Yudha buru-buru keluar dari dalam rumah dengan senyuman mengembang di bibirnya. Untuk kali kedua dia berani mencium sang istri meski hanya melabuhkan kecupan di kening saja. Semua butuh proses dan Yudha tidak ingin gegabah. Takutnya, Alina merasa tidak nyaman jika dia terlalu menunjukkan keagresifannya. Pelan-pelan saja sembari dia meyakini hatinya sendiri bahwa betulan telah jatuh cinta pada sang istri.
"Pagi, Bos!" sapaan dari Wildan melenyapkan senyuman Yudha.
Pria itu berdehem lalu membulatkan matanya. "Abdul! Kenapa elu bawa mobil yang ini?" tunjuknya pada mobil BMW, salah satu koleksi pribadinya, yang telah terparkir dengan gagah di depan pagar rumah.
"Lah, memangnya kenapa? Bukankah elu sendiri yang minta agar gue bawa mobil yang biasa saja."
"Ya tapi ini BMW, Abdul! Nggak bisa apa elu bawa Xenia atau Avanza," gerutu Yudha yang kesal karena asistennya ini kadang-kadang selalu tidak peka akan permintaannya.
"Memangnya elu punya mobil begituan? Lagian elu bisa mabok kendaraan kalau naik mobil macam odong-odong!"
Yudha menggeplak lengan Wildan membuat asistennya itu memekik kesakitan. "Apa lagi sih!"
"Elu bener-bener cari mati. Atau elu sengaja bikin huru hara agar sandiwaraku di depan Alina terbongkar saat ini juga."
"Ya elu sih nggak bilang ke gue secara spesifik apa maunya elu. Jadi ya gue pikir mobil ini yang paling biasa di antara mobil elu yang lain. Kan mobil ini juga harganya paling murah. Nggak nyampek dua em."
Yudha berdecak. Asistennya ini paling pandai menjawab. Pria itu menolehkan kepalanya ke belakang takut andai kata Alina ikut keluar lalu memergoki Wildan datang ke sini untuk menjemputnya dengan mobil mewah segala.
Dan Yudha merasa aman karena sosok Alina tidak terlihat olehnya. Buru-buru Yudha membuka pintu bagian penumpang sembari memberikan perintah pada Wildan.
"Ayo, Abdul buruan kita pergi dari sini. Keburu Alina keluar dan mergoki kita ada di sini."
"Siap, Bos!" Wildan cengar cengir merasa lucu tatkala mendapati Yudha, sosok lelaki dan atasan yang terkenal galak dan arogan, tapi sekarang telah menemukan pawangnya. Wildan jadi merasa lucu apabila Yudha merupakan salah satu anggota suami takut istri.
"Abdul, buruan! malah bengong!"
"Iya, bos!"
Wildan gegas masuk ke dalam mobil dan duduk di balik kemudi. Mendapati tatapan tajam dari Yudha. "Awas aja lu kalau sengaja cari-cari perhatian ke istri gue."
"Cie~ ada yang mulai cemburu!" Bukannya takut, Wildan malah menggoda dan sukses membuat Yudha membuang pandangan keluar memperhatikan pada jalanan.
•••
Setelah keberangkatan suaminya, Alina kembali masuk ke dalam kamar. Mengecek ponsel dan tersenyum melihat ada banyak pesan dari beberapa teman yang tau akan kembalinya dia ke kota.
[Gaes, nanti kita makan siang bareng ya.]
Tulis Alina pada group w******p yang berisikan anggota gengnya.
Iya. Alina ini memang punya banyak teman. Bahkan dengan para karyawannya saja dia seperti bestie.
Melihat waktu yang sudah mulai merangkak hampir di jam delapan pagi, Alina gegas siap-siap. Agendanya hari ini padat merayap.
Yang pertama ingin Alina lakukan adalah menyambangi salah satu kantor pusat wedding organizer miliknya. Lalu setelahnya dia juga akan mengunjungi salah satu butiknya dan selanjutnya makan siang bersama teman-temannya. Ada Ergi juga yang sudah merecokinya lantaran ingin bertemu dengannya.
Empat puluh lima menit kemudian, Alina telah siap dengan penampilannya yang selalu kece badai. Wajah dengan polesan make-up tipis-tipis tapi sanggup mengubah wajahnya makin cantik dan berseri.
Lalu untuk outfit nya, Alina menjatuhkan pilihannya pada dress casual tanpa lengan berwarna putih sepanjang bawah lutut, yang dilapisi dengan blazer warna cream. Simpel tapi elegan. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai begitu saja.
Menyambar tas tangan, wanita itu menuruni anak tangga menuju lantai satu rumahnya. Tak lupa sebagai alas kakinya Alina menggunakan sneaker berwarna putih. Perfect. Penampilannya hari ini membuat Alina makin terlihat lebih muda dari usianya. Dijamin jika Yudha melihatnya, dapat Alina pastikan jika suaminya itu akan langsung jatuh cinta.
Dengan menaiki sebuah taksi online, satu jam kemudian Alina telah sampai di kantor pusat wedding organizer yang telah dia dirikan beberapa tahun silam. Rasanya rindu sekali setelah empat bulanan ia tinggalkan begitu saja dan hanya dipantau dari jarak jauh.
Langkah lebar kaki Alina baru saja menapaki ruang depan, ketika Afika langsung menubruk tubuhnya. Perempuan muda yang merupakan tangan kanannya sekaligus yang menghandel lini bisnis milik Alina, memeluk erat tubuh Alina akibat rasa rindu yang mendera.
"Ya, Tuhan. Kangen banget tau sama elu, Alien!"
Para sahabat dekatnya, biasa memberi julukan nama Alien bagi Alina.
"Gue juga kangen elu, Fik."
Puas berpelukan, Alina menyapa para karyawannya. Saling melepas rindu setelah beberapa bulan tak bertemu.
Tidak lupa Alina juga membawa banyak makanan untuk mereka semua.
Afika sudah menyeret Alina masuk ke dalam ruang kerja mereka.
"Gimana kantor, Fik. Aman kan selama gue nggak ada?"
"Aman. Untung saja belum musim kawinan jadi enggak seberapa hectic juga kerjaan. Elu sendiri gimana? Rencana lu apa? Menetap di sini lagi atau balik kampung? Gue harap elu di sini saja. Sudah cukup gue rasa waktu bagi elu menenangkan diri. Toh, elu udah sold out juga, kan?"
Alina menghela nafas panjang mendengar rentetan pertanyaan dari Afika. Sejujurnya dia tidak ingin mengingat kenangan buruknya bareng mantan. Tapi apalah daya jika ternyata saat kembali lagi ke kota dan bertemu Afika, kenangan silam yang menyakitkan kembali menyeruak membuat dadanya sesak.
"Gue sih pengennya balik kerja seperti dulu lagi. Usaha gue nggak mungkin ditinggal dalam waktu yang lama. Lagipula masak sih gue harus hancur hanya gara-gara si pulu-pulu. Sementara dianya juga udah bahagia tanpa perduli sama gue lagi."
"Nah itu betul. Elu juga harus move on. Lagipula nggak ada salahnya elu buka hati buat suami elu. Ya meski kata elu pernikahan itu atas dasar perjodohan. Tapi nggak ada salahnya kan jika memberikan kesempatan bagi pria lain buat milikin elu."
"Gue belum siap saja menyerahkan hati gue karena gue takut dikecewakan lagi."
"Tapi suami elu baik, kan?"
Kepala Alina mengangguk. "Sejauh ini sih baik. Tapi gue juga belum mengenal secara menyeluruh tentang dia siapa dan bagaimana karakternya."
"Elah elu udah sebulan nikah emangnya ngapain aja. Masak iya nggak saking mengenal satu sama yang lain. Atau jangan-jangan elunya yang sengaja menutup diri hanya karena suami elu seorang buruh pabrik."
Alina melotot. "Jangan bicara keras-keras gue nggak enak jika ada yang dengar. Mau bagaimana pun dia suami gue yang harus gue jaga nama baiknya."
"Buruh pabrik hanya profesi, Alien. Yang penting dia tanggung jawab."
"Iya juga sih. Tapi dia enggak tau tentang siapa gue yang sebenarnya. Dan gue takut jika dia tahu gue punya karir yang bagus lalu dia insecure dan ninggalin gue."
"Jadi itu masalah elu kenapa belum bisa membuka diri untuk dia karena elu takut dia ninggalin elu?"
"Iya. Belajar dari pengalaman. Udah kadung cinta, ujung ujungnya ditinggalkan juga."