Sepanjang di perjalanan kereta, Rhaella tidak mengucapkan sepatah kata pun. Padahal biasanya dia akan menyombongkan diri kepada Dasha setiap kali berhasil memenangkan perjudian. Tapi sekarang wanita itu sangat tenang, dan suasana hatinya tidak begitu baik.
Kereta kuda itu berjalan dengan lambat, Dasha yang sedang menunggangi kuda di luar kereta seringkali menoleh ke jendela kereta, diam-diam menunggu Rhaella untuk berbicara. Tapi Rhaella malah menutup gorden jendela, dan tidak membiarkan Dasha ataupun Rullin untuk mengintip ke dalam kereta.
Dari balik jendela, Rhaella sedikit mengintip ke arah poster-poster yang ditempel di dinding kota. Kebanyakan dari poster itu bergambar sketsa anak-anak, pertanda bila yang menghilang di kota kebanyakan adalah anak-anak kecil.
Rhaella lantas menutup gordennya, berpikir akan membicarakan ini dengan Nino dan Horus.
Berselang setengah jam kemudian, mereka sampai di Istana Barat. Kali ini, Rhaella tidak menimbulkan keributan dan berjalan sendirian ke halaman selir. Dia bahkan meminta Dasha untuk tidak mengikutinya.
“Aku meminta Dasha untuk tidak mengikutiku, tapi kenapa kamu yang mengikuti aku?” tanya Rhaella seraya melihat Rullin yang berjalan di sampingnya.
“Yang Mulia, untuk sekedar pengingat. Aku juga tinggal di halaman selir,” balas Rullin dengan setengah hati.
“Oh …,” senyuman Rhaella perlahan kembali. “Kamu memang selirku sekarang.”
Sesampainya di halaman selir, Rhaella segera menghampiri Nino yang sedang duduk di gazebo bersama Horus. Nino baru saja ingin melambaikan tangannya kepada Rhaella, tapi langsung bersembunyi di belakang Horus ketika melihat Rullin. “Yang Mulia, kenapa monster itu ada di sini juga?”
“Kau ingin merasakan pukulan lagi?” tanya Rullin yang membuat Nino merinding.
Sambil memijat keningnya yang terasa sakit, Rhaella berkata, “Jangan membuat keributan. Rullin, pergilah ke ruanganmu. Aku ingin berbicara dengan selir-selirku yang lain.”
Ucapan Rhaella itu seperti seorang pangeran yang berkata kepada salah satu selir wanitanya. ‘Aku bosan denganmu, jadi ingin bermain dengan selir yang lain.’
Memikirkan hal itu sontak membuat Rullin menjadi kesal dan berpikir. “Bisa-bisanya dia menyamakan aku dengan selir wanita!”
Rullin akhirnya mendengus dan melenggang pergi. Begitu pria itu menghilang dari penglihatan, Rhaella segera memberikan isyarat kepada Horus untuk membuat perisai di sekitar gazebo.
Rhaella lantas meletakkan kartu rekomendasi yang ia terima dari Earl Farrand ke atas meja. “Sepertinya ada eksperimen untuk memperkuat manusia di Kota Araya, manusia-manusia ini kemudian dijual sebagai b***k kepada para bangsawan.”
Horus memperhatikan kartu tersebut, kemudian bertanya, “Dari mana Anda mendapatkan kartu ini.”
“Earl Farrand,” Rhaella menoleh ke arah Nino. “Bagaimana hasil penyelidikanmu ke Earl Farrand?”
Wajah Nino berubah serius, dia memberikan secarik kertas ke tangan Rhaella yang bertuliskan. ‘Earl Farrand terlibat perdagangan manusia’.
“Aku mendapatkan informasi ini dari salah satu mata-mataku. Dia telah mengikuti Earl Farrand selama beberapa hari, dan pernah melihat Earl Farrand melakukan transaksi perdagangan manusia ke luar benua.”
Rhaella, “Negara kita memang masih belum memberantas perdagangan b***k. Tapi, ada peraturan negara tentang larangan memperdagangkan manusia yang didapat dari penculikan.”
Lambat laun, suara Rhaella merendah, “Sayangnya, prajuritku adalah orang mati.”
Sehingga Negara tidak akan repot mengurus mereka lagi.
Nino dan Horus saling melemparkan pandangan. Mereka diam-diam mencapai kesimpulan yang sama. “Apakah salah satu prajurit Yang Mulia ada yang dijadikan percobaan?”
Rhaella mengangkat kepalanya. “Ya.”
Dia kemudian menceritakan persoalan Revian Batros kepada Nino dan Horus. Ekspresi mereka berangsur-angsur menggelap, dan turut merasakan amarah yang ditahan oleh Rhaella. Keduanya telah lama mengabdi kepada Rhaella, sehingga mereka juga mengenal beberapa pasukan Rhaella, termasuk Revian.
Brak!
Nino menggebrak meja dengan penuh kekesalan. “Siapa yang menyangka bila daftar prajurit yang telah mati masih hidup. Tapi malah dijadikan sebuah eksperimen. Siapapun yang melakukan hal keji ini, mereka harus menebusnya seratus kali lipat!”
Rhaella menghela napas berat, seolah tengah menanggung beban berat di pundaknya. “Ya, aku akan membalas mereka seratus kali lipat.”
Tiga bulan yang lalu, Yeva naik takhta sebagai Kaisar Milana. Dan titah pertamanya adalah, “Bunuh 15.000 prajurit yang dibawahi mantan Panglima Perang, Rhaella Rhoxolany. Mereka semua adalah sisa-sisa prajurit yang ikut berperang melawan Negara Hali, sekumpulan manusia gagal yang telah merugikan negara.”
“15.000 prajurit ini juga sangat setia terhadap mantan panglima perang, sampai merasa enggan untuk mengucapkan sumpah setia lagi kepada panglima perang baru. Mereka mungkin akan menjadi ancaman untuk kerajaan di masa depan, jadi lebih baik mencegahnya dari sekarang.”
Sisa 15.000 prajurit itu merupakan prajurit yang selalu mengikuti langkah Rhaella. Mereka begitu setia, dan rela mati demi negara dan Panglima Perang. Namun, jika disuruh memilih antara Rhaella atau negara, maka mereka akan lebih memilih untuk tetap setia kepada Rhaella.
Negara telah menghina Rhaella Rhoxolany secara terang-terangan, mencabut gelarnya dengan tidak hormat, dan mencabut hak suaranya di dalam pengadilan istana.
Jelas saja, para prajurit itu tidak akan pernah sudi untuk menunduk di hadapan kaisar yang telah membuat Panglima Perang mereka menderita.
Selama menjabat sebagai panglima perang, Rhaella setidaknya memiliki lebih dari 20 prestasi, tapi hanya dengan satu kegagalan, seluruh negara mencacinya, menghinanya seakan dia adalah contoh dari murka para dewa.
Prajurit-prajurit itu tidak akan marah apabila mereka dicaci maki oleh seluruh dunia, tetapi mereka akan marah apabila Rhaella Rhoxolany dihina dan direndahkan.
Mereka terlalu setia. Namun, kesetiaan itu pula yang membuat mereka harus mati.
“Dari 15.000 prajuritku, 5.000 berhasil kabur, dan Yeva mendeklarasikan bahwa ia telah membunuh 10.000 prajurit. Tapi, mengapa tiba-tiba ada prajuritku yang katanya sudah mati malah dijadikan b***k?!”
Rhaella menggertakan giginya, berusaha keras untuk tidak melampiaskan amarah. “Aku tidak bisa menerimanya, sampai mati pun tidak akan bisa menerima penghinaan ini.”
Rhaella mengingat dengan jelas setiap nama dari prajuritnya yang mati. Setiap malam, dia selalu membacakan nama-nama itu di dalam hati supaya tidak melupakan mereka. Dia sudah berharap 10.000 prajuritnya itu mendapatkan ketenangan di akhirat. Tapi ternyata, harapannya itu pupus begitu saja.
“Yang Mulia, katakan perintah Anda,” kata Horus dan Nino seraya menundukkan kepalanya untuk memberikan hormat.
Jika Rhaella sudah semarah ini, maka dia pasti tidak akan lagi tinggal diam.
“Kita akan menyelidiki Kota Araya. Aku akan pergi ke sana minggu depan, dengan alasan ingin memperkuat Rullin dan membuatnya patuh. Kalian juga datanglah secara diam-diam, jangan sampai ada yang menyadari kepergian kalian.”
Nino, “Yang Mulia bisa memberitahu para pelayan untuk tidak memasuki halaman selir sampai Anda kembali.”
Rhaella mengangguk. “Baik, aku akan melakukannya.”
“Yang Mulia,” panggil Horus. “Saya hanya ingin mengingatkan Anda untuk tidak mengeluarkan energi spiritual. Tubuh Anda semakin lemah seiring berjalannya waktu, saya takut Yang Mulia akan menderita nantinya.”
Rhaella tersenyum. “Aku akan berusaha menahan diri.”
• • •
Di antara halaman lain yang ada di dalam Istana Barat. Halaman selir merupakan tempat yang tampak berkilauan saat malam hari. Obor-obor api diletakkan di sepanjang jalan setapak, cahaya apinya mengusir kegelapan, dan membuat Rhaella mampu melihat jalan dengan jelas setiap kali ia datang ke halaman selir di malam hari.
Setelah beristirahat di ruangannya sendiri, Rhaella memutuskan untuk kembali ke halaman selir. Kali ini tidak berniat untuk bertemu dengan Nino atau Horus, melainkan ingin menemui Rullin.
Rhaella mengangkat kepalanya, melihat jendela kamar Rullin yang masih memantulkan cahaya redup di dalam kamar, pertanda bahwa Rullin masih terjaga.
Tak lama kemudian, Rhaella sudah berdiri di depan kamar Rullin.
Tok. Tok. Tok.
Rhaella mengetuk pintu selama beberapa kali, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. “Rullin, buka pintunya.”
Suara dengusan terdengar dari dalam. “Yang Mulia, hari sudah larut, kembalilah ke ruanganmu sendiri.”
Rhaella lantas bersandar ke pintu. “Tapi, menurut peraturan istana. Seorang bangsawan bebas untuk bermalam di salah satu ruangan selir mereka. Harusnya kamu bergembira, Rullin. Karena, malam ini aku memilihmu untuk menemaniku tidur.”
“Yang Mulia, berhenti main-main,” kesal Rullin. Dia sudah terlalu lelah bertarung di arena tadi siang, dan merasa tidak sanggup apabila harus berdebat dengan Rhaella malam ini.
Rhaella akhirnya tidak lagi bercanda dan berkata dengan serius. “Buka pintunya, ada hal penting yang ingin aku bicarakan.”
“Tentang apa?”
Rhaella meringis, lalu berteriak, “Demi Dewa Langit! Rullin, bisakah kamu membuka pintu ini?! Jangan sampai pintu ini aku dobrak!”
Rhaella kemudian mundur beberapa langkah, lalu kembali berbicara. “Kalau dalam hitungan ketiga pintu ini masih belum terbuka, aku akan benar-benar mendobraknya!”
“Satu.”
Tidak ada respon.
“Dua.”
Rhaella mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu menggunakan tubuhnya. “Tiga!”
Tepat sebelum tubuh Rhaella menghantam pintu, Rullin sudah membukanya. Wanita itu sontak kehilangan keseimbangan karena tidak ada lagi pintu di hadapannya.
Bruk!
Rhaella menabrak tubuh Rullin yang masih berdiri di ambang pintu. Karena Rullin tidak mau menahannya, Rhaella secara reflek berpegangan pada pakaian Rullin dan tanpa sengaja merobeknya.
Keduanya terdiam.
Jika ada pelayan yang lewat di depan ruangan Rullin sekarang. Pelayan itu pasti akan berpikir, “Yang Mulia sangat tidak sabar sampai merobek baju selirnya di depan pintu!”
Walau berusaha menjelaskan, situasi mereka memang agak canggung.
Beruntung Rhaella datang di jam malam, sehingga kebanyakan pelayan sudah masuk ke dalam ruangan mereka.
“Kamu … benar-benar senang membuat masalah,” kesal Rullin.
Tanpa menunggu balasan Rhaella, Rullin segera melempar wanita itu ke dalam ruangannya dan langsung menutup pintu.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?! Cepatlah!” seru Rullin, setengah membentak.
Rhaella berdecak. “Bisakah kamu lebih lembut? Tulangku yang rapuh bisa patah dan lepas kalau kamu selalu melemparku kesana-kemari!”
Rullin lantas menjawab dengan bahasa sopan. “Yang Mulia, hamba dengan senang hati akan memungut tulang-belulang Anda, dan membakarnya di tungku perapian sampai menjadi debu.”
Karena tidak ingin berdebat lagi, Rhaella segera duduk di kursi dan berbicara. “Orang yang melakukan eksprerimen kepada prajuritku ada di Kota Araya. Minggu depan, aku akan membawamu juga ke sana dengan alasan ingin membuatmu lebih patuh.”
Ekspresi Rullin langsung menggelap, dia seolah-olah ingin melempar pisau ke kening Rhaella saat ini juga.
Dengan cepat Rhaella menambahkan. “Tentu saja itu hanya alasan, aku tidak akan menjadikan kamu sebagai makhluk eksperimen. Bentuk tubuhmu yang proposional itu akan terbuang percuma bila berkembang menjadi sekumpulan otot raksasa.”
Wajah Rullin berangsur-angsur membaik, dia lantas duduk di hadapan Rhaella. “Hanya ingin membicarakan itu, kan? Sekarang keluarlah dari ruanganku.”
Rhaella tidak beranjak dari kursinya, kedua manik birunya menatap Rullin dengan ragu. Perilakunya itu jelas membuat Rullin terganggu, sangat jarang seorang Rhaella Rhoxolany bisa menampakan ekspresi penuh keraguan.
“Katakan. Hal yang ingin kau bicarakan, katakanlah,” kata Rullin, seolah memahami isi pikiran Rhaella.
“Kota Araya …,” Rhaella menggantung ucapannya sebentar. “Kota Araya, letaknya dekat dengan perbatasan Negara Alcander.”
Rullin menahan napasnya sesaat. “Tanpa kau katakan, aku juga tahu.”
Rhaella, “Aku hanya ingin mengingatkan.”
Rullin sedikit tersenyum. “Apa kau takut aku akan melintasi perbatasan dan kabur ke negaraku sendiri?”
“Tidak.” Rhaella berkata dengan yakin. “Kamu tidak sebodoh itu sampai melarikan diri tanpa persiapan.”
Rullin mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menatap cahaya obor di halaman selir yang mulai redup. “Negara Alcander sudah di invasi secara penuh oleh negaramu. Walau aku kembali ke sana, tidak banyak yang bisa kulakukan.”
Satu-satunya hal yang bisa Rullin Vedenin lakukan hanyalah meratapi nasibnya, selagi melihat masyarakatnya hidup menderita di bawah penjajahan Milana.
“Sesungguhnya, ada hal yang masih tidak kumengerti, Rullin.”
Rhaella menambahkan, “Mengapa kamu bisa jatuh dari kekuasaanmu?”
Pertanyaan Rhaella itu bagaikan sebilah pisau tajam yang mengoyak jantung Rullin, membuat d**a pria itu terenyuh sakit, sampai ia menahan napas selama beberapa saat.
Di balik kegelapan, manik amber di mata Rullin berpendar seperti lentera malam, tampak membara dan dipenuhi oleh lautan amarah.
“Rhaella Rhoxolany, beraninya kamu mempertanyakan hal yang kamu ketahui jawabannya.” Suara rendah Rullin lantas memberatkan suasana di antara mereka, membuat keduanya sama-sama terpaku di tempatnya.
Rhaella membalas, “Aku tidak tahu jawabannya.”
Rullin sontak berdiri. “Jangan mengutarakan kebohongan. Walau kamu sudah menjadi makhluk yang tidak berguna sekali pun, kamu pasti memiliki prajurit yang akan memberikan informasi militer kepadamu.”
“Kamu salah, Rullin.” Rhaela menambahkan, “Aku sudah tidak memiliki prajurit di negara ini. Mereka semua sudah menjadi mayat, buronan, atau bahkan … b***k yang digunakan untuk eksperimen.
“Selain itu, informasi militer di negara ini sulit didapatkan. Ketika Yeva memerintahkan para prajurit untuk menyerang negaramu, dia turut memberi perintah untuk melingkupi Alcander menggunakan perisai sihir yang kuat. Sehingga tidak ada orang asing yang mampu masuk dan memata-matai invasi itu.”
Rullin mengepalkan tangannya dengan kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Ingatan tentang penyerangan Milana ke Alcander masih terukir jelas di dalam otaknya.
“Setidaknya, pasti ada laporan militer yang masuk ke Istana. Kamu bisa mencuri informasi dari laporan tersebut,” ujar Rullin.
“Sayangnya, laporan militer di negara ini tidak berbentuk kertas. Tetapi, berbentuk pernyataan dari pimpinan militer yang bertugas, yang kemudian akan direkam menggunakan sihir dan dimasukan ke dalam sebuah permata yang dibuat khusus untuk menampung sihir memori,” jelas Rhaella.
“Lantas, di mana permata itu?”
Rhaella menumpukkan kepalanya pada tangan, lalu menjawab dengan malas. “Di kalung Kaisar. Karena itu, aku tidak bisa mencurinya atau kepalaku akan berada di tiang gantungan keesokan harinya.”