15. Memulai Hidup Baru

1002 Words
Mereka sedang makan malam bersama setelah Alina sempat ketiduran lantaran kecapekan. Memandangi beberapa makanan yang telah tersaji di atas meja makan. Alina sedikit heran karena Yudha bisa membeli banyak aneka jenis makanan enak yang Alina taksir bisa menghabiskan ratusan ribu rupiah. "Mas, ini semua Mas Yudha yang beli?" Mendengar pertanyaan Alina, senyuman Yudha menghilang. Pria itu memandang sang istri yang sedang memperhatikan beberapa jenis makanan yang telah ia siapkan. Sial! Yudha mengumpat pada dirinya sendiri karena lagi-lagi dia lupa jika sedang menyamar menjadi rakyat jelata. Bisa-bisanya tadi dia malah meminta pada asistennya agar membeli banyak makanan enak untuk istrinya. Sekarang, Yudha menyesal karena jika dilihat dari raut wajah Alina, sepertinya wanita itu sedang menyimpan banyak tanya. Berpikir, Yudha! Jangan sampai Alina curiga. Pria itu berkata dalam hati sembari berpikir keras mencari solusi atas permasalahan ini. Hingga sebuah ide melintas. Terpaksa dia akan melibatkan Wildan lagi dalam masalah ini karena ini juga kesalahan Wildan. Seharusnya asistennya itu membeli makanan yang biasa saja sesuai kantong buruh pabrik bergaji dua juta. Lah, ini saja jika Yudha hitung-hitung total harga makanannya bisa menyentuh satu juta. "Mas!" panggil Alina lagi menyentak lamunan Yudha. "Ah, iya. Itu. Sebenarnya makanan ini Pak Wildan yang kirim." Kening Alina mengernyit. "Hah! Pak Wildan kok baik banget sih kasih kita makanan sebanyak ini. Jangan-jangan Mas Yudha lagi yang minta pada Pak Wildan." Kepala Yudha menggeleng. "Sumpah bukan saya yang minta. Ini seriusan dari Pak Wildan. Katanya sebagai ucapan selamat datang." Inginnya Alina tidak percaya. Tapi setau dia yang namanya Pak Wildan ini memang baik orangnya. "Beneran, Mas?" "Iya. Kalau enggak percaya Alina bisa tanyakan langsung sama Pak Wildan." "Duh, saya percaya. Pak Wildan memang kelihatannya orang baik. Banyak membantu. Jadi jangan sampai Mas Yudha selalu merepoti Pak Wildan." "Iya. Ya sudah ayo makan." "Jangan lupa nanti sampaikan salamku dan terima kasihku untuk Pak Wildan." "Iya. Alina mau makan yang mana?" Yudha mulai menyodorkan beberapa menu untuk istrinya. Alina yang memang lapar memilih menikmati saja makanan enak yang selama dia hidup di kampung tak dijumpainya makanan seperti ini. "Oh ya, Mas. Ayah dan ibunya Mas Yudha sudah tau atau belum kalau kita sudah balik ke kota?" Kepala Yudha mengangguk. "Mereka sudah tahu kok." "Oh, ngomong-ngomong rumah kedua orang tua Mas Yudha jauh apa enggak dari sini." "Lumayan jauh. Nanti kapan-kapan kalau saya sudah longgar kerjaannya, saya bawa Alina silaturahmi ke rumah Ayah dan ibu." "Iya, Mas. Karena rasanya tidak enak saja jika kita sudah ada di kota, tapi tidak saling berkabar. Takutnya kita dituduh jadi anak yang lupa sama orang tuanya." Mampus kau, Yudha! Jika Alina kau bawa ke rumah, bisa langsung ketahuan kedokmu. Yudha menelan ludah mendengar batinnya sendiri bersuara. Lelaki itu memang sengaja tidak membawa Alina pulang ke rumah keluarganya karena belum siap ketahuan jika sebenarnya dia adalah orang kaya. Nanti saja lah sambil jalan sambil Yudha mencari cara untuk mempertemukan Alina dengan ayah dan ibunya tanpa harus menunjukkan pada Alina jika ayah dan ibu memiliki rumah besar bak istana. "Mas!" Dan entah untuk keberapa kalinya Yudha harus terkejut lantaran panggilan dari istrinya saking seringnya pria itu melamun. "Iya," jawabnya lalu mendongak menatap pada Alina. "Aku mau minta ijin." "Ijin apa?" "Besok aku mau keluar ketemuan sama teman-temanku. Boleh atau tidak?" "Memangnya Alina punya teman di dekat sini?" Kepala Alina mengangguk. "Punya, dong. Banyak. Kan dulunya aku pernah bekerja di kota." "Ketemuannya jam berapa?" "Mungkin siang." "Kalau siang saya enggak bisa antar." "Nggak perlu diantar, Mas. Aku bisa pergi sendiri." "Nanti kalau kamu kesasar dan hilang gimana?" "Ya nggak mungkin lah. Aku ini sudah gede. Masak sih bisa kesasar." "Tapi yakin kamu nggak bakal bingung dengan jalanannya?" "Kan ada taksi online di sini." "Tapi sayanya khawatir." "Tenang saja, Mas. Kalau memang Mas Yudha khawatir ... nanti aku minta temanku untuk jemput deh." "Temennya cewek apa cowok?" "Ya cewek lah. Eh, ada cowoknya juga sih. Tapi tenang saja, Mas Yudha nggak perlu cemburu. Kami ini sudah berteman baik kok." "Yang penting kamu harus hati-hati di mana pun berada. Di kota besar tidak seperti di desa. Di sini banyak orang jahat." Alina mengulum senyuman. Merasa senang karena Yudha memperhatikannya. Meskipun dia tidak sepolos itu karena Alina juga sudah cukup lama hidup di kota. ••• Esok harinya, lagi-lagi Yudha sudah menyediakan dua porsi bubur ayam untuk makan pagi mereka. Alina sebenarnya tidak enak hati karena apa-apa masih harus dihandle oleh Yudha. "Oh, ya, Mas. Nanti aku pergi belanja sekalian apa boleh?" "Boleh. Tapi pagi ini saya harus kerja. Apa tidak masalah jika Alina saya tinggal di rumah sendirian?" "Ya nggak papa, Mas. Lagipula nanti kan aku mau keluar." "Oh, Alina jadi keluar ketemu teman-temannya?" "Iya. Sekalian nanti aku mau pergi belanja." "Kalau butuh apa-apa telepon saja. Dan jangan lupa kasih kabar ke saya di mana pun Alina berada." "Siap!" Alina dan Yudha sama-sama tersenyum lalu menunduk mulai menyantap sarapan masing-masing. Di suapan terakhir, ponsel Yudha berdering. Pria itu buru-buru meneguk air mineral, setelahnya mengangkat panggilan telepon yang berasal dari Wildan. "Halo, bos. Saya sudah di depan!" lapor Wildan begitu Yudha menjawab panggilan teleponnya. "Tunggu saja di sana. Aku segera keluar." Klik Yudha memutus sepihak panggilan teleponnya. "Alina. Maaf saya harus berangkat sekarang." "Oh, iya. Hati-hati di jalan. Mas mau berangkat naik angkot apa ojek?" "Itu ada orang kantor yang jemput." Jawaban Yudha, menimbulkan kerutan bingung pada kening Alina. Namun, buru-buru ia menepis kebingungannya. Mungkin memang perusahaan menyediakan mobil antar jemput karyawan. Yudha beranjak berdiri disusul oleh Alina. "Kalau nanti Alina pergi, kuncinya bawa saja. Nanti saya bawa kunci cadangannya." "Iya." Yudha merogoh saku celananya dan mengambil dompetnya. Mengeluarkan sebuah debit card yang diberikan untuk istrinya. "Apa ini, Mas?" tanya Alina kebingungan. "Ini kartu debit. Katanya Alina mau belanja. Jadi pakai kartu ini saja untuk bayarnya nanti. Tenang saja. Ini kartu debit, bukan kartu kredit. Jadi Alina bebas menggunakannya. Nomor PINnya tanggal pernikahan kita." Alina masih melongo saat kartu tersebut telah berpindah ke tangannya. "Saya pergi dulu. Assalamu'alaikum," ucap Yudha. Melangkah maju dan tiba-tiba saja menarik kepala Alina. Melabuhkan satu kecupan di kening istrinya. Hal sederhana yang mampu membuat tubuh Alina menegang seketika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD