Meski benci mengakui kelemahannya, Rhaella harus sadar kalau tubuhnya tidak sekuat dahulu untuk melakukan perjalanan jauh dalam waktu yang panjang. Sebab itu, di tengah perjalanan, mereka harus berhenti dan membuat tenda sementara kala matahari mulai tenggelam.
Tatkala semua orang tengah sibuk mempersiapkan kebutuhan tempat tidur dan makanan Rhaella, wanita itu hanya duduk di atas batu sambil memakan camilan yang dibawa oleh Dasha.
“Yang Mulia, apakah dua selimut sudah cukup untuk menghangatkan tubuhmu?” tanya Dasha.
Rhaella, “Satu saja juga cukup.”
“Lupakan, saya tidak akan bertanya kepada Anda lagi,” Dasha menambahkan, “saya akan menaruh tiga selimut di dalam tenda Anda.”
Dasha selalu bertingkah seperti itu, melebihkan kebutuhan Rhaella untuk memastikan wanita itu benar-benar merasa nyaman. Rhaella selalu menghargai perhatiannya, tetapi wanita itu juga tidak senang terus-menerus dipandang lemah seperti itu.
“Seseorang yang biasa tidur di jalanan berbatu saat perang, kini perlu membangun tenda di tengah hutan?” tanya Rullin, terdengar seperti ejekan.
Rhaella turut membalas dengan ejekan, “Apa salahnya? Kau iri karena harus tidur di luar malam ini bersama para pelayan dan prajurit? Yang Mulia Kaisar, kamu boleh bergabung denganku malam ini jika kau mau.”
Rullin berdecak, kemudian berjalan pergi menuju tumpukan kayu bakar, membantu para prajurit untuk menyalakan api.
Setelah percakapan yang mereka lakukan minggu lalu, kini Rullin lebih tenang saat sedang bersama Rhaella. Mungkin perlahan-lahan Rullin sudah bisa mempercayai Rhaella, sehingga tingkat kewaspadaannya menurun.
Begitu matahari sepenuhnya tenggelam, suhu di dalam hutan turun dengan sangat drastis. Seandainya saja mereka tidak menyalakan api unggun, mungkin mereka semua sudah membeku.
Di antara semua orang yang ada di hutan, Rhaella adalah orang yang paling tidak bisa terkena dingin. Kutukan iblis sudah membuat sistem pertahan tubuhnya menurun, sehingga tubuhnya tidak mampu menghangatkan diri sendiri.
Pada akhirnya, tiga selimut yang dipersiapkan oleh Dasha tidak cukup untuk menghalau dingin yang ada disekelilingnya.
“Yang Mulia, apa Anda membutuhkan selimut lagi?” tanya Dasha dari luar tenda.
Gigi Rhaella menggelatup saat dia menggigil, uap dingin keluar dari mulutnya saat dia berbicara. “Selimut tidak bisa menghalau dingin. Apa kau membawa tungku pemanas kecil?”
“Saya membawanya, tetapi saya takut tungku api bisa membakar tenda jika saya menaruhnya di dalam.”
Tenda yang ditempati Rhaella merupakan tenda kecil untuk satu orang. Bila Dasha meletakkan banyak tungku pemanas di dalamnya, maka api bisa membakar tenda.
“Baiklah, aku akan duduk di samping api unggun saja untuk sementara,” kata Rhaella seraya keluar dari tenda sambil membawa selimutnya.
“Yang Mulia! Jika Anda keluar, tubuh Anda malah akan semakin dingin!”
“Duduk di depan api unggun akan lebih baik daripada terus berdiam diri di dalam tenda,” ujar Rullin tiba-tiba.
Rhaella mengangguk, lalu meyakinkan Dasha. “Benar, api unggunnya juga sudah mulai besar. Setelah merasa lebih baik, aku akan masuk lagi.”
Dasha menghela napas sebelum membalas, “Baiklah, tapi Anda harus langsung bilang ke saya bila membutuhkan tambahan selimut.”
Rhaella hanya tersenyum sebagai balasan, lalu duduk di samping Rullin yang tengah membolik-balik kayu bakar menggunakan batang kayu.
Rullin mengerutkan keningnya. “Ada banyak tempat di sekitar api unggun, kenapa harus duduk di sini? Kamu membuat tempatku sempit.”
“Aku bisa duduk di mana pun aku mau! Kalau kau merasa sempit, pindahlah send—”
Rullin segera menutup mulut Rhaella. “Jangan berisik, kamu bisa memancing binatang iblis di sekitar sini.”
Mata Rhaella memicing tajam saat Rullin menutup mulutnya menggunakan tangan. Selirnya yang satu ini benar-benar berani, baru saja diberikan kepercayaan sudah bertingkah kurang ajar.
Rhaella menepis tangan Rullin, lalu berbicara dengan suara yang lebih pelan. “Aku juga tahu.”
Keduanya lantas diam, Rullin masih sibuk melempar kayu bakar tambahan, sedangkan Rhaella menenggelamkan dirinya ke dalam tumpukan selimut.
Mereka terhanyut dalam keheningan sampai Rullin bertanya, “Kutukan iblis membuat suhu tubuhmu tidak seimbang?”
Rhella tersentak saat Rullin tiba-tiba bertanya, tetapi dia lekas menjawab acuh, “Ya, suhu tubuhku tidak bisa hangat. Jika aku berada di tempat dingin, maka aku akan menggigil, kalau ada di tempat panas, kepalaku akan sakit karena bentrokan suhu. Menyebalkan, benar-benar menyebalkan.”
Rhaella mungkin lebih senang jika dia langsung mati saja saat terkena kutukan iblis daripada menderita seperti sekarang.
“Bisa sampai seberapa dingin suhu tubuhmu?”
“Hmm … entahlah, mungkin sampai sedingin salju. Kau ingin merasakannya?” Rhaella mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Rullin.
Meskipun Rullin menampakkan wajah ragu, pria itu akhirnya menyentuh tangan Rhaella. Bagian telapak tangan Rhaella masih terasa sedikit hangat, tapi punggung tangan Rhaella benar-benar dingin, seolah Rullin sedang menyentuh sebongkah es.
“Kau …,” Rullin menggantung ucapannya sebentar. “Bagaimana bisa hidup dengan suhu tubuh seperti itu?”
Orang lain mungkin akan bunuh diri karena tersiksa dengan suhu dingin.
Rhaella tertawa. “Kuncinya hanyalah terbiasa.”
Saat awal terkena kutukan iblis, Rhaella benar-benar tidak bisa bangkit dari tempat tidurnya. Hal itu karena sekujur tubuhnya membeku, sampai Rhaella tidak mampu menggerakan tubuhnya. Beruntung, efek kutukan iblis dapat ditekan setelah Rhaella mengkonsumsi banyak obat dari tabib, sehingga kini dia bisa hidup seperti biasa meski dengan perawatan ekstra.
“Sebenarnya, rasa dingin di tubuhku bisa hilang kalau ada pengguna sihir api yang mengalirkan sihirnya ke dalam inti spiritualku.”
“Lalu, kenapa tidak dilakukan?”
Rhaella, “Pengguna sihir api langkah di Negaraku. Sekalinya ada, dia biasanya adalah prajurit milik Yeva dan Yeva tidak mungkin memberikan aku prajuritnya.”
Rullin tidak lekas membalas, matanya menatap gelungan api unggun yang kian meninggi. sampai dia tiba-tiba berkata, “Aku pengguna sihir api.”
Rhaella tersenyum saat mendengarnya, “Aku tahu. Namun, sekarang kau tidak bisa menggunakannya.”
“Ya, tidak bisa," bisik Rullin
Karena inti spiritualnya sudah hancur.
Krak!
Suara ranting patah terdengar dari luar penghalang, sontak Rullin dan Rhaella segera melihat ke arah sunber suara. Manik biru Rhaella bergerak-gerak, memperhatikan setiap jengkal hutan yang ada di hadapannya. Namun, selain pepohonan, dia tidak bisa melihat apa pun.
“Mungkin hanya binatang hutan,” tebak Rullin.
Berbeda dengan Rullin yang tenang, Rhaella segera berdiri dan memberikan perintah kepada prajuritnya. “Matikan apinya, lalu bangunkan prajurit dan pelayan yang sedang tidur.”
Saat para prajurit sedang melaksanakan perintah Rhaella, Rullin bertanya, “Ada apa?”
“Binatang liar biasa tidak akan pernah mendekati sumber api. Seliar apapun mereka, binatang-binatang itu selalu menghindari gerombolan manusia. Binatang yang tanpa ragu mendekati manusia hanyalah binatang iblis.”
Rullin sontak ikut berdiri, kemudian berjalan mendekati penghalang tak kasat mata. “Kau bilang, selagi kita ada di balik penghalang, binatang iblis tidak akan bisa menerobos masuk.”
“Ya, memang. Tapi, sekarang aku tidak tahu apakah penghalang ini sering diperkuat atau tidak.”
Lebih baik berjaga-jaga daripada memakan korban.
Seluruh prajurit lantas berdiri di depan dan belakang Rhaella, menjaga wanita itu dari segala bahaya yang mungkin akan menerjang.
Dalam waktu seperkian menit, lingkungan disekitar mereka begitu sepi. Tidak ada satu pun dari mereka yang bergerak atau bernapas keras, semuanya sediam patung pajangan, karena tidak ingin menarik perhatian binatang iblis ke arah mereka.
Samar-samar, Rhaella bisa mendengar suara geraman pelan, terdengar begitu dekat seolah si pemilik geraman ada di sekitar mereka.
Grrr …
Lagi-lagi Rhaella mendengar geraman. Tapi, ketika dia memperhatikan kesekeliling, dia tidak bisa menemukan apa-apa.
Darimana asal suara itu?
Setetes air tiba-tiba jatuh ke bahu Rhaella, membuat dia segera mengarahkan kepalanya ke atas. Alangkah terkejutnya Rhaella tatkala melihat ada seekor anjing besar tengah berdiri di atap penghalang. Mata anjing itu berbinar merah dan mulutnya dipenuhi oleh air liur yang menetes.
Tapi, bukan itu yang membuat Rhaella terkejut.
Melainkan karena melihat adanya retakan di penghalang atas, sehingga air liur anjing itu bisa menetes dan mengenai bahunya.
“Berpencar!” teriaknya.
Terlambat.
Bahkan sebelum mereka bisa mengangkat kaki, anjing itu sudah melompat ke bawah, berusaha menerjang tubuh Rullin dengan cakarnya.
Bersamaan dengan itu, Rhaella memutar kipas di tangannya dan berseru, “Zephyr!”
Kipas itu lantas berubah bentuk menjadi sebuah tombak yang terbuat dari emas. Kepala tombak yang runcing kemudian melesak masuk ke dalam tubuh anjing besar tersebut, merobek daging dan menembus jantung, sehingga anjing itu mati sebelum mampu melukai tubuh Rullin.
Bruk!
Rhaella menghempaskan anjing besar tersebut ke sembarang arah dan mengubah tombaknya kembali menjadi kipas.
“Uhuk … uhuk ….” Rhaella menutup mulutnya menggunakan lengan tatkala ia batuk tanpa henti.
Tangannya bergetar hebat sampai dia menjatuhkan kipasnya ke tanah. Rasa sakit yang begitu menyengat mendatangi jantung dan kepalanya, membuat Rhaella berlutut akibat kakinya tak mampu menopang bobot tubuhnya.
Rullin masih bergeming di tempatnya, ia menatap Rhaella yang sedang mencengkram dadanya sendiri.
“Kenapa …,” Rullin mengepalkan tangannya. “Kenapa kamu memanggil senjata suci?”
Walau Rhaella tidak pernah menceritakan kondisi kesehatannya. Rullin setidaknya tahu kalau kutukan iblis dari Negara Hali bisa membuat energi spiritual seseorang jadi tidak seimbang, sehingga orang itu akan selalu kesakitan setiap kali dia mengeluarkan sedikit energi spiritualnya.
Dan senjata suci merupakan benda yang hanya bisa dikeluarkan dengan mengkonsumsi banyak energi spiritual dari penggunanya.
Rhaella mengangkat kepalanya, masih berusaha tersenyum dengan mulut yang dipenuhi oleh darah. “Aku melihat anjing neraka itu ingin menyerangmu.”
Rullin, “Aku bisa menghindar.”
“Ah, benar, kamu seharusnya bisa menghindar,” Rhaella menambahkan, “Namun, reflekku untuk melindungi seseorang lebih cepat dari gerakanmu.”
Sebagai seorang Panglima Perang, Rhaella memiliki sebuah tugas utama yang harus dia emban selain memimpin peperangan, yaitu melindungi penduduk dari negaranya.
Ketika ada negara lain yang menyerang kota perbatasan Milana, maka Rhaella harus memukul mundur musuh sekaligus melindungi penduduk kota. Hal tersebut membuat tubuhnya selalu bergerak sendiri tatkala melihat seseorang dalam bahaya.
“Yang Mulia!” Dasha berlari menuju Rhaella, “Haruskah kita kembali ke Ibu Kota?”
“Tidak, kita harus tetap pergi ke Kota Araya. Ambilkan saja obatku.”
Dasha mengkhawatirkan Rhaella, tapi dia tetap saja tak mampu melawan perintah dari Rhaella.
Ketika Rhaella ingin menenggak obatnya, dia mendengar suara lolongan dari arah hutan. Lolongan itu begitu keras sampai semua orang harus menutup telinga mereka.
“Sial, anjing-anjing neraka itu pasti tidak terima aku membunuh kawanannya,” kata Rhaella.
“Kita harus segera pergi dari sini, Yang Mulia!”
“Percuma,” Rhaella mendecih, “Anjing neraka bisa berlari lebih cepat dari kuda. Walau melarikan diri sekali pun, mereka tetap bisa membunuh kita.”
“Lalu, apa yang yang harus kita lakukan?!” Dasha bertanya dengan panik.
“Bunuh mereka sebelum dibunuh.” Rhaella berteriak, “Prajurit! Buat formasi! Tiga di depan, dan tiga di belakang. Tiga prajurit yang ada di belakang, bunuh para anjing menggunakan panah beracun.”
Rhaella menambahkan, “Jangan sampai meleset, karena panah yang kita bawa terbatas.”
“Baik, Yang Mulia!” seru mereka serempak.
Erik sialan.
Rhaella tidak bisa berhenti menyumpahi saudaranya itu. Baru beberapa bulan menjadi Panglima saja, Erik sudah tidak becus dalam menjalankan tugasnya untuk memastikan keselamatan penduduk kota.
Jika penduduk biasa yang sekarang melintasi Hutan Leuco, mereka pasti akan langsung menjadi santapan para anjing neraka dalam hitungan detik.
“Berikan aku pedang juga,” pinta Rullin kepada salah satu prajurit.
Prajurit itu tampak ragu-ragu, hingga Rhaella berkata, “Berikan saja, simpai b***k bisa mencekiknya kalau dia malah menyerang kita.”
Rullin mendengus, “Tidak akan, anggaplah aku sedang membayar hutang karena tadi kamu melindungiku.”