Nurin tertunduk seraya tersenyum simpul tidak menyangkal.
"The 7th, majalah Time Indonesia menyebut kalian tujuh keajaiban dunia. Dari yang k****a kalian kadang dimintai pendapat atau menjadi konsultan ahli di bidang kalian masing-masing ketika ada proyek tertentu yang dikerjakan pemerintah. Satu diantara The 7th saat ini masuk dalam jajaran kabinet, menjadi menteri termuda di usia 28 tahun, Prof. Rasyid Kahari yang menjabat menteri bidang pertanian dan agrikultur. Lalu wakil kepala badan antariksa LAPAN saat ini, Prof. Norsena Bahar yang baru berusia 25 tahun, sosok sentral dari proyek ETTAC planet kevlar Sirius B-11 yang menemukan komposisi gugusan Dandelion Ploritan di tepi galaksi. Jadi Profesor Nurin ... apa spesialisasi bidang yang kau kuasai? Aku hanya tahu kau seorang dosen pengajar dan pakar dibidang keagamaan."
"Aku sarjana ilmu hadist dan Al-Quran, lalu master dibidang filologi, sains dan antropologi, lalu doktor profesor dibidang penguasaan kitab-kitab kuno, bisa dikatakan seorang Bibliolog."
"Bibliolog...?"
"Hampir mirip seperti arkeolog, hanya saja lebih spesifik berkutat dan berfokus pada kajian manuskrip dan kitab-kitab kuno. Aku pernah terlibat dan menjadi konsultan ahli pada proyek kodifikasi konklusi DSS—Dead Sea Scroll di Tel Aviv dan Amman setahun yang lalu, juga menjadi pembicara dalam Seminary Luxor Invention di Mesir. Tapi kebanyakan kegiatan harianku hanya berkutat pada menulis buku dan mengajar, aku suka sekali mengajar. Dengan mengajarkan sesuatu pada orang lain, rasanya ada kepuasaan tersendiri. Ketika kita membagikan pengetahuan pada dunia dan mencoba memberi getaran berupa pengaruh baik pada lingkungan sekitar kita, mempengaruhi mereka, dan menjadi pemantik untuk kemajuan mereka, itu terasa menyenangkan."
"Kau pasti sangat dibanggakan oleh mendiang ayahmu ya. Beliau jelas bangga memiliki putra sepertimu Profesor Nurin."
"Ya, tapi seperti ada sesuatu yang beliau rahasiakan. Sesuatu yang tidak pernah beliau ceritakan padaku. Ada kotak misteri yang tidak pernah bisa kujamah dan kuketahui dari ayahku itu. Terlebih pada hari ini. Beliau meninggalkanku suatu teka-teki yang harus kupecahkan. Apa artinya semua ini...?" tegas Nurin. "Ayahku adalah pribadi yang jujur, amanah dan tidak pernah menyembunyikan sesuatu. Tapi sepertinya memang ada yang beliau sembunyikan dariku dan aku harus mencari tahu itu,"
Sersan Aya hanya terdiam.
"Ayahku selalu mendorongku untuk ikut terlibat dalam politik praktis dan aktivitas pemerintahan, walau tidak begitu memaksakan tapi sudah sejak lama beliau sangat mengharapkanku untuk mengikuti pemilu ini. Aku tidak begitu mengerti alasannya. Kata ayah aku memiliki kemampuan untuk itu. Dan sekarang, setelah semua kekacauan ini, aku semakin tidak mengerti alasan dibaliknya. Dulu pernah kudengar ayah berkata bahwa aku akan memperbaiki suatu kesalahan di masa lalu mereka. Bahwa aku akan memikul tanggung jawab besar."
Nurin mengangkat buku digital yang dipegangnya lalu menatapnya. "Aku ingat ketika pertama kali ayah memberikan ini padaku. Beliau bilang semua rahasia negeri ini ada didalam sini, dan aku akan menguak rahasia itu. Bahwa itu merupakan tugasku. Kukira semua perkataan itu hanya kata-kata kosong yang tidak kumengerti, tidak hingga datangnya hari ini. Kurasa pada akhirnya aku akan mengetahui apa yang dimaksud oleh ayahku dahulu ketika telah memecahkan semua tulisan di buku digital ini."
"Oleh karena itu kita berdua harus memecahkan semua misteri ini Profesor. Buku digital itu merupakan kunci serta sebuah pesan yang diwariskan oleh ayahmu, beliau bermaksud untuk menyampaikan sesuatu padamu di dalam buku digital ini."
"Aku sudah menceritakan segalanya. Sekarang giliranmu, ceritakanlah tentang dirimu Sersan." Tantang Nurin tersenyum. "Aku ingin tahu darimana ketangguhanmu itu didapatkan."
Sersan Aya menghela nafas panjang. "Harus mulai darimana? Tidak ada yang spesial dari hidupku ini. Dari ceritamu, setidaknya hidupmu jauh lebih baik daripada hidupku. Pada awalnya masuk kepolisian juga bukan opsi utama yang kupilih dan kukehendaki sebagai jalan karirku. Awalnya passionku bukanlah menjadi seorang polisi, Profesor."
"Benarkah...? Lalu apa cita-citamu Aya?"
"Ini mungkin agak memalukan,"
"Kenapa? Tidak apa-apa, ayo ceritakan saja."
"Sebenarnya ... dulu sekali aku ingin menjadi seorang dokter. Tak pernah terpikir untuk menjadi seorang aparat kepolisian."
"Itu hebat, suatu cita-cita yang mulia. Aya—kenapa harus malu?"
"Ya ... karena apa yang kudapatkan sekarang ini jauh berbeda dengan cita-citaku dahulu,"
"Kenapa kau dulu memutuskan ingin menjadi seorang dokter? Apakah ada alasan tertentu untuk itu...?"
"Karena aku ingin membantu semua orang. Kau tahu Profesor, aku adalah bungsu dari lima bersaudara. Dua kakak tertuaku telah meninggal, meninggalkan kami semua. Kakak sulungku sudah lama meninggal dunia, kata orangtuaku saat usianya 10 tahun. Saat itu kakakku itu mengidap suatu penyakit yang tidak terdiagnosa. Kedua orangtuaku pada waktu itu tidak memiliki biaya untuk memeriksakannya ke rumah sakit sehingga tidak ada tindakan medis yang bisa dilakukan. Kakak keduaku juga meninggal sekitar selang dua tahun kemudian karena masalah ginjal. Oleh karena itu aku ingin sekali menjadi dokter. Ada dua jurusan kedokteran yang kuinginkan. Aku ingin menjadi dokter bedah syaraf atau dokter hewan juga tidak masalah karena aku juga menyukai para hewan terutama kucing."
"Jadi seperti itu ...." Gumam Nurin nampak prihatin dengan kisah hidup Sersan Aya.
"Ayahku merupakan purnawirawan kepolisian. Beliau sangat menginginkan salah satu anaknya meneruskan karir kepolisiannya. Dua putra tertua kebangaannya telah tiada di usia yang terbilang masih sangat muda sementara dua kakakku yang lainnya tidaklah berguna. Satu kakakku selalu merepotkan kedua orangtua kami dan sekalipun tidak pernah memberi kebanggaan sama sekali pada keluarga, hanya rasa malu."
"Kenapa kau bicara begitu?"
"Kakakku saat ini berada dipenjara Nurin, divonis 25 tahun karena percobaan pembunuhan kepada seorang kepala pelayan restoran tempat dia dulu bekerja. Kakakku itu seorang peminum berat, dan dia tidak terima selalu ditegur oleh atasannya itu sehingga suatu hari dia hendak melakukan percobaan pembunuhan dengan menyusup masuk ke rumah kepala pelayan itu pada malam hari. Satu putrinya tewas dan istrinya sempat dioperasi karena kakakku."
"Oh, maaf. Aku ...." Nurin tidak bisa berkata apa-apa ketika mendengar itu. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Semakin kesini, semakin menyedihkan kisah hidup Sersan Aya. "Lalu ... bagaimana dengan kakakmu yang satu lagi?"
"Dia lebih baik. Kakakku yang satunya itu seorang pekerja keras dan pelajar yang ulet. Hanya saja dia terlalu fokus sehingga sering mengabaikan keluarga. Dia juga menolak keras untuk meneruskan karir kedirgantaraan ayah. Dia mengambil jurusan hukum di Jakarta dan saat ini telah menjadi jaksa di Mahkamah dan sedang bertugas di ibukota. Saat ini dia telah berkeluarga dan memiliki seorang putra. Sampai saat ini pun dia terkesan seperti masih mengabaikan kami, keluarganya, dan hanya rutin mengirimkan uang tiap satu bulan sekali. Padahal kedua orangtua kami sudah begitu lama merindukannya."
"Jadi kau yang akhirnya berkorban demi meneruskan harapan serta cita-cita ayahmu?"
"Tidak ada jalan lain lagi. Mau tidak mau hanya aku yang bisa mewujudkan impian itu. Aku hanya ingin membahagiakan orangtuaku saja. Maka dari itu aku bekerja keras ketika diterima dalam kepolisian. Aku ikut kursus taekwondo, karate, silat, dan seni bela diri lainnya. Aku bertekad kuat akan menjadi polisi yang handal dan dapat diandalkan. Polisi yang membanggakan!"
"Dan sekarang kau telah berhasil! Kau melindungiku dengan kekuatanmu, kau seorang wanita dengan jiwa seorang ksatria, Aya." Ucap Nurin.
Dalam hatinya Nurin cukup prihatin setelah mendengar curhatan kisah hidup Sersan Aya yang ternyata tidak begitu mudah. Hidup dalam lika-liku keluarga yang keras membuat Aya yang berwajah lembut itu menjadi pribadi yang tangguh seperti sekarang ini. Bagi Nurin, hidup Aya jauh berbeda sekali dengan keadaan hidupnya. Nurin menaruh simpati dan empati kepada Aya saat ini. Namun Nurin juga tidak terlalu menyadari bahwa hatinya pun saat ini mulai membuka ruang bagi satu sosok yang sebenarnya baru dikenalnya hari ini. Timbul rasa suka dalam hati Nurin pada sosok Aya.
***
Truk mereka tiba-tiba berhenti, membuat Nurin dan Aya bergeming, mereka sadar bahwa saat ini truk yang mereka tumpangi telah memasuki kawasan kota dan sedang dihadang oleh razia pemeriksaan. Ketika truk mereka memasuki pos-pos pemeriksaan berlapis yang dijaga oleh banyak personil polantas, Nurin dan Aya coba menguping dengan resah, kalau-kalau truk ini muatannya diperiksa, mereka pasti akan ketahuan. Mereka berdua telah menjadi dua buronan paling dicari saat ini. Tapi cerobohnya para polisi pemeriksa itu hanya meminta surat menyurat dan izin keterangan usaha milik Pak Haji Saleh saja dan tidak memeriksa ke bagian belakang truknya.
"Kau tidak mau memeriksa muatan belakangnya Pak? Aku bisa memperlihatkannya kepada kalian kalau mau, tidak masalah, isinya hanya ikan-ikan lele segar." Ucap Pak Haji Saleh tidak memperlihatkan ketakutan dan rasa gugup sama sekali. Orang tua itu mencoba berimprovisasi agar lebih meyakinkan walau tawarannya tersebut cukup berbahaya.
"Tidak, tidak usah. Anda jalan saja dan hati-hati di jalan."
Mendengar itu Pak Haji Saleh nampak lega. "Baik Pak, terima kasih." Ucap Pak Haji Saleh kembali menjalankan truknya dan melewati dengan mulus pos-pos pemeriksaan.
"Apa yang barusan Pak Haji itu katakan? Untung saja petugas tadi tidak mau memeriksanya," bisik Sersan Aya sedikit kesal dengan improvisasi yang dilakukan Pak Haji Saleh.
"Tenanglah, yang penting kita telah aman sekarang." Sahut Nurin.
Kali ini Nurin dan Aya sangat beruntung bisa lolos dari pos pemeriksaan itu. Sekitar dua belas menit sejak truk mereka kembali memasuki wilayah kota, akhirnya tumpangan mereka telah sampai di Solirang Road yang Nurin dan Aya tuju. Truk kemudian berhenti.
Nurin dan Aya turun kemudian mengucapkan terimakasih pada Pak Haji Saleh atas bantuannya.
"Nah, kalian sudah sampai di tempat tujuan kalian. Solirang Road bukan?"
"Iya Pak terima kasih atas tumpangan anda." Kata Aya.
"Tadi hampir saja, begitu banyak polantas yang berjaga di kawasan masuk kota. Maaf jika kalian sempat khawatir ketika aku menawarkan pada para polisi itu untuk membuka muatan truknya. Aku sudah berpengalaman menjadi supir truk selama lebih dari 23 tahun nak. Begitu banyak operasi razia yang telah kujalani selama menjadi supir truk pengangkut mulai dari truk buah, peti kemas, semen, meubel dan bahkan berpengalaman menyelundupkan produk minum-minuman keras ilegal—tapi itu dulu, sewaktu aku masih muda. Sudah bertahun-tahun aku sudah tobat dari pekerjaan kotor itu dan sekarang hanya mencari nafkah di jalan yang diridhoi oleh Allah. Intinya bapak sudah sangat mengetahui tipikal para polisi ketika sedang merazia. Di jam-jam seperti ini dimana para polisi itu sudah sangat kelelahan karena telah berkerja lebih dari 3 jam, ditambah perut yang mulai kosong, biasanya mereka akan terkesan abai dan mulai kendor dalam pemeriksaan. Aku harus meminta mereka memeriksanya agar terlihat lebih meyakinkan. Biasanya dalam kondisi tubuh terkuras dan emosi yang sudah lelah seperti itu, dorongan supir untuk minta diperiksa sudah cukup verifikatif bagi mereka. Para petugas biasanya akan menolaknya kemudian akan membiarkan kami para supir truk untuk lanjut jalan. Jika tidak kukatakan seperti tadi, kemungkinan besar mereka akan berinisiatif memeriksanya sendiri."
"Wah, itu benar-benar luar biasa. Telah terbentuk suatu jendela psikologis atau skill pembacaan yang hebat dari bapak. Pengalaman 23 tahun memang tidak bisa diremehkan," ucap Nurin begitu terkesan seraya tersenyum ke arah Aya. Begitu pun dengan Sersan Aya yang menjadi tidak enak hati karena sempat-sempatnya kesal dengan tindakan Pak Haji Saleh tersebut.
"Itulah sebabnya supir manual seperti kami masih dibutuhkan dalam industri ini. Saat ini sudah banyak perusahaan dan usahawan telah memperkerjakan supir robotik dan tidak lagi memakai jasa supir konvensional seperti kami. Mereka menganggap supir konvensional tidak lagi efisien dan efektif untuk produktivitas kinerja usaha mereka. Mobilitas zaman yang cepat telah menuntut profesi-profesi lain termasuk para supir untuk menyingkir lalu kemudian digantikan oleh robotika atau Artifisial Engine."
"Benar Pak, itu menyedihkan. Aku memahami itu." Ucap Nurin. "Mereka tidak sadar bahwa manusia tidak hanya berkerja dengan tenaga tetapi juga dengan akal dan emosi unik mereka. Tapi orang-orang di era ini beranggapan bahwa komputerisasi sudah sangat jauh lebih unggul."
"Aku tahu bahwa orang sepertimu pasti mengerti nak," balas Pak Haji Saleh tersenyum.
"Yakinlah bahwa rezeki dari Allah akan tetap mengalir Pak. Teruslah bekerja demi keluarga, Insha Allah akan selalu ada rezeki untuk bapak dan keluarga bapak."
"Terima kasih atas suntikan semangat dan doanya, nak."
"Baiklah Pak, maaf jika kami merepotkan." Timpal Aya. "Semoga anda selamat sampai tujuan."
"Tidak masalah nak. Keadaan di kota ini memang semakin kacau saja, banyak sekali pemeriksaan pada hari ini, sangat merepotkan." Ucap Pak Haji Saleh melepas sebentar peci putihnya lalu menggaruk-garukan kepala dan kemudian memasang lagi pecinya. "Kukira karena seleksi pemilu pada tahun ini ada masalah. Dari yang kudengar, komputer JST untuk penilaiannya juga sedang ada gangguan. Entahlah, bapak juga kurang mengerti apa yang sedang terjadi."
Nurin dan Aya saling menatap. Mereka heran kenapa Pak Haji Saleh mengetahui ada masalah besar di tempat seleksi ujian. Pasti sudah masuk berita, pikir Aya.
"Kudengar pemilu tahun ini juga ada kejutan." Lanjut Pak Haji Saleh. "Entah benar atau tidak, tapi dari berita terbaru dikatakan bahwa ada salah seorang peserta pemilu yang mendapatkan indeks rating seperti yang pernah didapatkan oleh Presiden Nurun Maulidan. Wah kalau benar, bukannya itu bagus?" celoteh Pak Haji Saleh, tidak habis-habisnya bicara. Sementara Nurin dan Aya sudah ingin segera bergegas ke perpustakaan negara. Mereka sadar mereka sedang berpacu dengan waktu.
Nurin dan Aya semakin terkejut mendengar itu. "Anda tahu darimana Pak?" tanya Aya.
"Tentu saja tahu nak, kan sudah diberitakan dimana-mana. Di televisi, podcast, radio." Jawab Pak Haji Saleh seraya tersenyum dan akhirnya pamit pada mereka berdua lalu mulai menaiki truknya kembali.
"Terima kasih ya Pak," sahut Nurin. "Hati-hati anda di jalan,"
"Ya sudah, jaga diri kalian juga ya. Aku tidak tahu kemana tujuan kalian tetapi semoga selalu dilancarkan oleh Allah. Semoga keselamatan senantiasa bersama kalian." Pak Haji Saleh kemudian kembali menghidupkan truknya dan berangkat.
Tujuan utama Pak Haji Saleh adalah pusat kota New Malaka untuk mengantarkan ikan-ikan segar itu ke resto-resto di pusat kota lalu kemudian beliau akan menyeberang ke daratan Sumatera tepatnya di daerah Riau untuk mengangkut kembali tangkapan ikan segar dari nelayan setempat dan menjualnya lagi ke kota New Malaka.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh." Ucap Pak Haji Saleh.
"Waalaikumsalam Warrohmatullahi wabarakatuh," sahut Nurin dan Aya.
"Terima kasih Pak!" teriak Nurin sekali lagi. Pak Haji Saleh hanya melambai-lambaikan tangan dari jendela kaca mobil truknya.
"Berarti semua sudah diketahui oleh media," gumam Aya sembari membuka Plasma-FLED miliknya untuk browsing. "Benar! Para awak media sudah mengetahui hal itu akan tetapi pemerintah dan pihak KPS masih berusaha untuk menutup-nutupi masalah yang sebenarnya. Media juga menyoroti serius ketidak-wajaran Friendly Laser yang menyala pada siang hari. Narasi yang santer dihembuskan disini adalah bahwa ada kemungkinan JST telah diretas dan pemerintah sengaja menutup-nutupinya. Seleksi pemilu terpaksa dihentikan sementara," baca Aya.
"Jadi pemerintah masih berusaha berkilah ya?"
"Tentu saja mereka tidak akan membocorkan kejadian yang sebenarnya." Sahut Aya. "Harusnya ini adalah rahasia yang tidak boleh diketahui oleh media namun sepertinya pemerintah sedang kecolongan sekarang."
"Ayo kita menuju ke perpustakaan itu." Ajak Nurin. "Hanya tinggal berjalan kaki beberapa blok dari sini, perpustakaan itu ada di persimpangan jalan lima rangkai."
"Oke, jangan buang waktu lagi, ayo kita segera kesana." Balas Aya.
Setelah sekitar lima menit berjalan kaki, Nurin dan Aya pun akhirnya tiba di tujuan mereka. Perpustakaan negara Tengku Amir Hamzah. Perpustakaan terbesar dan terlengkap di Asia. Urutan tiga di dunia setelah British Library dan Library U.S Congress di Amerika. Perpustakaan yang dinamakan dari seorang sastrawan melayu terkenal asal Riau sekaligus salah satu pahlawan nasional. Perpustakaan ini menjadi kebanggan lain dari kota New Malaka dengan koleksi buku-bukunya yang mengagumkan.
Mereka berdua lalu mulai memasuki aula perpustakaannya.
Sebuah ruangan aula besar dari perpustakaan tiga tingkat yang ukuran luasnya hampir setengah dari sebuah lapangan bola.
"Perpustakaan ini konon memiliki 72 juta lebih koleksi buku, jurnal, dan manuskrip, baik yang modern maupun yang kuno sekalipun. Babat Tantruman Jawi kawilas, Babat tanah ka padang malayu, Codex Liebermen, Manuskrip serat metal Gobekli Tepe, Tulisan tangan asli penyair Sunil Mehra, edisi pertama kitab Fushus Al Hikam dan banyak lagi." Papar Nurin yang mengenal betul koleksi buku-buku yang ada di perpustakaan itu.
Sebagai seorang Bibliolog, tentu saja Nurin sering datang ke perpustakaan itu baik ketika ia masih menjadi pelajar dan mahasiswa maupun ketika dia sudah menjadi seorang profesor muda. Perpustakaan negara ini merupakan tambang emas dan lumbung pengetahuan bagi Nurin ketika kapan pun dia sedang mencari atau sedang membutuhkan suatu referensi, maka dia tahu kemana dia harus mencari.
"Kau sepertinya sangat mengetahui koleksi-koleksi disini." Ucap Aya. "Kau pasti pengunjung tetap dari perpustakaan ini ya?"
"Sewaktu masih menjadi pelajar aku sering datang kemari," jawab Nurin. "Dulu sewaktu kecil, ayahku sangat sering membawaku kemari," Nurin tersenyum sembari mengenang kembali. "Ini semacam wahana bermain yang menyenangkan bagiku Aya. Kolam bolaku sewaktu kecil dulu."
"Oke, kita telah disini sesuai instruksi dari ayahmu, lalu kita akan kemana selanjutnya?" tanya Sersan Aya menoleh ke kiri dan ke kanan memantau keadaan dan situasi. Aya cemas kalau-kalau tim pencari dan Kapten Irdan mengetahui tujuan mereka lalu mendahului mereka ke perpustakaan itu.
"Kita harus menuju ke rak khusus penyimpanan dari koleksi buku-buku ayahku." Jawab Nurin. "Dalam pesannya disini, ayah ingin agar aku ke tempat itu. Kita akan menemukan sesuatu disana. Hanya saja aku lupa dimana tepatnya lokasinya. Sejak usiaku 12 tahun aku sudah jarang mengunjungi bilik itu lagi."
"Kita bisa tanya pustakawannya." Sahut Aya.
"Tentu saja, kenapa tidak terpikirkan olehku. Ide bagus, ayo...!"
Nurin dan Aya berjalan menuju meja besar pustakawan yang saat itu dijaga oleh seorang wanita agak tua, berkacamata dan berambut sedikit keriting walau sudah putih sebagiannya karena diwarnai oleh uban.
Mereka hendak menanyakan pada wanita itu dimana bilik dari tempat penyimpanan koleksi Syeikh Muammar Alisyah berada. Wanita tua itu menatap Nurin dan Aya dengan tatapan sedikit curiga. Raut muka yang membuat Nurin dan Aya semakin segan untuk bertanya padanya.
"Maaf Nyonya, kami ingin menanyakan sesuatu, dimana katalog khusus penyimpanan koleksi buku-buku milik Syeikh Muammar Alisyah?" tanya Nurin.
Wanita itu memegang kacamatanya, fokus menatap mereka berdua terutama pada Nurin, seperti mencoba mengenali wajah dari keduanya.
"Maaf, kalian bisa isi dulu formulir pengunjung disini." Pintanya.
"Oh, tentu." Sahut Nurin tersenyum. "Maaf kami lupa karena terlalu tergesa-gesa."