketukan di pintu mengagetkan Felix yang kembali tenggelam menatap kertas-kertas berisi biodata calon model. "Masuk," ucap Felix kesal. Baru saja Stefany berlalu, ada lagi yang mengganggunya. Pintu terbuka lebar dan menampakkan seorang pria dengan tinggi rata-rata dan rambut klimis seperti baru memakai pomade. "Kamu rupanya, Bob," lanjut Felix mengusap kasar wajahnya. Bobby-sang asisten pribadi Felix sekaligus teman kentalnya semasa kuliah. "Felix, aku membawakanmu berkas-berkas yang baru saja masuk. Di sini ada beberapa orang yang melamar menjadi staff editing. Kurasa kau butuh banyak kemarin untuk menerbitkan majalah fashion yang baru," ujar Bobby menjelaskan panjang lebar tanpa diminta. Dia tahu Felix tidak suka buang-buang waktu. Baginya time is money. Jadi dia terbiasa to the point. "Mana lihat." tangan Felix terulur meraih berkas-berkas yang dibawa oleh Bobby. "Hmm… lumayan banyak juga yang melamar," lanjut Felix membolak-balikkan lembar demi lembar. Tangannya terhenti saat netranya tertuju pada curriculum vitae milik seorang wanita yang berwajah oval mengenakan pasmina berwarna tosca. "Wait, wait. Sepertinya aku mengenalnya," ujar Felix dengan senyum licik. "Siapa?" tanya Bobby ikut mengamati foto wanita yang ditatap Felix dengan seksama. "Tidak salah lagi, ini dia!" seru Felix sembari menunjuk-nunjuk wajah ayu nan lugu dihadapannya. Kening Bobby mengkerut. Ekspresi yang ditunjukkan Felix menandakan temannya suka dengan wanita yang ada di foto itu. "Aku mau dia. Suruh HRD untuk menghubunginya dan atur jadwal wawancara," titahnya dengan senyum lebar. "Baiklah," jawab Bobby mengerti. Felix mengusap-usap dagunya yang tidak gatal. Dia tersenyum miring. "Jadi namamu Faradiba. Nama yang cantik. Secantik orangnya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD