Nurin dan Aya kemudian mengisi formulir daftar pengunjung yang diminta.
Sersan Aya berdehem, "Nyonya, apakah sebelum ini ada sekelompok petugas yang datang kemari...?" tanyanya. Aya hanya takut bahwa mereka diikuti atau Kapten Irdan entah bagaimana mengetahui rencana mereka berdua sehingga mendahului Nurin dan Aya datang ke perpustakaan negara.
"Tidak ada petugas yang datang, ada apa memangnya?" tanya wanita itu malah menjadi curiga sembari memegang kacamatanya.
"Tidak, aku hanya bertanya saja,"
"Tenanglah, Kapten Irdan takkan mendahului kita kemari." Bisik Nurin. "Sudah kubilang mustahil mereka mengetahui kemana kita akan pergi dan mendahului kita sampai ke tempat ini, kau hanya paranoid saja kurasa Sersan, maksudku ... Aya! Astaga, aku suka lupa dengan selalu memanggilmu Sersan, maaf."
"Kau benar Nurin, rasanya mustahil mereka tahu tindakan atau rencana kita saat ini. Kau tidak salah, mungkin aku hanya mengalami parno saja. Wajar saja, ini merupakan pengalaman pertamaku menjadi buronan atau target operasi dari satuanku sendiri." Sersan Aya tertawa kecil.
"Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanya pustakawan tua tersebut mendengar obrolan Nurin dan Aya yang saling berbisik. "Ini memang sebuah perpustakaan yang perlu sebuah ketenangan, tapi bukan berarti kalian juga harus berbisik ketika bicara layaknya seekor semut. Santai saja, lagipula tidak banyak orang yang datang untuk membaca pada hari ini." Pustakawan itu tersenyum ke arah Nurin dan Aya.
"Nyonya, aku juga ingin menanyakan hal itu. Biasanya perpustakaan negara selalu ramai setiap harinya dan tidak pernah sepi pengunjung seperti ini. Hari ini begitu berbeda, nampak lengang dan tidak banyak pengunjung yang datang." Ucap Nurin melihat ke sekitar perpustakaan. "Kenapa...? Apa minat baca warga kota ini telah menurun?"
"Bukan seperti itu, tentu saja hari ini sepi, itu karena hari ini adalah pesta demokrasi kan." Jawab sang pustakawan. "Ini hari libur nasional kalian ingat? Harusnya memang ramai pengunjung, tapi tidak di hari seleksi pemilu. Biasanya semua mata tertuju pada penantian akan hasil seleksi. Semua warga menantikan pengumuman hasilnya. Selalu seperti ini tiap ada ujian seleksi terutama jika pemilu."
"Kau benar Nyonya, aku lupa." Balas Nurin.
"Ngomong-ngomong, rak katalog khusus yang hendak kalian tuju itu jarang sekali dikunjungi. Dulu sekali ... mendiang Mufti sangat sering mengunjunginya bersama putranya." Kenang wanita tua itu. "Terakhir beliau mengunjunginya dua bulan sebelum beliau meninggal dunia,"
Nurin bergeming. Jadi ... ayah sempat kemari dua bulan sebelum beliau meninggal dunia...?
"Aku adalah putranya itu Nyonya." Sahut Nurin.
"Apa? Jadi ... kau anak kecil yang waktu itu? Sekarang kau sudah besar ya." Kata Nyonya tua itu tiba-tiba antusias. Wajah tertengkuk itu kini berubah menjadi sumringah. "Aku tidak menyangka putra seorang Mufti besar akan kembali mengunjungi perpustakaan ini. Sudah lama sekali kau tidak kemari." Ucapnya sembari melihat-lihat letak katalog di panel holographic. "Sebentar ...."
"Ini perpustakaan yang besar." Gumam Sersan Aya mendongak ke atas. Aya mengagumi gaya arsitektur dan luas bangunannya. Perpustakaan tiga lantai itu memang berukuran sangat besar, memiliki luas 112 meter kali 90 meter. Ini karena perpustakaan Tengku Amir Hamzah sendiri berfungsi sebagai perpustakaan negara. Biasanya ada begitu banyak orang di perpustakaan itu namun dengan kesenyapan yang dalam, terdiam menyelami pengajaran dan penyelaman dari jendela ilmu yang membeku pada lembar-lembar buku. Tapi tidak untuk hari ini, perpustakaan negara benar-benar sunyi secara harafiah.
"Bilik katalog itu ada di bagian rak nomor 179, bagian 4A. Semua buku yang ada di katalog itu adalah khusus penyimpanan koleksi milik ayahmu, Syeikh Muammar Alisyah."
"Terima kasih Nyonya." Ucap Nurin. "Aku tahu, maka dari itu aku mengunjunginya. Aku ingin memeriksa koleksi buku-buku ayahku itu lagi. Sudah lama tidak dirawat, aku ingin tahu kondisinya sekarang."
"Silahkan, naik saja ke lantai dua. Jika kalian butuh sesuatu, katakan lagi saja padaku."
"Aku ucapkan terima kasih." Ucap Sersan Aya.
"Apa perlu aku antar kalian untuk menuju kesana?" tawar wanita tua tersebut.
"Tidak usah Nyonya. Kami bisa mencarinya sendiri." Sahut Nurin tersenyum ramah. "Sekali lagi kami ucapkan terima kasih."
"Silahkan, kalian nikmatilah sepuasnya perpustakaan ini." Ucap wanita itu mempersilahkan.
Nurin dan Aya kemudian naik menuju lantai dua dari perpustakaan. Melewati puluhan rak buku yang berjajar rapi secara sejajar. Rak yang begitu tinggi dengan volume buku-buku yang tak terhitung jumlahnya. Benar-benar sebuah semesta pengetahuan yang terjaga.
Mereka kemudian menuju ke bagian rak katalog yang telah diberitahukan oleh wanita penjaga perpustakaan tadi. Nurin langsung berjalan perlahan ke dalam bilik bundar tersebut, menuju belantara buku-buku simpanan milik almarhum sang ayah. Dalam ruangan khusus—katalog—itu hanya terdapat kumpulan buku-buku koleksi milik Syeikh Muammar Alisyah saja, mungkin ada sekitar 200an lebih buku yang tersimpan dan tersusun rapi disana. Sebagian besar merupakan buku-buku agama; seperti urusan fikih, muamalah, tasawuf, ideologi, dan akidah. Sekitar 15% sisanya lagi dengan tema beragam seperti politik, ekonomi, dan sejarah. Nampak jelas bacaan dari Syeikh Muammar Alisyah merupakan kombinasi bacaan yang variatif dan berkualitas.
"Apa ini tempatnya?" tanya Aya. "Banyak sekali buku yang ayahmu simpan di tempat ini." Sersan Aya berdecak kagum. "Bagaimana kita tahu buku mana yang sedang kita cari? Jumlahnya saja ada sebanyak ini. Apa kau tahu apa yang sedang kita cari sekarang...?"
"Ya, ini adalah tempatnya, aku mengenalinya." Jawab Nurin. "Petunjuknya jelas mengarahkan kita kesini, tidak salah lagi."
"Lalu ... yang mana?" tanya Aya. "Apa yang ayahmu ingin coba sampaikan dengan memintamu datang kemari?"
Nurin berfokus memutar kepalanya, memperjalankan kedua bola matanya menerawang apa yang sedang ia cari. Nurin bergeming seakan menemukan sesuatu dalam susunan sistematis buku-buku diatas rak sana. Pikirkanlah, jika aku adalah ayah ... dimanakah aku akan meletakkan petunjuknya itu agar bisa ditemukan olehku? Nurin begitu intens menerawang ke ratusan buku yang tersusun rapi di rak. Satu persatu Nurin mengambil buku disana, membaca lembarannya dan meletakkannya kembali. Tidak ada yang ia temukan. Buku-buku ini terlalu banyak, darimana dia harus memulainya?
Ciptaan pertama...? Muqawwanat? Astaga! Sepertinya Nurin mulai menyadari sesuatu setelah mengingat kembali bunyi pesan itu. Dia memicingkan mata demi lebih fokus mencari apa yang dia cari saat ini. Dia mencari sebuah buku!
"Ketemu!" gumamnya, telah menemukannya.
"Apa...?" tanya Sersan Aya bingung. Apa yang sudah Nurin temukan?
"Carilah diantara nama sang ciptaan pertama," gumam Nurin kembali mengulang kata-kata yang terdapat dalam buku digital ayahnya. "Maksud dari frasa sang ciptaan pertama di pesan tersebut pasti merujuk pada hal itu!" tunjuk Nurin.
Sersan Aya menatap yang ditunjuk oleh Nurin dengan bingung. "Buku yang mana...?" tanyanya.
"Kelimanya." Jawab Nurin. "Lihatlah ke arah kelima buku berwarna merah yang tersusun di tengah-tengah rak buku di atas sana. Hanya ada lima buku yang berwarna merah tepinya. Kelima buku yang ada inisial halus lumayan besar di tepinya itu. Coba kau bacalah!" pinta Nurin pada Aya.
"A, H, M, A, D." Eja Sersan Aya terbata seraya memegang erat kacamatanya. "Kelima buku itu ... membentuk frasa Ahmad...?" tanyanya terpana. Nurin hanya tersenyum menganggukkan kepala.
Kelima buku warna merah agak kecoklatan dengan inisial disampingnya itu terdiri dari lima kitab berbeda yakni kitab Arizal karangan kosmogonis kabbalah Isaac Luria, Haturim Midrash dari Jacob Ben Asher, Mukawaanat yang merupakan buku karangan Syeikh Muammar Alisyah sendiri, Al Futuhat Al Makiyyah karya Ibnu Arabi, dan terakhir Dalailul Khairat karya Syeikh Al-Jazuli. Kelima buku tersebut merupakan kombinasi gabungan antara khazanah Hasidisme kabbalah dan Tasawuf Islam. Koleksi buku-buku tingkat tinggi rujukan dan representasi bidang keilmuan mistisisme dan esoterisme lintas agama semitik. Disusun secara sistematik oleh Syeikh Muammar Alisyah dengan membentuk satu pola ejaan yang dapat terbaca. A-H-M-A-D.
"Ayah pasti sengaja menyusun buku dengan inisial seperti itu." Kata Nurin tersenyum lebar. Hebat ayah, cukup atraktif juga, puji Nurin dalam benaknya.
"Ahmad ... ayahmu memakai namamu untuk petunjuknya?" tanya Aya. "Itu petunjuk kita! Ayahmu sengaja menyusun namamu disitu, Nurin!"
"Bukan," jawab Nurin. "Itu bukan merujuk pada nama depanku Aya. Kata itu benar-benar merujuk pada sang ciptaan pertama, Ahmad!"
"Tunggu dulu, Ahmad? Ciptaan pertama?" tanya Aya. "Apa maksudnya? Maaf, karena sependek sepengetahuanku, dalam Islam sendiri ciptaan pertama itu Qolam atau pena deh."
"Bukan." Tegas Nurin. "Terkait apa yang paling pertama diciptakan oleh Allah, para ulama memang berikhtilaf, berbeda pendapat. Ada yang menyebut itu adalah Qolam, ada yang menyebut Arsy atau singgasana Tuhan, ada lagi yang menyebut itu adalah air. Semua pendapat itu disandarkan pada beberapa hadist shahih dan hujjah yang tarjih. Dalam ranah sufistik sendiri, lebih dikenal dan populer bahwa Nur Muhammad, Haqiqat Al Muhammadiyah, atau Nur Nabi lah yang merupakan ciptaan paling pertama yang diciptakan Tuhan sebelum segala sesuatunya ada. Konsep ini konon pertama kali diperkenalkan oleh sufistik terkenal Al Hallaj, namun sebenarnya konsepnya sendiri berasal dari zaman yang lebih tua. Secara oral dan nash konsep Nur Nabi atau cahaya penciptaan pertama sudah dikenal lebih dulu bahkan termaktub dalam kitab-kitab lama dan kuno. Term Cahaya—Nur—yang disandingkan dengan kata Muhammad disandarkan pada pengertian cahaya asal dan inti dari Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam itu sendiri. Dalam lingkup lingkungan pengertian kaum Sufi, Nabi Muhammad memiliki definisi khusus tersendiri dan berlapis. Ulama bernama Al-Tusturi misalnya, memiliki pendapat serupa bahwa Nabi Muhammad adalah sumber dasar terciptanya tanah yang kemudian menjadi sumber asal kejadian. Esensi Muhammad adalah dianggap Azali atau kekal karena ia bagian dari ekstraksi Cahaya-Nya sendiri. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Amin Al-Qurdi yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia 'Ain Al wujud—yang wujudnya merupakan sumber segala sesuatu, adapun pada esensi dasarnya yang disebut hakikat Muhammadiyah merupakan cahaya purba dari inti penciptaan paling mula-mula. Dalam dua kitab yang ditulis oleh ulama sufi yang mahsyur bernama Yusuf Al-Nabhani yakni Al-Anwar Al-Muhammadiyah Minal-Mawahib Al-Diniyah dan Jawahir Al-Bihar Fi Fadail An-Nabi Al Mukhtar dijelaskan bahwa ketika Allah telah menetapkan Iradah-Nya untuk menciptakan segala makhluk, maka hal pertama yang Allah ciptakan adalah Hakikat Al-Muhammadiyah. Ia merupakan makhluk pertama yang Allah ciptakan dari Cahaya keagungan-Nya sendiri. Kemudian dari cahaya pertama dari yang paling pertama inilah tercipta berbagai isi dari alam semesta, semisal Kursi, Arsy, langit, bumi, malaikat, para Nabi, jin, manusia, ilmu, dan substansi kehadiran lainnya. Sumber sejati dikenal sebagai Cahaya Muhammad dan nubuwahnya sudah dahulu dikenal sejak era sebelum zaman tercipta, sedangkan pada saat itu semesta belumlah ada. Walau tak terhitung banyaknya ulama aliran sufisme atau para pelaku thoriqoh yang meyakini Nur Muhammad sebagai ciptaan paling pertama, pendapat dan pandangan ini sering ditentang oleh sekelompok besar kaum fundamentalis dan tekstualis arus utama."
"Lantas kenapa disebut Ahmad? Apa Ahmad adalah nama ciptaan pertama? Apakah itu sama dengan Nur Muhammad atau Hakikat Muhammadiyah itu?" tanya Aya semakin penasaran. "Karena aku tidak pernah menemukan ada satupun literatur yang memuat relasi antara nama Ahmad dan Nur Muhammad itu sama Nurin,"
"Sebenarnya ada Aya," jawab Nurin. "Salah satunya dari ulama mastur asal Sungai Batang Martapura, KH. Anang Sani." Nurin cukup terhibur dengan sifat keingintahuan Aya yang besar. "Ahmad itu gema tertua yang secara kolektif diingat oleh para ruh dan jiwa-jiwa. Para Nabi menyadari namanya, mengenalnya dan mengakui kenabiannya bahkan sebelum sang Nabi itu terlahir ke dunia."
"Jadi memang dua istilah itu merujuk pada satu hal yang sama, begitu?"
"Nama teragung, nama tertua, panggilannya yang sejati. Sebuah nama yang mendasari lahirnya eksistensi dunia dan semesta kita ini. Sebuah nama yang menggetarkan bagi mereka yang memahami makna keagungan Tuhan. Nama itu bahkan telah disebutkan jauh sebelum eksistensi lahiriahnya dihadirkan, Surah As Shaaf ayat 6. Sebagian besar mursyid tarekat sufi berkeyakinan Nur adalah wadah tajjali-Nya dan realitas universal dari segala unsur semesta baik yang batini maupun alami. Realitas asli bagi kehadiran Arsy, Kursi, Al Qolam dan lain-lain.
Kemudian Nur dari-Nya itu bertajalli di dalam suatu bentuk replikasi bak cermin yang dalam terminologi Yusuf Al Nabhani disebut sebagai Al-Haba, sehingga segala sudut yang tercakup dalam Al-Haba tersinari oleh cahaya Allah yang luas tanpa batas. Al-Nabhani menganalogikannya seperti lampu pijar yang menerangi segala penjuru rumah, dimana semakin dekat dengan sumber sinar, semakin banyak pula dia mendapatkan terangnya sinar. Maka dari konsep ini kedudukan yang paling padu dari cahaya Allah adalah Nur Muhammad, sehingga secara otomatis ia mendapat saham sinar paling banyak. Karenanya dia bersinar lebih terang dan menjadi awal penampakan dari alam serta yang pertama kali diwujudkan. Menurut An-Nabhani Cahaya Muhammad selain yang paling awal diciptakan, juga merupakan sebuah media manifestasi Tuhan yang kemudian berbatang tubuh sempurna dalam diri Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam yang biasa disebut dengan cermin Tuhan—Mirrah Rabbi atau Imago Dei, citra-Nya tapi bukan diri-Nya."
"Wow! Paparan ini begitu kompleks," Aya menaikan alis dan menelan pelan kedua bibirnya.
"Ayahku—dengan mengambil fondasi pemikiran An-Nabhani ini menulis bahwa eksistensi Nabi Muhammad juga berfungsi sebagai sumber pemikiran atau akal dan juga merupakan sumber dari semua keberadaan ruh. Abul Arwah—bapak dari sekalian ruh. Maksud dari Nur Muḥammad sebagai wadah tajalli Tuhan disini adalah bahwa sesungguhnya dia berasal dari cahaya Zat-Nya sendiri, dari segi penampakkannya, dan bahwa penampakan zat itu secara hakikat dan murni khusus hanya kepada Nabi Muhammad, bukan kepada selainnya." Lanjut Nurin.
Aya Mentari masih asyik memperhatikan ketika Nurin sedang menjelaskan.
"Sini, akan kuperlihatkan." Nurin kemudian mencari tangga geser dan menyeretnya lalu naik dan mulai mengambil buku yang berada di tengah dari kelima buku berwarna merah dengan inisial diatas rak tersebut. Buku yang diambil Nurin itu adalah buku berinisial "M", sebuah buku berjudul Mukawwanat yang merupakan karangan dari ayahnya sendiri, Syeikh Muammar Alisyah.
"Buku ini adalah karya dari almarhum ayah. Diberi judul Mukawwanat yang merupakan bentuk jamak dari mukawwan yang artinya ciptaan." Jelas Nurin seraya menatap buku bersampul putih bertuliskan warna kuning emas di covernya tersebut. "Buku ayah ini adalah buku epistemologi yang berfokus pada ajaran-ajaran tasawuf Syeikh Yusri Rusydi Jabr Al-Hasani."
"Jadi, terkait Ahmad sebagai ciptaan pertama?" tanya Aya meminta konfirmasi dan informasi lebih lanjut dari Nurin tentang istilah Ahmad sehingga membuyarkan jalan kenangan yang sempat terlintas dipikiran Nurin.
"Kau tahu kenapa ayah menaruh buku karyanya yang berinisial "M" ini di tengah dari kata yang membentuk kata Ahmad?" tanya Nurin. Sersan Aya menggelengkan kepala.
"Ini seperti yang beliau jabarkan panjang lebar dalam buku ini." Ucap Nurin. "Aku akan membacakan beberapa kutipan yang ditulis ayahku di buku ini."
Nurin mulai membuka lembaran demi lembaran buku karya ayahnya tersebut. Fisiknya masih bagus dan terawat namun hanya sedikit berdebu dikarenakan begitu lamanya tersimpan.
"Dalam epos kelahiran keberadaan dan ruang, ada episode paling awal yang menjadi cikal bakal dari semuanya. Kejadian yang sangat penting bagi perenungan Irfani yang mendalam, terkait erat dengan kesadaran insan dan pusara entitas yang tunggal. Ketika cahaya terawal nan mulia ini diberi nama, dia menjadi tumpuan akan lahirnya banyak keberadaan. Sesuatu meliputi dirinya sejak semula sebagai riak dari ujung tak berkeakhiran dalam kelahiran kosmis. Cahaya-cahaya yang lebih kecil dan sejajar mulai memisah dan memantulkan manifestasi ke segala arah. Membentang dalam lingkar pembentukan. Tuhan memiliki kehendak agung dalam penciptaan. Pesan ini terkandung ketika dia yang belum bernama mendapatkan nama-Nya. Semesta tidak memiliki celah untuk menyangkal darimana unsurnya berasal, baik dari aspek maknawi maupun dzahiri. Aspek-aspek ini memiliki peran penting dalam lipatan kesadaran yang terkadang membawa manusia pada kesadaran akan kehadiran Tuhan. Inilah warisan dari perkenalan oleh makhluk pertama. Mereka menyebutnya Nur Muhammad, Hakikat Ahmad, Cahaya paling terang, hakikat penciptaan, ciptaan pertama, seorang anak yang bermain dengan ayahnya dipangkuan-Nya di awal-awal masa sebagaimana yang tertulis dalam lembaran-lembaran permisalan Sulaiman, sebuah senandung yang dilantunkannya. Semua terma itu mengarah pada kekasih-Nya." Papar Nurin membacakan begitu panjang salah satu kutipan dari buku Syeikh Muammar Alisyah.
"Jujur saja Nurin, wawasan dan isi kepalaku belum bisa mencapai penjelasan-penjelasan yang ditulis ayahmu disitu. Tapi bisa kurasakan kedalaman ilmunya, riset yang luar biasa dan energi yang memupuk jiwa yang haus karena dahaga seorang hamba. Ayahmu benar-benar penulis buku yang hebat. Kata-kata yang beliau tulis begitu heroik dan membumbung. Pantas saja beliau disebut-sebut sebagai salah satu ulama paling berpengaruh di dunia Islam saat ini."
"Sekarang aku tanya, lihatlah lagi ... setelah buku dengan inisial M ini kuambil, menjadi apa bacaannya? Bisa kau lihat...?"
Sersan Aya mendongak sedikit lalu memperhatikan kembali susunan buku berinisial diatas. "Ah ... Aha ... Ahad." Gumamnya. "Sekarang menjadi Ahad,"
"Tepat sekali!" sahut Nurin antusias. "Seperti yang dijelaskan oleh Syeikh Yusri Rusydi, bahwa huruf mim atau M dalam ejaan latin—dari kata Ahmad itu mengandung unsur mukawwanat, kata ciptaan dalam bentuk jamak. Seolah dengan nama itu Allah Swt ingin mengesankan bahwa Ahmad adalah perantara antara diri-Nya yang Ahad—Esa, satu, tunggal—yang sifatnya ketersembunyian dengan para makhluk—yaitu entitas keterciptaan—yang sifatnya nampak dan materil. Penghubung antara sang Khalik yang Azali atau bersifat kekal dengan para makhluk dzahiri yang bersifat temporary. Itulah makna Ahmad, kesejatian dari kebersatuan yang padu yakni wahidiyyah dengan dia yang satu yakni Ahadiyyah." Papar Nurin sembari mengutip salah satu ayat dalam surah Al-Hadid. "Wal awwalu wal akhiru, wal dzahiru, wal bathinu ... Dia yang awal dan Dia yang akhir, Dia yang nampak dan Dia yang batin. Dialah Alpha dan Omega!"
Sersan Aya begitu terkesan, hanyut dalam khidmatnya penjelasan, ia merenungi setiap jengkal paparan esoteris Nurin itu dengan khidmat dan penuh hasrat. Seakan-akan ia baru menenggak manisnya sebuah seduhan ilmu baru yang keluar dari mulut sang Profesor muda itu.