Anjing neraka bukanlah binatang iblis tingkat atas yang memiliki kekuatan besar. Namun, binatang iblis satu ini sangat sulit diatasi karena mereka selalu datang berkelompok. Satu kelompok bisa memuat dua puluh hingga tiga puluh anjing neraka.
Saat ini, prajurit yang menemani Rhaella tidak memiliki energi spiritual yang kuat, sehingg mereka tidak akan mampu menangani anjing neraka sebanyak itu. Sedangkan Rullin tidak bisa menggunakan energi spiritual sama sekali, tapi setidaknya dia mempunyai stamina yang kuat.
“Yang Mulia! Panah yang kita bawa hampir habis!” teriak salah satu prajurit.
Rhaella mendengus, “Tersisa berapa?”
“Hanya tiga!”
Para pemanah bahkan baru membunuh beberapa anjing, tapi mereka sudah kehabisan anak panah karena anjing-anjing itu bergerak begitu cepat.
Rhaella lantas menimbang-nimbang, haruskah dia kembali memanggil Zephyr dan bertarung bersama yang lain.
“Yang Mulia, Anda tidak boleh melakukan hal yang sedang Anda pikirkan sekarang,” peringat Dasha. Pelayan itu memberanikan diri untuk berbicara karena tahu Rhaella memiliki ide yang buruk di dalam pikirannya.
“Lantas kita bisa apa, Dasha? Anjing-anjing itu bahkan masih tersisa banyak, tapi para prajurit sudah kelelahan.”
Yeva b******n.
Kini Rhaella mengumpat kepada saudara pertamanya.
Seandainya Yeva bisa memberikan prajurit yang lebih kuat, Rhaella pasti tidak perlu menggerakan tubuhnya hari ini.
Di lain sisi, Rullin tanpa henti menebas kepala anjing-anjing yang ada di sekitarnya. Setelah lama tidak berlatih, Rullin merasa tubuhnya sedikit kaku sehingga dia perlu menyesuaikan diri selama beberapa saat.
Sesungguhnya, dia juga tidak mengerti kenapa sekarang dia malah berusaha menyelamatkan orang dari negara yang menjajah negaranya sendiri.
Mungkin sikap Rhaella yang tadi menolongnya telah membuat hati Rullin sedikit tergerak untuk menolong.
Mungkin juga karena dia tidak punya pilihan, selain membunuh anjing-anjing neraka supaya bisa selamat.
“Rullin! Kamu memang hebat! Teruskan, bunuh mereka semua! Jangan berhenti bergerak sebelum semua anjing itu mati!” Rhaella berteriak dari belakang, bertingkah seperti pesorak wanita yang selalu teriak setiap kali melihat para prajurit berlatih.
Rullin merasa tekanan darahnya meninggi setiap kali melihat tingkah Rhaella, sehingga ia melampiaskan kekesalannya dengan menendang anjing di hadapannya.
“Benar! Tendang anjing neraka itu! Tenagamu sangat kuat! Kamu pasti mampu bermain denganku di ranjang hingga berjam-jam!”
Kata-kata Rhaella hampir membuat Rullin melempar pedang di tangannya ke kepala wanita itu. Rullin lantas berteriak dengan wajah kesal. “Bisakah kau diam, Yang Mulia?!”
Rhaella hanya tersenyum sebagai balasan, tubuhnya yang sebelum ini sakit lambat laun mulai membaik setelah menenggak beberapa butir obat. Tapi, dia belum bisa membantu para prajurit karena Dasha dengan kurang ajarnya menahan lengan Rhaella, seolah-olah cengkraman lemah itu mampu membuat Rhaella tetap diam.
Sudahlah, Rhaella memang sebaiknya menahan diri atau dia tidak akan mampu sampai ke Kota Araya.
Grraw!
Secara tiba-tiba, suara geraman marah anjing terdengar di belakang Rhaella, membuat wanita langsung berputar ke belakang dan di hadapkan oleh sosok anjing besar yang berdiri tidak jauh dari tempat Rhaella berdiri.
“Aargghh!” Dasha berteriak, karena merasa bila hidupnya sedang terancam.
Tatkala anjing neraka itu ingin menerkam mereka, Rhaella melempar tubuh Dasha ke belakang dan tangannya bersiap untuk mengeluarkan Zephyr. Akan tetapi, sebelum dia mengeluarkan Zephyr, sebuah anak panah yang terbuat dari perak sudah menembus kepala anjing tersebut, membuatnya oleng ke samping dan mati dalam sekejap.
Rhaella sontak mengarahkan pandangannya ke asal anak panah, lalu mendapati seorang pria yang dia kenal tengah berdiri di atas dahan pohon.
“Yang Mulia, apa Anda merindukan saya?” tanya Nino seraya melompat turun dari dahan pohon.
Rhaella tersenyum saat melihat kedatangan Nino, sehingga dia segera menghampiri pria itu. “Nino! Kukira kamu menempuh jalur lain di dalam hutan.”
Nino, “Awalnya saya dan Horus memang menempuh jalan yang jauh dari jalur aman. Tapi, saat Horus melihat sihir penghalangnya tidak bekerja dengan baik, kami langsung pergi ke tempat Anda.”
“Di mana Horus?”
“Di belakang saya,” Nino menambahkan, “Dia datang bersama yang lain.”
Rhaella mengerutkan keningnya. “Yang lain?”
“Mhm, siapa yang menyangka bila suku barbarian tetap mengikuti ketuanya sampai mati. Tapi, mereka memang berguna dalam mengatasi binatang iblis.”
Suku Barbar.
Suku itu sudah terbiasa dengan kekerasan, mereka hidup nomaden dari satu tempat ke tempat lainnya, sehingga sudah terbiasa bertarung dengan binatang iblis di hutan. Rhaella memang tidak pernah mempermasalahkan kekerasan, tetapi suku barbar itu selalu bertarung dengan brutal dan kotor.
Jika tidak ada darah dan daging yang berceceran di tanah, maka pelakunya bukanlah suku barbar.
Dan Rhaella membenci pertarungan tidak elegan itu.
Tak lama kemudian, suara siulan terdengar sahut-menyahut dari dahan pohon, bersamaan dengan datangnya para pria-pria berkulit madu dan berbadan kekar. Di antara mereka, juga ada para wanita yang bertubuh tinggi. Masing-masimg dari mereka memegang pedang besar serta busur panah.
Salah satu dari mereka adalah Horus yang kini tampak tak setenang biasanya.
Pria yang biasanya selalu minum teh bersama Rhaella itu kini mengayunkan pedang besar di tangannya ke para anjing neraka yang ada di sekitarnya.
Tidak ada ketenangan.
Tidak ada penahanan diri.
Dan tidak ada pengampunan.
Pertempuran antara manusia dan anjing itu berlangsung dengan cepat, brutal, dan dipenuhi kekejaman. Daging-daging dari para anjing bertebaran di tanah, menyebarkan bau busuk yang membuat Rhaella harus menutup hidungnya. Genangan darah mengalir di bawah tubuh para anjing, kemudian menyerap ke dalam tanah basah.
Rhaella menghela napas saat melihat seluruh anjing itu sudah terkapar mati. “Sekali barbarian, maka selamanya tetap barbar.”
Horus yang masih bersimbah darah lantas berbalik ke arah Rhaella. Pria itu menyimpan pedangnya di balik punggung, sebelum akhirnya berlutut di hadapan Rhaella. “Saya datang bersama keluarga saya, Yang Mulia.”
Rhaella mengangguk, kemudian menatap sekumpulan pria dan wanita yang turut berlutut di belakang Horus. Orang-orang dari suku barbar itu mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit binatang, di permukaan wajah mereka terdapat garis-garis yang dibuat menggunakan tinta berwarna putih.
Orang-orang yang disebut sebagai keluarga itu bukan sepenuhnya keluarga Horus. Mereka sesungguhnya tidak terikat dengan darah, tetapi suku barbar selalu memiliki sistem kekeluargaan yang erat, di mana mereka akan memperlakukan satu sama lain seperti keluarga meski berbeda darah.
“Apa selama ini kalian semua bersembunyi di Milana?” tanya Rhaella.
Horus mewakilkan keluarganya untuk membalas, “Mereka bersembunyi di Hutan Leuco selama ini.”
Kali ini, bukan hanya orang-orang di sekitar Rhaella yang terkejut, tapi Rhaella sendiri juga terkejut. “Kalian tinggal di hutan ini?! Benar-benar di dalam hutan?”
“Ya, Yang Mulia,” balas Horus.
Bagaimana mungkin orang-orang ini bisa bertahan hidup di antara para binatang iblis yang selalu berburu mangsa setiap malam.
Nino lantas berbisik di samping telinga Rhaella. “Mereka sudah biasa tinggal di alam liar, sehingga selalu bertarung dengan binatang iblis setiap hari. Jadi, Anda tidak perlu kaget.”
Gaya hidup suku barbar ini benar-benar tidak bisa ditakar menggunakan akal sehat.
“Yang … Yang Mulia, sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa kedua selir Anda malah ada di sini?” suara Dasha yang gemetar terdengar dari samping, sehingga menyadarkan Rhaella bahwa kini identitas asli kedua selirnya telah terbongkar di hadapan Dasha, para prajurit, dan Rullin.
Tanpa menunggu jawaban dari Rhaella, para suku barbar mulai menebas leher para prajurit menggunakan pedang, sementara Nino melayangkan belatinya ke leher Dasha.
Sebelum senjata tajam tajam di tangan Nino membunuh Dasha, Rhaella menahan lengan Nino dan berkata, “Hentikan, aku belum memberikan perintah.”
Nino lantas menatap Rhaella dengan pandangan serius. “Kita sudah pernah membicarakan ini, Yang Mulia. Siapapun yang berpotensi membocorkan rahasia, maka dia harus dibunuh.”
“Lalu, kenapa kalian tiba-tiba menyelamatkan kami dari bahaya apabila memang tak ingin ketahuan?”
Nino, “Prioritas kami adalah Anda, Yang Mulia. Ketika Anda ada di dalam bahaya, tentu kami akan datang. Sementara orang lain tidak begitu berarti di mata kami.”
Dengan kata lain, Nino rela membunuh semua orang yang ada di sini asalkan dia bisa menyelamatkan Rhaella.
Walaupun Nino adalah orang yang gemar bergurau, Rhaella tahu pasti bahwa mantan mata-mata dari Negara Derron itu tidak pernah segan untuk membunuh manusia yang dianggap sebagai ancamam.
“Dasha adalah pelayanku, turunkan senjatamu,” tegas Rhaella.
Nino masih bergeming di tempatnya. “Selagi manusia memiliki mulut, mereka bisa membocorkan rahasia.”
“Lantas, apakah kau ingin memotong lidahnya supaya dia tak dapat bicara?”
“Dia masih memiliki tangan untuk menulis.”
Saat mendengar percakapan antara Rhaella dan Nino, tubuh Dasha bergetar hebat. Untuk pertama kalinya, dia berada di ambang hidup dan mati.
“Dasha adalah pelayan di bawah namaku, dia bukan bawahan Yeva,” tegas Rhaella.
Prajurit yang ikut dengan Rhaella adalah bawahan dari Yeva, sehingga sudah sewajarnya mereka dibungkam untuk selamanya. Namun, Dasha bukanlah orang milik Yeva.
Karena, Dasha Kiran sudah menemani Rhaella sedari ia kecil, melihat wanita itu tumbuh dari seorang anak-anak hingga menjadi wanita dewasa.
Oleh karena itu, Membunuh Dasha tidaklah mudah untuk Rhaella.
“Yang Mulia, Anda tidak boleh berbelas kasih.”
Nino menatap Rhaella dengan pandangan serius, terlihat tidak menyetujui keputusan Rhaella yang ingin membiarkan Dasha hidup. Akan tetapi, tatapan mata Rhaella lebih tajam, manik biru itu tampak seperti amukan ombak yang tak terkalahkan dan dipenuhi oleh kemutlakan.
“Jangan lupakan posisimu, Nino Azkar. Aku adalah satu-satunya orang yang berhak memberikan perintah.”
Rhaella mencengkram lengan Nino dengan kuat, seakan ingin menghancurkan tulang pria itu. “Hidup dan mati Dasha tidak berada di tanganmu, melainkan di tanganku. Jika dia berani membicarakan identitas kalian kepada orang lain, maka aku sendiri yang akan menebas kepalanya, bukan kamu atau Horus.”
Mendengar hal itu, sontak Dasha bersujud di hadapan Rhaella, kemudian dia berkata dengan suara gemetar ketakutan. “Saya tidak akan melakukannya! Saya bersumpah demi Dewa Langit, Identitas kedua selir Yang Mulia tidak akan pernah saya katakan kepada siapa pun. Jika saya melakukannya, maka saya rela tersambar petir sampai mati!”
Rhaella, “Kau dengar itu, Nino? Dia sudah bersumpah demi Dewa Langit. Karena itu, turunkan senjatamu sekarang.”
Nino akhirnya menghela napas dan membuang tatapannya dari Rhaella. Ia lantas menjatuhkan belati di tangannya dan berkata, “Yang Mulia, Anda juga harus melepaskan tangan saya, rasanya mulai sakit.”
Rhaella lekas kembali tersenyum saat dia melepaskan tangan Nino. “Maaf.”
“Tidak, saya yang terlalu lancang.”
Hubungan keduanya berangsur-angsur berubah dalam waktu singkat, seolah percakapan mereka sebelum ini dilakukan oleh dua orang yang berbeda. Bahkan Nino sempat membantu Dasha untuk berdiri setelah mengancam ingin membunuhnya tadi.
“Maaf, Dasha, tapi kumohon jangan tersinggung,” kata Nino seraya menepuk-nepuk pundak Dasha dengan ringan.
Dasha menundukkan kepalanya dan membalas dengan suara kecil, “Saya bisa mengerti.”
Mengerti kepalamu!
Dasha bahkan hampir terkencing di celananya saat mendengar ancaman pembunuhan dari Nino.
Tapi kini selir itu malah berlagak manis di hadapan Dasha.
Jika saja Dasha memiliki keberanian lebih, dia mungkin sudah menendang Nino sampai pria itu pingsan.
Di sisi lain, Rullin sama bingungnya dengan Dasha. Sepertinya baru satu minggu yang lalu dia bertengkar dengan Nino di halaman selir, tetapi sekarang selir itu mampu membunuh anjing neraka, sedangkan selir yang lain mampu bertarung dengan brutal.
Pemandangan itu terlalu anomali untuk dilihat oleh Rullin.
Ketika Rhaella berjalan ke arah Rullin, pria itu bertanya dengan ragu, “Selir-selirmu ini … apa mereka juga ingin membunuhku?”
Rhaella tertawa, lalu mengusap darah di pipi Rullin menggunakan jarinya. “Kamu adalah pria yang spesial di hatiku, bagaimana mungkin mereka berani menyentuhmu?”
Seketika darah Rullin kembali mendidik saat mendengar balasan dari Rhaella. Karena melihat wajah Rullin semakin menggelap, seakan ingin membanting Rhaella ke permukaan tanah, wanita itu segera berbicara lagi. “Tidak perlu takut, kehadiranmu sangat kubutuhkan, jadi tidak akan ada yang menyakiti kamu.”
Rullin menepis tangan Rhaella dari wajahnya. “Aku tidak takut. Minggu lalu, aku bahkan bisa membuat selirmu babak belur. Jika dia berusaha membunuhku sekarang, aku akan mematahkan sendinya.”
Nino melotot, lalu mengarahkan jarinya ke depan wajah Rullin. “Kau! Apa kau ingin berkelahi lagi?! Minggu lalu aku hanya sedang menahan diri, b******n!”