Bab 5. Senyummu Bukan Untukku

1063 Words
Fara memaksakan mulutnya untuk tersenyum. Walaupun dalam hati sudah dongkol setengah mati. "Terima kasih, Mas," jawabnya dengan kaku. "Nah, Fara. Bukankah kamu sangat beruntung memiliki suami seperti Nak Agha, dia begitu tulus dan baik padamu," ujar Hanah dengan pelan. "Sudah menjadi tugas saya untuk menjadi suami siaga, Bunda," jawab Agha lagi-lagi berbohong. "Bunda, lebih baik Bunda masuk kamar sekarang ya? Sudah waktunya istirahat," bujuk Fara dengan lembut. Dia memutus komunikasi sang ibu dengan suaminya. Wanita itu tampak muak dengan kebohongan Agha. "Baiklah, kalau begitu antarkan Bunda ke kamar ya?" Fara mengangguk. Hanah kembali melempar pandang ke arah menantunya. "Nak Agha bisa bantu, kan?" "Tentu, Bunda. Mari saya bantu," balas Agha cekatan. Fara dan suaminya membawa Hanah masuk ke kamarnya. Fara menyelimuti Hanah dan mengecup keningnya sekilas sebelum meninggalkannya. "Fara tinggal sebentar ya, Bunda." Hanah mengangguk. "Ya, barangkali Nak Agha butuh makan atau minuman hangat, buatkan saja." Fara tersenyum lemas. Menyadari betapa baiknya sang ibu hingga kebaikannya disalahgunakan oleh suaminya sendiri. "Ayo, Mas," ajak Fara. Agha mengekor di belakang Fara. Mengikuti sang istri keluar dari kamar mertuanya. Sesampainya di ruang tamu, jauh dari kamar milik Hanah. Fara kembali bersikap tegas. "Pulanglah, Mas. Malam ini aku akan tidur di rumah Bunda," titah Fara tanpa basa basi. "Fara, aku mohon. Jangan seperti ini, kita bisa bicarakan baik-baik. Aku tidak bermaksud membohongimu, Mas bisa jelaskan," rayu Agha memelas. Seperti ada penyesalan dalam hatinya karena keteledorannya masalah semakin runyam. "Tidak perlu menjelaskan apapun padaku, Mas. Apa yang kulihat sudah jelas," sanggah Fara dengan cepat. "Baiklah kalau begitu Mas juga akan menginap malam ini," kekeh Agha tak mau kalah. "Tidak perlu. Bukankah Nesa lebih butuh kamu?" sindir Fara dengan santai. Agha seketika merasa kikuk. Kenapa pakai ketahuan segala tadi. Sekarang jadinya Fara susah dibujuk untuk pulang. "Bukan begitu, Fara. Aku hanya-" Telepon Agha kembali berdering. Sekilas Fara bisa melihat nama yang tertera di sana. Nesa. Deringnya terdengar begitu pilu di telinga. Selama ini Fara memang tidak pernah mengusik pribadi Agha. Fara sangat percaya pada suaminya. "Benar, kan, Mas. Apa kataku? angkat saja. Nggak usah malu," tambah Fara dengan nada menohok. Agha tidak punya pilihan lain. Kalau tidak diangkat Nesa akan terus menerornya hingga panggilannya terjawab. "Sebentar ya, Nesa pasti mau mengerti." Nyess. Betapa nyeri semakin menjalar ke dalam lubuk hati. Dengan lantangnya Agha mengatakan Nesa bisa mengerti keadaannya. Agha pun menjauh saat menerima telepon. Membuat Fara semakin kesal. "Halo, Nes." "Mas, kenapa lama sekali sih? Kamu ke mana aja, katanya cuma sebentar." suara Nesa terdengar nyolot. "Mas masih di rumah mertua jemput Fara, kamu ngertiin dong," pinta Agha dengan lembut. "Mertua Mas yang sakit-sakitan itu ya?" tebak Nesa. "Ssst. Ngomongnya jangan keras-keras. Nanti Fara dengar." "Halah, palingan sakitnya juga cuma pura-pura biar Mas sering ke sana. Biasalah nini-nini, kan, sukanya caper," seloroh Nesa tak sabar. "Nes, sudah ya. Mas mau nemenin Fara dulu, kamu tunggu di rumah sama mama, kalau pengen pulang minta anterin Lona aja," pungkas Agha menyudahi. "Enak aja!" Nesa kembali nyolot. "Bukan berarti dia istri kamu bisa seenaknya nahan kamu ya. Pulang nggak? Kalau malam ini Mas nggak pulang, aku nggak janji bakal jaga calon bayi kita," ancam dia. "A-apa?" Agha sangat terkejut. "Bayi kata kamu?" Pria itu memastikan ucapan Nesa. Nesa terdengar tertawa renyah. "Aku sebenarnya mau ngasi kejutan sama kamu malam ini, di depan Mama sama Lona juga. Aku positif hamil, Mas. Anak kamu!" pekik Nesa kegirangan. "Kamu serius, Nes?" tanya Agha tak dapat menyembunyikan senyumnya. Ini adalah hal yang sangat dia nanti-nanti sejak dulu. Pernikahannya dengan Fara sudah dua tahun tak kunjung dikaruniai keturunan. "Iya, Mas. Aku baru saja tes tadi pagi, dan hasilnya positif. Aku pengen kamu anterin periksa hari ini juga, aku cuma pengen memastikan usia kehamilanku ini berapa Minggu. Kamu mau, kan?" Nesa kembali merayu. Tanpa pikir panjang, Agha pun segera menyetujuinya. Dia tak sabar ingin memberitahu keluarganya. "Baiklah, Mas pulang sekarang juga." Telepon terputus. Agha segera berlari ke arah Fara yang tengah menunggu di ruang tamu sembari bermain ponselnya. "Fara, um…" Agha bingung apa yang harus diucapkannya. "Benar, kan dugaanku, Nesa lebih butuh kamu, pulanglah," ujar Fara. "Mas akan menjemputmu besok. Malam ini ada hal yang perlu diurus. Maafkan, Mas." pria itu tak enak hati. "Tidak perlu meminta maaf, Mas. Setelah bunda sehat aku pastikan kita akan bercerai," sela Fara tanpa pikir panjang. "Fara!" Agha terkejut mendengar pernyataan istrinya. Pasalnya selama ini dia tidak pernah mengucapkan kata cerai. "Kenapa? supaya kamu bisa puas bersenang-senang dengan kekasih barumu," jawab Fara dengan menohok. "Tuhan sangat membenci perceraian, Fara. Apa kamu akan melakukan apa yang dibenci oleh-Nya?" balas Agha dengan kecewa. Seolah dia lupa telah meretakkan hati Fara dalam hitungan detik. Bahkan dia masih bisa menceramahi istrinya. "Allah juga tidak menyukai suami yang dzolim, Mas," sahut Fara tak mau kalah. "Fara-" "Apa kamu tidak bercermin terlebih dahulu sebelum menasehatiku?" potong Fara tak memberi kesempatan suaminya untuk bicara. "Aku hanya tidak ingin terjadi perceraian dalam rumah tangga kita, Fara! Kalau bisa dipertahankan, berpisah bukanlah jalan yang baik," ujar Agha mencari celah. "Sayangnya aku tidak rela bertahan dan berbagi suami dengan perempuan lain," aku Fara terang-terangan. Agha memijit pelipisnya. "Semua tidak seburuk yang kamu pikirkan. Belajarlah membuka hati dan pikiran. Demi masa depan kita." "Masa depan gundulmu," batin Fara. "Cukup, Mas. Lebih baik kamu pulang sekarang juga sebelum bunda dengar semua perilaku burukmu. Pasti beliau menyesal telah menikahkan putri kesayangannya dengan lelaki yang salah," potong Fara dengan ketus. Agha mendengus kesal. Mau terus menyela perkataan istrinya, tapi dia sadar ucapannya pasti tidak berarti apapun bagi Fara saat ini yang tengah kecewa berat padanya. Mungkin Agha harus memberi waktu pada Fara agar hatinya membaik. "Baiklah, Mas akan pulang sekarang juga, tapi Mas akan kembali lagi besok untuk menjemputmu. Bagaimanapun kamu masih menjadi tanggung jawab Mas." Fara tak bergeming, dia kembali fokus menatap layar ponselnya. Sampai Agha dibuat geram. Tidak biasanya sang istri mengabaikannya seperti ini. "Kalau begitu, Mas pulang dulu. Assalamualaikum." Agha masih berharap Fara akan menghampiri dan meraih punggung tangannya lalu menciumnya, namun hal itu tidak terjadi. Sampai dia benar-benar berbalik dan keluar dari ruang tamu, barulah dia mendengar suara Fara menyahut. "Waalaikum salam." Fara mendengar deru mobil Agha semakin menjauh. Dia bernapas lega. Fara tidak akan bisa tahan serumah dengan lelaki yang telah mengkhianatinya, apalagi sekamar. Biarlah dosa dia yang tanggung dari pada hati merana mengingat betapa mesra sang suami dengan pacar barunya itu. "Sebenarnya apa yang membuatmu tersenyum begitu bahagia, Mas? kamu langsung berbinar saat menerima panggilan Nesa," gumam Fara lirih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD